Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menghidupkan Kembali Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Upaya Hukum PK
28 November 2021 18:13 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Para akademisi dan praktisi hukum tentunya mengetahui siapakah yang berhak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016. Yes, putusan MK tersebut membatasi upaya hukum PK hanya dapat digunakan oleh terpidana dan ahli warisnya dan sekaligus menghilangkan kewenangan jaksa dalam mengajukan PK. Putusan MK tersebut merupakan putusan final dan mengikat serta bersifat erga omnes yaitu berlaku sebagai undang-undang.
Putusan MK ini memang mengguncangkan praktik penegakan hukum di tanah air. Karena, dalam praktiknya, sebelum putusan MK, Mahkamah Agung (MA) pernah menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas dan MA dalam putusan peninjauan kembalinya menerima permohonan jaksa dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a) Perkara Muchtar Pakpahan melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
b) Perkara Ram Gulumal alias V. Ram atau The Gandhi Memorial School melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 3PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara 20 (dua puluh) hari.
c) Perkara Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006. Majelis PK membatalkan putusan MA yang memutus perbuatan terdakwa onslaught dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
d) Perkara Pollycarpus Budihari Priyanto melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008. Majelis PK membatalkan putusan MA yang menghukum terdakwa 14 tahun penjara menjadi 20 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
e) Perkara Syahril Sabirin melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 07PK/Pid.Sus/2009 tanggal 8 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun penjara.
f) Perkara Joko Soegiarto Tjandra melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun penjara.
g) Perkara Nyau Saodak melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 41PK/Pid/2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Selain itu, terdapat beberapa putusan pidana yang bersifat non executable atau tidak dapat dilaksanakan karena terdapat kekeliruan dalam amar putusan baik keliru mengenai penjatuhan pidana dan barang bukti sehingga menjadikan seorang jaksa selaku eksekutor tidak dapat menjalankan putusan pidana. Contohnya dalam perkara terdakwa atas nama LIAN JUNMING di Kejaksaan Negeri Merauke sebagaimana dalam Putusan MA Nomor: 407K/PID.SUS/2016 jo. Putusan PT Jayapura Nomor: 69/Pid.Sus-Prk/2015/PT.JAP jo. Putusan PN Merauke Nomor: 4/Pid.Sus-Prk/2015/PN.Mrk. Dalam amar tuntutan maupun putusan PN mengenai barang bukti yang seharusnya ditulis hasil tangkapan ikan ± 45.000 kg yang sudah dilelang dengan hasil bersih lelang sebesar Rp646.065.000,00 dirampas untuk negara, sayangnya dalam Putusan PT dan MA ditulis hasil tangkapan ikan ± 90.000 kg yang sudah dilelang dengan hasil bersih lelang sebesar Rp1.472.940.000,00 dirampas untuk negara. Hal ini menyebabkan temuan BPK sehingga Jaksa harus menyetor kekurangan sebesar Rp826.975.000,00.
ADVERTISEMENT
Realitas ini memperlihatkan terdapat stagnasi atau kebuntutan dalam proses peradilan dan menempatkan jaksa dalam posisi yang dirugikan karena tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) atau melakukan penyelesaian perkara akibat putusan MK tersebut. Oleh karena perlu dilakukan eksaminasi terhadap putusan MK tersebut yang berangkat dari beberapa pertanyaan: 1) apakah putusan MK tersebut sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat? 2) apakah putusan MK dapat tidak dilaksanakan? Mari kita bahas satu per-satu.
Menghidupkan Kembali Norma yang Telah Dibatalkan Mahkamah Konstitusi
Terdapat hierarki dalam unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu 1) Nilai-nilai hukum; 2) Asas hukum; 3) Norma hukum; dan 4) Peraturan hukum konkret. Dalam memaknai unsur-unsur hukum tersebut harus secara gradual yakni apabila semakin ke atas maka semakin abstrak sedangkan semakin ke bawah maka semakin konkret. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang di dalamya terdapat nilai (value), asas (principle), dan norma. Peraturan perundang-undangan sebagai unsur yang paling bawah dapat saja berubah apabila nilai-nilai yang hidup di masyarakat berubah. Hal ini menjadi logis karena hukum yang baik adalah yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Putusan MK berlaku sebagai sumber hukum dan bersifat erga omnes seperti undang-undang. Oleh karena putusan MK bersifat erga omnes sebagai undang-undang maka putusan yang diambil terikat dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat atau kondisi sosial (wissen sociology) pada saat putusan diambil. Nilai-nilai tersebut mencakup sistem politik, kebutuhan hukum para penegak hukum, dsb. Pada saat putusan diambil. Apabila nilai-nilai yang hidup di masyarakat berubah maka putusan MK dapat menjadi tidak relevan. Sehingga, dalam konteks hukum progresif, putusan MK-lah yang harus diubah bukannya masyarakat yang harus dipaksa untuk mengikuti putusan MK yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Karena sesungguhnya hukum untuk manusia bukan sebaliknya.
Lebih lanjut kaitannya dengan PK, disadari bahwa putusan MK telah membatasi upaya hukum PK hanya dapat digunakan oleh terpidana dan ahli warisnya. Adapun Majelis Hakim Konstitusi dalam memutuskan hal yang demikian menggunakan penafsiran historis dan teleologis di mana Majelis Hakim Konstitusi menyebutkan bahwa pranata PK diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga PK. Penafsiran historis melihat dari aspek kesejarahan sehingga suatu norma diatur sedangkan penafsiran teleologis melihat dari tujuan dibuatnya suatu norma. Hal inilah yang kemudian menjadi kelemahan kedua penafsiran tersebut, karena baik penafsiran historis maupun penafsiran teleologis dibatasi oleh kondisi sosial (wissen sociology) pada saat norma dibuat. Tentu saja sedikit banyaknya akan berbeda dengan kondisi, situasi, dan kebutuhan hukum dan masyarakat di masa depan. Dari aspek pembentukan hukum, terdapat potensi hukum terikat dengan ruang dan waktu. Singkatnya, hukum pada masa lalu adalah untuk kondisi pada masa lalu sedangkan hukum pada masa kini dibuat untuk kebutuhan pada saat ini.
Hal ini menjadikan pembuat undang-undang (legislative) dalam membuat undang-undang misalnya dalam RUU KUHAP ataupun RUU Kejaksaan dapat saja tidak menindaklanjuti putusan MK apabila terdapat kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat putusan MK diambil.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan Hukum (Legal Necesety) Pengaturan Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa putusan MK dapat diingkari oleh pembentuk undang-undang apabila kebutuhan hukum (legal necesety) dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat menghendaki perubahan aturan hukum. Pengaturan kembali kewenangan Jaksa dalam mengajukan upaya hukum PK bukanlah tanpa dasar argumentasi yang jelas melainkan berdasarkan argumentasi hukum yang disusun berdasarkan asas hukum, yurispuridensi, dan praktik hukum saat ini.
Pertama, asas hukum. Terdapat 3 (tiga) asas hukum yang setidaknya menjadi landas pijak bagi jaksa wajib melakukan upaya hukum peninjauan kembali, yakni asas equality before the law, jusctice denied justice delayed, dan litis finiri oportes. Asas equality before the law menghendaki agar kedudukan dan akses keadilan antara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana mendapatkan perlakuan yang sama di depan pengadilan. Apabila pelaku tindak pidana mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali, maka korban yang diwakili oleh penuntut umum pun memiliki hak yang sama.
ADVERTISEMENT
Asas jusctice denied justice delayed menyatakan bahwa keterlambatan dalam penyelesaian perkara seperti adanya putusan non-executable akibat kesalah pengetikan, kehilafan hakim, salah mencantumkan pidana ataupun barang bukti mengakibatkan keadilan menjadi tertunda karena jaksa tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan.
Asas litis finiri oportes menempatkan penyelesaian perkara harus ada akhirnya di mana berakhirnya suatu perkara tidaklah pada saat hakim menjatuhkan putusan, akan tetapi pada saat jaksa telah selesai melaksanakan putusan pengadilan. Lagi-lagi putusan non executable mengakibatkan penanganan perkara berlarut-larut tidak akhirnya. Oleh karena itu, agar akses keadilan juga berlaku sama terhadap korban yang diwakili oleh penuntut umum dan penanganan perkara tidak berlarut-larut karena putusan tidak dapat dieksekusi, maka untuk kepentingan hukum, jaksa wajib melakukan upaya hukum peninjauan kembali agar kepentingan para pencari keadilan (justicebelen) terpenuhi dan putusan pengadilan dapat dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Kedua, yurisprudensi. Berbagai putusan peninjauan kembali yang mayoritas menganulir putusan MA yang diajukan pemohon peninjauan kembali. Hal ini membuktikan bahwa terdapat kebutuhan masyarakat khususnya para pencari keadilan (justicebelen) terhadap hak jaksa untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam putusan dicurigai dilatarbelakangi kejahatan.
Ketiga, praktik hukum saat ini. Adanya putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non executable). Meski putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jaksa selaku eksekutor, tidak dapat melaksanakan eksekusi, khususnya terhadap barang bukti padahal berdasarkan Pasal 197 huruf i KUHAP, barang bukti termasuk bagian dari sebuah putusan. Sebagaimana asas litis finiri oportet yang menyatakan bahwa setiap perkara harus ada penyelesaian akhirnya maka penyelesaian perkara tidaklah terjadi pada saat putusan diucapkan, akan tetapi selesainya perkara adalah sampai dengan putusan telah dilaksanakan. Berbagai realitas di atas membuktikan bahwa adanya kekhilafan hakim dalam memutus perkara sehingga putusan tidak dapat dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor. Hal ini tentunya pelanggaran terhadap asas litis finiri oportet. Begitupun dengan penyelesaian perkara menjadi tertunda sehingga keadilan pun tertunda sebagaimana dimaksud asas justice delayed justice denied.
ADVERTISEMENT
Hak untuk melakukan upaya hukum PK sudah seharusnya dimiliki oleh jaksa selaku pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Tujuan upaya hukum PK yang dilakukan oleh jaksa adalah untuk kepentingan negara dan bukan kepentingan pribadi. Tujuan PK oleh jaksa adalah apabila putusan mengandung kekhilafan hakim sehingga putusan tidak dapat dilaksanakan ataupun memang putusan hakim tersebut dinilai tidak adil. Penggunaan upaya hukum PK harus dipergunakan secara hati-hati dan terukur serta diawasi dengan ketat, karena akan menguji putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Hukum dibuat untuk masyarakat dan bukan sebaliknya hukum dibuat untuk hukum. Apabila hukum yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka hukumnya yang harus diubah dan bukannya masyarakat yang dipaksa-paksa harus sesuai dengan hukum." (Sajipto Rahardjo)
ADVERTISEMENT
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa Fungsional pada Biro hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI/ Dosen President University)