Konten dari Pengguna

Impeachment Kepala Daerah

Muh Ilham Akbar Parase
Mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
30 November 2020 5:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Ilham Akbar Parase tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi lambang kepala daerah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lambang kepala daerah
Impeachment Kepala daerah merupakan pemberhentian jabatan kepala daerah, menerangkan mekanisme konstitusional yang dapat dilakukan oleh DPRD atau Pemerintah pusat terhadap kepala daerah yang sedang menjabat dalam masa jabatan yang belum selesai sepanjang memenuhi syarat untuk diberhentikan. Jika kita Tarik dari sisi historis, impeachment lahir di Mesir kuno dengan istilah iesangelia, kemudian pada abad ke-17 diadopsi oleh pemerintahan Inggris dan dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat pada akhir abad ke-18. Konsep impeachment dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat adalah mekanisme pemberhentian pejabat negara karena melanggar pasal-pasal impeachment, yaitu penghianatan terhadap negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggi lainnya, dan perbuatan tercela (treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors).
ADVERTISEMENT
Ada Syarat Impeachment
Dalam konteks tulisan ini, impeachment kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 78 Ayat (1), Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan. Pasal ini kemudian yang menjadi salah satu alasan inisiasi pemerintah pusat mengeluarkan Instruksi menteri dalam negeri (Mendagri) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Opini yang berkembang ditengah publik, Inpres ini akan menimbulkan akibat hukum berupa impeachment kepala daerah. Menurut penulis sangat berlebihan jika Inpres dapat memberhentikan seorang kepala daerah. Sebab inpres baik didalam Undang-Undang No. 12 tahun 2012 yang sudah diperbaharui melalui Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak memiliki kedudukan hukum.
ADVERTISEMENT
Hakikatnya Kepala daerah adalah pejabat yang menjalankan hak wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan daerah atau pejabat yang memimpin disuatu daerah tertentu dan bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan daerah. Kepala Daerah meliputi Gubernur untuk Provinsi, Bupati untuk Kabupaten, serta Walikota untuk Kota, yang secara hierarki tidak jauh berbeda dengan kedudukan presiden yang penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan diseluruh wilayah. Sedangkan kepala daerah hanya bertanggung jawab di wilayah yang dipimpinnya.
Kepala daerah dulunya dipilih oleh DPRD untuk ditentukan beberapa nama yang selanjutnya akan dipilih oleh pemerintah pusat, presiden untuk kepala daerah provinsi sedangkan mendagri untuk pemerintah kabupaten, kota. Namun begitu memasuki era reformasi, rakyat meminta kepala daerah harus dipilih melalui pemilihan langsung. Saat amandemen UUD 1945, diakomodirlah gagasan pemilihan langsung untuk memilih kepala daerah melalui pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dengan menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
ADVERTISEMENT
Kemudian untuk mengejemantahkan bunyi ketentuan tersebut, lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 menyebutkan “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Maka saat itu juga kepala daerah bukan lagi utusan administrasi pelaksana mandat pemerintah pusat.
Legalitas pilkada langsung sempat dipersoalkan, frasa demokratis dalam UUD 1945 dipermasalahkan melalu pengujian Undang-Undang (judicial review) di MK. Pemohon berdalih bahwa demokratis tidaklah harus dilaksanakan secara langsung. Namun MK dalam putusan 072- 073 /PUU-II/2004 yang menguji norma Pasal 56 Undang-Undang No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah tetap memperkuat konstitusionalitas pilkada secara langsung.
ADVERTISEMENT
Putusan MK memberi gambaran paradigma berfikir hakim konstitusi bahwa kepala daerah adalah pelaksana mandat ditingkat lokal yang hanya bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan system pemerintahan yang sentralistik ke desentralisasi. Sikap MK tersebut meneguhkan pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung. posisi kepala daerah, tidak lagi dapat diberhentikan oleh presiden dan menteri dalam negeri dengan mudah, melainkan dengan proses yang sangat rigid (sulit) terkecuali kepala daerah yang bersangkutan, melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang memang sewajarnya harus diberhentikan.
Mekanisme Impeachment
Bahkan untuk melakukan pemberhentian prosesnya pun tidak begitu saja dapat memberhentikan kepala daerah jika alasan pemberhentiannya diluar dari pada adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Misalnya mantan Gubernur Banten masa jabatan 2012 sampai dengan 2017 atas nama Hj.Ratu Atut Chosiyah,S.E. yang kerap di panggil Ratu Atut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 63/P Tahun 2015 diberhentikan sebagai Gubernur Banten dengan merujuk pada Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:44/PID.SUS/TPK/2014. Pemberhentian yang dilakukan presiden adalah bukan karena inisiatif jabatan presiden. Melainkan menjadi keharusan hukum, dalam arti cap stempel belaka.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, diluar dari proses hukum yang mengharuskan pemberhentian secara cepat. Maka landasan yuridis pemberhentian kepala daerah dengan mekanisme impeachment (saat tidak melakukan pelanggaran pidana) adalah mengikuti tata cara yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada pasal 80 ayat (1) dengan yang akan di impeach terlebih dahulu harus berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan. tidak melaksanakan kewajiban, melakukan perbuatan tercela. Kemudian pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati atau wakil bupati/wali kota atau wakil wali kota.
Mengapa proses impeachment kepala daerah sedemikian rigid? karena pasca reformasi esensi otonomi daerah digagas agar kewenangan seluas-luasnya diberikan kepada daerah untuk mengelola wilayahnya secara mandiri. Kepala daerah dipilih secara langsung, yang bermakna pertanggungjawaban sebagai wakil pemerintah pusat di daerah hanya bersifat administrasi. Sedangkan sebagai kepala pemerintahan ditingkat lokal, secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat, Bukan kepada DPR, DPRD ataupun Pemerintah Pusat. Sebab mandat yang diperoleh sangat kuat legitimasinya, memperoleh kewenangan langsung dari rakyat. Instruksi pemerintah pusat sifatnya koordinatif, administratif. Maka sanksinya pun harus administratif yang sifatnya tidak mendelegitimasi jabatan yang melekat secara otoritatif.
ADVERTISEMENT
Muh. Ilham Akbar Parase
(Kepala Bidang Rencana Kajian & Penelitian HMMH UII)