Mengakhiri Dinasti Politik di Pilkada

Muh Ilham Akbar Parase
Mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2020 11:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Ilham Akbar Parase tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrasi gambar dinasti politik
Schumpeter dalam buku yang berjudul Democracy and Human Right menyatakan bahwa esensi demokrasi adalah adanya mekanisme kompetitif memilih pemimpin melalui kontestasi mendapatkan suara rakyat secara fair,bukan sebagai system melanggengkan kekuasaan. Namun yang terjadi, muncul fenomena aktor politisi yang bertarung di tingkat lokal untuk mendapatkan suara masyarakat secara masif dan bahkan melanggengkan dinasti politik untuk menjaga kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Berwujudkan demokrasi sebagai mekanisme Pemilihan kepala daerah (Pilkada) harusnya dijadikan ajang untuk merebut suara rakyat dan mengontrol aktor politik yang dapat melahirkan kekuasaan turun temurun. Pilkada hakikatnya bertujuan agar tidak tercipta kekuasaan yang terlalu dominan sebab demokrasi diwujudkan melalui mekanisme Pilkada memiliki makna bahwa pesta demokrasi diselenggarakan demi terciptanya pemilihan pimpinan daerah sesuai kehendak rakyat. Demokrasi lokal bukan sekadar menyelenggarakan pilkada meraih suara terbanyak, lebih dari itu sebagai kontrol publik terhadap pemerintahan.
Pilkada yang harusnya dilakukan dalam rangka kaderisasi kepala daerah secara berganti, yang dibarengi semua orang ditingkat lokal dapat menjadi pemimpin, Malahan yang terjadi pilkada hanyalah wadah formalitas rekrutmen pergantian kekuasaan.
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Melanggengkan kekuasaan perorangan atau kelompok yang tujuannya adalah membangun kekuasaan secara terus menerus. Pemerintahan di tingkat lokal seakan lahir sebagai kerajaan-kerajaan kecil di daerah. Sehingga berkembang Istilah yang familiar di masyarakat, bahwa kekuasaan yang dibangun atas dasar kekerabatan, kekeluargaan adalah bentuk “dinasti politik”.
ADVERTISEMENT
Terus-menerus terjadi pembiaran sekalipun cara ini ditentang masyarakat luas. betapa tidak, Senin 3 agustus 2020 kolom berita kompas bertajuk “benci dan rindu dinasti politik” mengungkapkan survey persepsi publik tentang dinasti politik. Hasil dari Sebanyak 58% responden setuju jika ada larangan atau pembatasan bagi keluarga pejabat/tokoh publik maju di pilkada. Kemudian ketika mendengar “politik kekerabatan” baik atau buruk, sebanyak 60, 8% menyatakan buruk.
Pemicu Yuridis Dinasti Politik di Pilkada
Regulasi mengenai larangan pencalonan dengan pengecualian jeda lima tahun baru bisa mencalonkan diri sebagai sebagai kepala daerah, bagi mereka yang keluarganya sedang menjabat sebagai kepala daerah dulu pernah diatur dalam Pasal 7 huruf RUU No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Regulasi ini patut diapresiasi sebab, menutup peluang terjadinya dinasti politik. Namun usia regulasi ini tidak bertahan lama, sejak MK melalui putusannya membatalkan ketentuan regulasi tersebut. MK tidak mempertimbangkan secara substantif keberlanjutan masa depan pilkada yang jauh dari konflik kepentingan figur yang akan dicalonkan. harusnya MK melihat dari sisi moral (moral reading constitution), tidak hanya aspek hukum semata.
ADVERTISEMENT
Martien Herna Susanti dalam penelitiannya di Journal of Government and Civil Society Vol. 1, No. 2, September 2017, yang berjudul dinasti politik dalam pilkada di Indonesia berpendapat, regulasi yang lemah untuk memangkas dinasti politik turut menjadi penyebab meluasnya dinasti politik dalam Pilkada.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada sebenarnya memberikan angin segar dalam membatasi dinasti politik dengan menggunakan pendekatan larangan konflik kepentingan. Pasal 7 poin q “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (q). Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. dalam penjelasan UU ini diuraikan secara rinci pihak-pihak yang dianggap memiliki konflik kepentingan dengan petahana, bahwa yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana: tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya ketentuan tersebut dibatalkan melalui putusan MK Nomor 33/PUU XIII/2015 yang diperkuat dalam putusan MK Nomor 34/ PUU-XIII/2015, dengan alasan “konflik kepentingan dengan petahana”, hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis dan asumtif, seolah-olah setiap calon yang mempunyai hubungan darah maupun hubungan perkawinan dengan petahana dipastikan akan membangun dinasti politik yang akan merusak tatanan bangsa, tanpa mempertimbangkan lagi sisi kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas calon yang bersangkutan secara objektif. Hubungan darah merupakan kodrat Ilahi yang hakiki dan asasi, yang menurut agama manapun secara universal diakui sebagai hubungan yang sakral dan bukan sebagai hubungan yang menghalangi untuk berkiprah dalam pemerintahan, demikian halnya dengan hubungan karena perkawinan. Putusan MK ini telah membuka jalan para kelompok dinasti politik untuk turut berkontestasi dalam Pilkada tanpa harus menunggu jeda selama 5 (lima) tahun ke depan. Sehingga pada saat yang sama kontestasi pesta demokrasi kita di pilkada terus menerus mempertontonkan dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri Dinasti Politik di Pilkada
Schattscheider dalam bukunya Party Government mengatakan “political parties created democracy”, bahwa partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Karena itu pendapat tersebut diperkuat Schattscheider yang mengatakan “modern democracy is unthinkable save in terms of the parties” bahwa dalam pikiran demokrasi modern dapat dilihat dari keberadaan Partai, sehingga antara partai politik dan demokrasi modern merupakan satu kesatuan.
Menurut penulis Ada dua hal sehingga memunculkan dinasti politik. Pertama, munculnya dinasti politik tidak lepas dari sistem perkaderan partai yang masih terkesan sekadar formalitas mencari massa sebanyak-banyaknya. sehingga bermunculan figur bukan kader partai atau kader dadakan yang diusung pada pilkada. Kedua, Selain dari persoalan kaderisasi partai juga muncul persoalan ketidakmampuan keuangan partai untuk membiayai kegiatan politiknya. Parpol tidak memiliki pendanaan yang memadai dan pasti. Sehingga memaksa partai untuk menentukan figur di pilkada berdasarkan kemampuan finansial. Dua hal tersebut merupakan persoalan klasik partai yang harus diberikan solusi serius. Maka mereformasi sistem perkaderan dan keuangan partai politik harus dilakukan. Pertama mereformasi system pengusungan calon kepala daerah, untuk dapat diusung sebagai kepala daerah adalah bagi mereka yang telah mengikuti pendidikan politik di partainya masing masing; kedua mereformasi syarat mengikuti pendidikan politik, Mengenai syarat mengikuti pendidikan politik, setidaknya beranggotakan di partai tersebut minimal dua tahun.
ADVERTISEMENT
Kemudian melakukan reformasi sistem keuangan partai, yaitu bagi setiap partai politik diberikan biaya kesekretariatan, biaya untuk mengadakan pendidikan politik, biaya forum pemilihan di internal partai yang akan direkomendasikan sebagai calon kepala daerah. hingga untuk mengikuti pilkada dari tahap administrasi, pembiayaan saksi hingga biaya pengurus partai yang terlibat dalam suksesi pilkada. Sehingga nantinya, partai politik tidak harus lagi menerima bantuan keuangan yang sumbernya tidak jelas asalnya. dengan dibiayai oleh negara maka keuangan partai dapat dikontrol oleh BPK, Polisi, Kejaksaan dan KPK. Tujuannya adalah memastikan partai politik tidak dimonopoli oleh sekelompok orang yang hanya mengandalkan kekuatan modal keuangan dan mengesampingkan kompetensi diri.
Muh. Ilham Akbar Parase
Mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam Indonesia
ADVERTISEMENT