Kampus Belum Merdeka

Muh Karim
Profesi saya saat ini sebagai Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. Saya juga Dosen tetap di Universitas Trilogi Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 12:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Karim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Muhamad Karim Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Ilustrasi Universitas Foto: Thinkstock
Lewat postcard-nya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (MendikbudRistek) mengeluhkan dekan dan Kaprodi di perguruan tinggi tak memahami implementasi Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM). Ia menjelaskan ulang soal MBKM secara gamblang. Hingga ia meminta dekan dan Kaprodi mengontaknya langsung jika masih tak paham juga. Secara konsepsional kebijakan MBKM adalah terobosan spektakuler memecah kebekuan dan cara pendang pendidikan tinggi yang hegemonik. Sayangnya, kebijakan MBKM langsung diterapkan begitu saja. Apakah pernah KemendikbudRistek melokakaryakannya? Keengganan beberapa perguruan tinggi menerapkannya terkait hangusnya 20 sistem kredit semester (SKS) dalam suatu program studi. SKS ini berubah jadi MBKM. Ini masalahnya. Menurut penulis kalau begini implementasi MBKM, kesannya teknis sekali. Seorang mahasiswa magang di luar kampus, lalu memperoleh sertifikat, bisakah dikatakan ia sudah merdeka belajar? Hemat penulis, bukan begitu makna merdeka belajar. Tak menjamin ia punya kapasitas, kemampuan intelektual dan soft skill mumpuni? Bagimana sejatinya merdeka belajar itu?
ADVERTISEMENT

Filosofis

Merdeka belajar tak bisa dimaknai sekadar belajar di luar kampus yang sifatnya mekanistik. Filosofi merdeka belajar adalah, pertama, kemerdekaan dalam berpikir dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak dikerangkeng ukuran indikator-indikator. Ilmu pengetahuan itu sifatnya dinamis dan terus berkembang. Kalau ilmu pengetahuan dikerangkeng indikator, itu namanya bukan merdeka belajar. Paradoks jadinya. Bagimana seseorang mempelajari ilmu pengetahuan dibatasi.
Kedua, merdeka belajar mestinya dipahami sebagai teologi pembebasan. Lewat proses pembelajaran dalam institusi pendidikan, manusia bebas dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Proses pembelajaran di pendidikan tinggi mestinya menaikkan derajat seseorang lepas dari kehidupan miskin sehingga lebih bermartabat dan humanis. Artinya, lewat kemerdekaan belajar seorang insan menjadi manusia berbudaya. Ia akan membentuk suatu peradaban lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, merdeka belajar mestinya dimaknai sebagai kemerdekaan dalam menerapkan metodologi, terutama di perguruan tinggi. Pasalnya, ilmu pengetahuan saat ini kian mengarah kepada multidisiplin dan antar disiplin. Nyaris tak ada lagi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (monodisiplin). Simaklah pemenang Hadiah Nobel Fisika 2021. Mereka adalah Syukuro Manabe, Klaus Hasselmann, dan Giorgio Parisiia. Mereka adalah fisikawan yang konsen terhadap perubahan iklim dan membuat permodelan matematikanya. Artinya, ilmu pengetahuan itu dinamis. Terkait kampus merdeka, metodologi riset tak lagi sifatnya tunggal (orthodox), melainkan beragam (heterodox/eclectic). Begitu pula paradigma pemikiran (mazhab) juga beragam. Kaum intelektual di perguruan tinggi mesti memiliki kemerdekaan berpikir, dan menerapkan metodologi.
Keempat, kampus merdeka dimaknai kemerdekaan kampus melakukan revolusi kurikulum yang adaptif dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Kemajuan teknologi informasi saat ini telah menghilangkan beragam profesi dan lapangan kerja. Ia akan digantikan otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI). Umpamanya, teller bank, dan Customer Service (CS) dan Telemarketing (baca: McKinsey). Terkecuali, pekerjaan dalam industri pertambangan, berkebun, kehutanan, instalasi mesin, dan pemadam kebakaran masih sulit diotomatisasi. Pasalnya, pekerjaan tersebut masih membutuhkan campur tangan manusia. Robot belum mampu menyainginya. Meskipun di masa datang lambat laun juga bakal digantikan otomatisasi. Makanya, perguruan tinggi diberi kemerdekaan mengubah orientasi dan kurikulum program studi. Model-model kurikulum era tahun 1970-an mesti dirombak total. Misalnya, sistem kontrol input dalam budidaya pertanian dan perikanan sudah menggunakan digitalisasi. Kita di Indonesia masih konvensional. Apakah kita masih mempertahankan status quo?
ADVERTISEMENT
Jika MBKM tak dimaknai dengan filosofis demikian, yang timbul cocokologi. Perguruan tinggi hanya mengeklaim dan mencocokan MBKM dengan model-model yang sudah diterapkan selama ini. Umpamanya, magang dan kuliah kerja profesi. Ini artinya MBKM itu hanya menggaungkan kemerdekaan palsu. Apalagi aturan dan indikator mengkerangkengnya. Kian lengkaplah kemerdekaan palsu itu.
Mestinya, MendikbudRistek membangun “konsensus nasional” dengan komunitas pegiat pendidikan tinggi. Misalnya, lewat lokakarya atau konferensi pendidikan tinggi nasional soal MBM. Supaya makna MBKM tak direduksi secara mekanistik, sehingga pada tataran implementasi tak berarti apa-apa. Mestinya, filosofi dan maknanya lebih bersifat organik. KemendikbudRistek juga mestinya mengikutinya dengan reformasi kelembagaan pendidikan tinggi. Apa itu? Yaitu, problem kelembagaan berupa menumpuknya aneka administrasi yang dibebankan kepada dosen yang sudah mencapai stadium akut. Akibatnya, dosen lebih banyak mengurusi administrasi ketimbang mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesannya aparat KemedikbudRistek hobi membuat aturan setiap tahunnya. Semakin bertele-tele dan rumit aturannya seolah bakal kian membaik pendidikan tinggi kita. Kenyataannya malah sebaliknya. Celakanya lagi, perubahan aturan nyaris ada saja setiap tahun. Kian membebani dan mematikan ide, inovasi dan kreativitas. Akibatnya, perguruan tinggi di Indonesia jalan di tempat dan tak punya daya saing secara global. Muncul kesan aparat di Kemendikbudristek itu tak ada kerjaan selain membuat aturan baru.
ADVERTISEMENT
Mas MendikbudRistek, mestinya menyelesaikan problem struktural dan kelembagaan akut di kementerian yang dipimpinnya jika MBKM mau sukses. Soalnya, selain menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di level pendidikan tinggi. Juga, mematikan budaya intelektual dan kecendekiawanan di era industri 4.0. Dosen di perguruan tinggi mirip karyawan kantoran mengurus administrasi hingga tugas kecendekiawanannya terbengkalai.

Revolusi Kelembagaan

Secara ekonomi politik, reformasi yang berlangsung semenjak 1998 abai di sektor pendidikan. Reformasi 1998, dalam kekuasaan politik mengubah sistem otoritarianisme menjadi demokratis. Di sektor pendidikan justru sebaliknya. Justru yang muncul adalah otoritarianisme berbasis kelembagaan (aturan, dan kebijakan) yang mematikan gagasan, inovasi dan kreativitas. Diproduksi dalam bentuk aturan-aturan (berbasis indikator) yang mengkerangkeng dan tak membebaskan. Bagaimana dosen di perguruan tinggi mau menemukan hal baru sementara dana hibah penelitian dikerangkeng dengan administrasi yang kaku.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi, dananya belum turun, laporan penelitian hibah harus sudah diserahkan. Mustahil menghasilkan penelitian yang berkualitas apalagi bisa memenangkan hadiah Nobel. Kita sama saja mimpi di siang bolong. Makanya, Jokowi mestinya dalam pemerintahan sedari awal memilih Menteri DikbudRistek yang berani melabrak tembok status quo, visioner, dan berpikir revolusioner. Kalau tidak, perguruan tinggi di Indonesia bakal stagnan dan terjebak dalam kungkungan administrasi dan mekanistik. Jadi, Pak Jokowi yang kita butuhkan dalam pendidikan tinggi saat ini bukan sekadar revolusi mental. Melainkan, reformasi dan revolusi kelembagaan pendidikan tinggi supaya memerdekaan proses pembelajaran dan dunia kampus.