Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Dampak Menangani Konflik dengan Kekerasan...!!!
23 Juli 2017 18:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Muh.Wahyuddin S. Adam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diceritakan ada seorang guru yang sedang mengobservasi guru kelas 4 ketika dalam proses pembelajaran berlangsung. Hasil observasi ini sangat tidak menyenangkan baginnya karena dia melihat guru kelas 4 ini merasa putus asa dalam membimbing seorang siswa laki-lakinya yang duduk paling belakang yang bernama Marcus. Berulang kali mengulang dan mengingatkan dia untuk diam di bangkunya, Marcus tetap bangkit dan berjalan jalan di sekitar kelas. Akhirnya, guru tersebut hilang kendali dan mencengkeram Marcus dibelakang dan menyuruhnya berjalan jongkok sampai ke kantor kepala sekolah.
ADVERTISEMENT
Rasa malu kepada guru dan sedih kepada siswa, observer ini pun menyelinap ke luar ruangan dan menuju ke kantor kepala sekolah. Di sana terlihat Marcus sedang duduk dengan posisi merosot. Si observer pun duduk di sampingnya sambil bertanya “Bagaimana perasaanmu?”. “Baik”dia menjawab dengan suara yang bergetar mengingkari pertanyaannya.
Si observer kemudian menggambar empat wajah pada selembar kertas, wajah senang, wajah sedih, wajah marah, dan wajah tanpa ekspresi. Marcus memperhatikan apa yang observer lakukan. Ketika selesai, dia pun menawarkan pensilnya ke Marcus, dan berkata “taruh simbol (x) di bawah gambar wajah yang menggambarkan perasaaanmu!”
Marcus membuat simbol (x) di bawah wajah marah. “Benar-benar marah, ya?”. Marcus hanya mengangguk. “Kamu marah kepada gurumu atas apa yang dia lakukan?”lanjut pertanyaan observer. Dia mengangguk lagi. “Dapatkah kamu mengatakan mengapa kamu marah kepadanya?”. “Dia menyakiti leherku,” katanya, sambil menunjukkan pada observer dimana guru tersebut mencengkeram lehernya. Observer bilang”Kamu marah kepada dia karena dia menyakitimu seperti itu?”dia mengangguk.
ADVERTISEMENT
Kemudian observer berkata”Marcus dapatkah kamu membuat simbol (x) di bawah gambar yang menunjukkan bagaimana perasaan gurumu?” dia dengan cepat membuat silang (x) di bawah gambar berwajah marah. “Kenapa kamu berpikir dia marah?” observer bertanya” karena observer berjalan keluar kursi,”jawab marcus.
“Katakan padaku, Marcus apalagi yang kamu pikirkan gurumu dapat lakukan ketika dia marah selain mencengkeram lehermu?” si observer ingin melihat apakah dia dapat berpikir hal lain yang tidak menyakitkan yang dapat gurunya lakukan untuk mengekspresikan rasa marah dan menerima kebiasaan buruk Marcus. Dia berpikir sejenak . Kemudian dia berkata,”Dia dapat saja menendangku”.
Saya berhenti dan berkata, “Ya, saya berharap dia dapat melakukan itu. Dapatkah kamu berpikir sesuatu yang berbeda yang mungkin dia lakukan?”. Dia menggelengkan kepalanya. Marcus percaya bahwa ketika kamu marah kepada seseorang maka hanya hanya ada satu cara yang dapat kamu lakukan, yaitu menyakiti orang tersebut. Kepercayaan ini terefleksikan dari kepribadiannya. Menurut kepala sekolah Marcus selalu berkelahi di tempat bermain dan di sekolah.
ADVERTISEMENT
Marcus sepertinya belum memiliki sama sekali pengalaman di sekolah atau di rumah dalam pendekatan alternatif lain dalam menyelesaikan masalah sosial. Jadi, ketika dia berhadapan dengan konflik, dia hanya tahu satu cara untuk merespon, yaitu dengan kekerasan. Sayangnya, gurunya pun menangani masalah tersebut juga dengan cara kekerasan yang memperkuat pemikiran kekanak-kanakan tentang menyelesaikan konflik dan amarah.
Sifat kekanak-kanakan Marcus sudah biasa dikalangan siswa pada umumnya, dan sekolah sering kali tidak memperbaiki hal tersebut. Dari sisi nilai pendidikan, hal tersebut merupakan kesalahan yang serius. Orang yang merespon situasi konflik dengan kekerasan dapat membahayakan diri sendiri dan orang. Mereka memiliki kekurangan dalam membangun hubungan baik termasuk pernikahan dan pengasuhan anak. Misalnya, ketika kemampuan resolusi konflik sudah krusial maka kealfaan mereka dalam meminmpin menggiring pada kekerasan verbal dan fisikal. Sebagai warga negara, seseorang yang tidak berkontribusi kepada negara dan dunia mencari alternatif kontribusinya dengan jalan kekerasan. Bahkan, mereka seringkali menjadi pelaku kekerasan di lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT