Konten dari Pengguna

Hardiknas 2025: Sudahkah Sekolah Menjadi Ruang yang Aman Bagi Anak?

Muhaimin Yasin
Seorang Pemelajar yang Senang Mengamati Bagaimana Dunia Bekerja. Tumbuh dan Berkembang di Lombok, Nusa Tenggara Barat
2 Mei 2025 18:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhaimin Yasin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak yang sedang belajar (sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak yang sedang belajar (sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum ini sudah sepatutnya bukan hanya sekadar perayaan, melainkan waktu yang tepat untuk merenungkan arah pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat kita merayakan kemajuan dan prestasi di bidang pendidikan, pertanyaan yang seharusnya mengusik kita adalah: apakah sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berkembang, sudah menjadi ruang aman bagi anak-anak?
Tidak bisa dipungkiri, saat ini banyak anak yang menganggap sekolah bukan lagi sebagai rumah kedua yang nyaman, tetapi sebagai tempat yang penuh dengan ketakutan dan ancaman. Kekerasan fisik, mental, dan bahkan seksual masih terjadi dalam lingkungan pendidikan. Tak jarang, ancaman ini datang dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung, yakni para pendidik atau bahkan teman sebaya.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita renungkan sebentar. Kita sering mendengar istilah "sekolah adalah rumah kedua". Namun, bagaimana mungkin anak bisa merasa di rumah jika di tempat itu mereka dihina, dipukul, bahkan dilecehkan?
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap anak di sekolah, baik secara fisik maupun psikologis, memang masih terjadi. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa banyak kekerasan ini tidak terlihat, hanya terdengar sebagai desas-desus di kalangan siswa, atau bahkan lebih buruk lagi, dibiarkan begitu saja.
Bukan hanya kekerasan langsung seperti bullying atau hukuman fisik, saat ini kita juga dihadapkan pada ancaman kekerasan dalam bentuk baru: cyberbullying. Di era digital ini, anak-anak tak hanya terancam di ruang kelas, tapi juga di dunia maya.
Media sosial atau melalui pesan singkat seperti WhatsApp, bisa saja menjadi tempat baru bagi mereka untuk saling menyerang dan merundung. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah semua ini?
Menurut data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lembaga pendidikan sepanjang 2024. Kasus kekerasan paling banyak terjadi di sekolah (sebanyak) 64%. Sementara di lembaga pendidikan berbasis agama ditemukan 36% kasus kekerasan, dengan rincian di madrasah 16% dan pesantren 20%.
ADVERTISEMENT
Bayangkan berapa banyak kasus yang tidak terdokumentasi atau bahkan tidak diketahui sama sekali. Ini adalah angka yang menggugah kita untuk bertanya: sejauh mana kita telah menjamin keamanan anak di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mereka?
Pemerintah telah menyusun regulasi, seperti Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang sasaran pencegahan dan penangggulangan kekerasan meliputi Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, orang tua/wali, Komite Sekolah; dan Masyarakat.
Regulasi ini mengatur pencegahan dan penanggulangan kekerasan di lingkungan pendidikan, namun kenyataannya, efektivitasnya masih jauh dari harapan. Banyak sekolah yang belum mengetahui keberadaan aturan tersebut, bahkan lebih parah, mekanisme pelaporan yang ada seringkali tidak ramah anak.
Tak hanya itu, guru yang seharusnya menjadi garda depan dalam melindungi anak sering kali tidak memiliki pelatihan atau pengetahuan yang memadai mengenai perlindungan anak. Guru lebih sering terjebak dalam rutinitas pengajaran dan administrasi, hingga mengabaikan aspek penting lain, yakni menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung perkembangan emosional siswa.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang sesungguhnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membangun karakter dan menumbuhkan rasa aman. Anak-anak tidak bisa belajar dengan baik jika mereka hidup dalam ketakutan. Ketakutan akan perundungan, ketakutan akan kekerasan, ketakutan akan penghinaan ini adalah hal-hal yang akan menghalangi mereka berkembang dengan baik.
Dalam kerangka Merdeka Belajar, saat anak diharapkan dapat bebas berekspresi, berkreasi, dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya, kita harus mengingat bahwa kebebasan tersebut hanya dapat tercapai jika mereka merasa aman. Pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang menghargai hak-hak anak, dan yang paling mendasar adalah hak untuk merasa aman dari segala bentuk kekerasan.
Meningkatkan perlindungan anak di sekolah bukanlah tugas yang bisa diselesaikan dalam semalam. Namun, ada langkah-langkah yang bisa kita ambil untuk memperbaiki kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, regulasi yang ada harus diperbarui dan dipastikan bisa diimplementasikan dengan efektif. Ini bukan hanya soal memiliki aturan, tetapi bagaimana aturan tersebut dilaksanakan dengan jelas, dengan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan, dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan ramah anak.
Kedua, perlu ada pelatihan wajib bagi guru dan seluruh tenaga kependidikan tentang perlindungan anak dan manajemen kekerasan. Pelatihan ini harus menjadi bagian dari pengembangan profesionalisme mereka, agar mereka mampu mendeteksi dan menangani kasus kekerasan dengan tepat.
Ketiga, setiap sekolah harus memiliki Satgas Perlindungan Anak yang dilibatkan dalam pencegahan, mediasi, dan penyelesaian kasus kekerasan. Satgas ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari guru, orang tua, hingga pihak profesional seperti psikolog atau aktivis anak.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat sangat penting. Budaya yang menolak kekerasan harus dibangun bersama, dan pendidikan tentang hak-hak anak serta literasi digital perlu dilakukan sejak dini. Semua pihak harus siap untuk berbicara dan bertindak melawan kekerasan, bukan hanya menjadi penonton.
Hardiknas 2025 adalah waktu yang tepat bagi kita untuk menilai kembali tujuan pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian atau kecakapan akademis. Pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang dapat memberikan rasa aman, kepercayaan diri, dan kebahagiaan bagi setiap anak.
Sekolah harus menjadi tempat yang dirindukan, bukan tempat yang menakutkan. Seharusnya, sekolah adalah tempat anak-anak merasa dihargai, dihormati, dan dilindungi. Untuk itu, saatnya kita memperbarui komitmen kita: bahwa setiap anak berhak atas pendidikan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga aman.
ADVERTISEMENT
Mari rayakan Hardiknas 2025 dengan mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa sekolah adalah tempat yang aman dan nyaman bagi setiap anak, tanpa kecuali.