Menilik Gerakan Mahasiswa di Indonesia

Muhamad Diva Kafila Raudya
Saya merupakan seorang mahasiswa Ilmu Politik Unpad, biasa berkegiatan di suatu lembaga pengkajian sosial politik di kampus.
Konten dari Pengguna
8 Januari 2022 17:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Diva Kafila Raudya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto milik pribadi. Foto diambil ketika demonstrasi menolak RUU KUHP, 24 September 2019.
zoom-in-whitePerbesar
Foto milik pribadi. Foto diambil ketika demonstrasi menolak RUU KUHP, 24 September 2019.
ADVERTISEMENT
Sejak era kolonialisme Belanda hingga saat ini, tak terhitung sudah berapa puluh kali gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa menjadi tanda peringatan bagi rezim yang berkuasa. Mulai dari gerakan oleh pelajar STOVIA, gerakan anti komunisme pada tahun 1996, gerakan reformasi, hingga gerakan yang populer beberapa tahun ke belakang, mahasiswa selalu turut serta dalam gerakan-gerakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang mahasiswa yang kebetulan memang beberapa kali turut serta dalam gerakan mahasiswa, ada beberapa pertanyaan yang selalu hilir mudik dalam kepala saya mengenai gerakan mahasiswa itu sendiri. Seberapa signifikan gerakan mahasiswa saat ini terhadap dinamika politik di Indonesia? Mengapa gerakan mahasiswa saat ini cenderung bersifat eksklusif? Tulisan singkat ini mencoba menjawab kedua pertanyaan di atas dan sedikit mengulas gerakan mahasiswa saat ini yang disandingkan dengan segala macam mitosnya.
Saya melihat gerakan mahasiswa sekarang persis seperti apa yang dikatakan oleh Aspinall (2012), yakni gerakan moral. Gerakan moral yang digambarkan oleh Aspinall, merupakan gerakan yang menyokong status quo dan bersifat regresif.
Alih-alih mendorong perubahan dengan cara radikal dan mencari sistem alternatif, gerakan mahasiswa saat ini cenderung ogah beraliansi dengan gerakan massa lainnya dan tidak memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan, sehingga gerakan yang dihasilkan hanya bersifat korektif dan hanya memberikan peringatan pada rezim yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Menurut Abdil Mughis (2021), kelas menegah reformis lebih berkepentingan untuk mengadvokasi isu-isu seputar HAM, lingkungan, anti-korupsi, dan lain-lain dengan mendorong reformasi institusi. Ia mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh absennya pengorganisasian berbasis kelas, sehingga melunakkan tuntutan revolusi menjadi reformasi.
Kelas menengah yang mendominasi kalangan mahasiswa membuat gerakan mahasiswa tidak berkeinginan mengubah secara radikal tatanan ekonomi politik dan struktur kekuasaan. Ditambah dengan tidak adanya strategi politik jangka panjang, membuat gerakan mahasiswa yang sporadis dalam beberapa tahun terakhir cenderung terkesan seremonial, dalam kata lain mereka sedang merayakan identitasnya sebagai mahasiswa sembari menikmati segala macam labelisasi yang melekat seperti agent of change, iron stock, dan social control.
Label yang melekat tersebut, membuat gerakan mahasiswa terjebak ke dalam heroisme, sehingga selalu dianggap penting dalam perpolitikan di Indonesia. Padahal, labelisasi tersebut merupakan konstruksi rezim Orde Baru pasca genosida tahun 1965-1966 untuk melucuti progresifitas gerakan mahasiswa yang begitu melekat pada masa sebelumnya (Novianto, 2016).
ADVERTISEMENT
Meski saat ini organisasi ekstra kampus masih tetap ada, tetapi ada kondisi yang membedakan antara organisasi ekstra kampus saat ini dengan masa revolusi nasional pasca kemerdekaan. Kosongnya politik aliran, pasca penyeragaman tahun 1966, membuat organisasi ekstra kampus tidak ambisius dalam mengambil kekuasaan.
Masa revolusi nasional dijadikan momentum bagi para partai politik untuk melirik mahasiswa sebagai potensi untuk membangun massa konstituen dengan menciptakan organisasi di bawah partai, salah satunya organisasi mahasiswa. Selama masa-masa tersebut, gerakan mahasiswa menjadi kelompok politik yang penting dan aktif, bahkan menjadi bagian dari gerakan politik nasional.
Pada periode 1965-1967, mahasiswa memiliki peran sentral dalam kampanye gerakan anti komunis serta pembenaran atas pemberangusan gerakan kiri di Indonesia. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berafiliasi dengan Angkatan Darat secara tidak langsung memberikan legitimasi sipil untuk militer mengambil alih kekuasaan saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada masa inilah labelisasi mahasiswa sebagai agen perubahan menguat yang digaungkan melalui berbagai media seperti buku, koran, jurnal, dan lain-lain. Labelisasi tersebut turut menggeser istilah “pemuda” yang semasa revolusi kemerdekaan digambarkan sebagai agen perubahan politik yang revolusioner. Sejak saat itu, gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia pada periode 70-an menjadi sebatas gerakan moral semata.
Gerakan mahasiswa kembali menjadi radikal pada akhir 90-an saat peristiwa reformasi terjadi. Radikalisasi yang terjadi disebabkan oleh advokasi yang dilakukan secara langsung oleh mahasiswa dan bekerja sama dengan buruh serta petani. Pada proses radikalisasi tersebut terbentuklah berbagai front revolusioner, salah satunya yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Lantas bagaimana dengan relasi gerakan mahasiswa dan ekstra kampus saat ini? Atas nama kemurnian gerakan serta menghindari kepentingan politik, gerakan mahasiswa saat ini memiliki jarak dengan gerakan ekstra kampus. Memang gerakan mahasiswa saat ini sepintas terlihat radikal, dengan berbagai tuntutan serta mobilisasi massa yang banyak. Tetapi sejatinya, gerakan saat ini masih bersifat korektif dan meminta kebaikan hati penguasa.
ADVERTISEMENT
Jangankan memiliki pengaruh dalam politik formal, toh gerakan mahasiswa saat ini masih sering kalah melawan kebijakan kampus yang dirasa merugikan mahasiswa itu sendiri.