Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sengkarut Penindakan Hukum Anggota TNI dan Upaya Reformasi UU Peradilan Militer
4 Agustus 2023 19:01 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhamad Dwieka Fitrian Indrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada Kamis, 27 Juli 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya HA dan sejumlah orang lainnya menjadi Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di lembaga tersebut. KPK menetapkan beberapa orang menjadi Tersangka setelah operasi tangkap tangan yang melibatkan beberapa pihak swasta dan anak buah dari Kepala Basarnas, Letnan Kolonel ABC.
Permasalahan muncul pasca Pihak Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menyatakan keberatan akan penetapan tersangka 2 anggota TNI aktif oleh KPK. Pasca keberatan tersebut, KPK akhirnya menyatakan telah terjadi “kekeliruan dan kekhilafan” prosedur akan penetapan Tersangka yang mereka lakukan.
Kekeliruan KPK dalam Tindak Pidana Koneksitas
Pasal 89 KUHAP tentang koneksitas telah mengatur bahwa penyidikan tindak pidana yang diduga dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, harus dijalankan secara bersama-sama oleh penyidik (sebagaimana KUHAP), Polisi Militer, dan Oditur Militer. Pasal 90 KUHAP juga mengatur mengenai penelitian bersama guna penentuan lingkup peradilan mana yang akan mengadili perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Pasal 9 angka 1 huruf (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan bahwa prajurit merupakan salah satu pihak yang dapat diadili oleh Pengadilan dalam lingkup Peradilan Militer. Lebih lanjut, Pasal 47 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI telah menyebutkan bahwa Prajurit TNI yang menduduki jabatan di kantor-kantor tertentu, termasuk Basarnas, merupakan prajurit aktif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Marsdya HA dan Letkol ABC merupakan prajurit TNI aktif yang dapat diadili oleh Pengadilan dalam lingkup Peradilan Militer, sehingga aturan koneksitas dalam KUHAP seharusnya diberlakukan kepada pihak-pihak tersebut.
Mengacu pada hal tersebut, upaya KPK dalam menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI aktif seharusnya dilakukan dengan prosedur hukum yang tepat dan penuh kehati-hatian. Adanya perbedaan pengaturan dalam lingkup Peradilan Militer menjadi salah satu alasan mengapa KPK atau Aparat Penegak Hukum lainnya perlu untuk mencermati beberapa aturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Apabila dilihat pada konteks kasus a quo, KPK mengakui tidak adanya koordinasi lebih dahulu dengan Puspom TNI dalam perkara koneksitas ini (perkara yang melibatkan warga sipil bersama-sama dengan personel militer aktif). Hal ini menunjukkan sebuah kekeliruan mendasar dalam penanganan tindak pidana koneksitas oleh KPK.
Potensi Subjektivitas dalam Penanganan Perkara Korupsi yang Dilakukan Anggota Militer Aktif Oleh TNI
Terlepas dari kekeliruan KPK tersebut, perlu dipahami pula bahwa UU No. 31 Tahun 1997 belum mengatur dengan jelas jenis tindak pidana yang dapat diadili oleh peradilan militer. Padahal, selain tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan undang-undang lainnya seperti tindak pidana korupsi, Indonesia juga telah mengatur tindak-tindak pidana khusus bagi anggota militer dalam KUHP Militer (KUHPM). Kondisi ini menyebabkan tindak pidana yang diatur selain dari KUHP Militer juga dapat diselesaikan melalui peradilan militer sepanjang dilakukan oleh anggota militer.
ADVERTISEMENT
Pasal 91 ayat (2) KUHAP juga pada dasarnya memungkinkan hal tersebut, di mana tindak pidana di luar KUHP Militer dapat diadili oleh peradilan militer apabila hasil penelitian bersama menunjukkan bahwa titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer.
Permasalahannya, kondisi ini pada dasarnya berpotensi menimbulkan subjektivitas dalam penegakan hukum apabila seorang anggota aktif dari suatu institusi diproses hukum oleh institusi itu sendiri, yang dalam kasus ini adalah TNI. Subjektivitas ini sendiri berpotensi menghambat proses penegakan hukum yang dapat cenderung melindungi anggota aktif yang melakukan tindak pidana korupsi atau justru dapat merugikan anggota aktif tersebut.
Timbulnya kekhawatiran akan potensi tersebut tidak lahir tanpa alasan mengingat penanganan tindak pidana korupsi oleh anggota militer aktif terdahulu. Dalam Kasus Pengadaan Helikopter AW-101, KPK meyakini adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi yang merugikan negara dan melibatkan sejumlah Perwira TNI. Namun pada tahun 2021, Puspom TNI menyatakan telah dilakukan penghentian penyidikan akan kasus tersebut. Padahal, tersangka lainnya yang diadili di lingkup Peradilan Umum telah dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah dan telah dijatuhi vonis pidana oleh Hakim pada Pengadilan Tipikor.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pelibatan institusi penegak hukum selain TNI dalam kasus ini perlu dipertimbangkan sebagai peluang untuk mereduksi subjektivitas tersebut mengingat lembaga tersebut dapat dianggap lebih netral daripada institusi TNI untuk memproses hukum tindak pidana korupsi dilakukan anggota militer aktif.
Lebih dari itu, titik kerugian dalam kasus ini tentu dapat dipandang lebih berada pada kepentingan umum daripada kepentingan militer karena terjadi pada urusan publik dan dilakukan oleh orang dalam jabatan publik, sehingga seharusnya perkara ini diselesaikan melalui peradilan umum sesuai dengan Pasal 91 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, sebaiknya kasus ini diselesaikan oleh lembaga penegak hukum selain TNI melalui peradilan umum dengan tetap memperhatikan aturan-aturan koneksitas dalam KUHAP.
Semangat Reformasi UU TNI Dalam Merevisi UU Peradilan Militer
Apabila ditelisik lebih dalam lagi, ternyata UU No. 34 Tahun 2004 telah memiliki “semangat” dalam reformasi Peradilan Militer. Pasal 65 ayat (2) menyebutkan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Pasal 74 UU a quo mensyaratkan perlunya dibentuk UU Peradilan Militer yang baru apabila amanat dari Pasal 65 ingin dijalankan sepenuhnya. Dilahirkannya UU Peradilan Militer yang baru atau revisi dari UU Peradilan Militer saat ini nampaknya belum menjadi hal banyak didorong oleh berbagai pihak. Padahal, adanya UU Peradilan Militer yang baru akan menjadi legitimasi bagi lembaga-lembaga dalam lingkup Peradilan Umum untuk memproses hukum anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana selain tindak pidana militer sesuai dengan undang-undang.
Rumitnya prosedur penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI aktif menjadi alarm bagi proses penegakan hukum di negeri ini. KPK yang ternyata juga tidak menjalankan prosedur yang benar memperbesar peluang tidak terselenggaranya proses peradilan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Pun, tidak jelasnya berbagai pengaturan dalam hukum positif Indonesia khususnya terkait penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI aktif juga memperparah dan mempersulit terselesaikannya tindak pidana yang terjadi. Maka dari itu penting untuk kembali menilik semangat dari UU TNI yang mengamanatkan perlunya dilaksanakan revisi atas UU Peradilan Militer.
Sedikitnya pihak yang mendorong hal ini perlu menjadi catatan kritis atas proses reformasi hukum yang berjalan. Apabila proses reformasi hukum dalam mencapai independensi peradilan masih menjadi target, maka sangat penting untuk berbagai pihak baik eksekutif, legislatif, dan TNI sendiri untuk mulai mendorong dibahasnya revisi akan UU Peradilan Militer.