Konten dari Pengguna

Menangisi Waktu

Muhamad Fadlulloh
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
4 Desember 2022 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Fadlulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Waktu berjalan begitu cepat, para hamba yang ber-Tuhan berdoa meminta waktu diputar kembali agar bisa mengubah kejadian yang seharusnya tidak terjadi, penyesalan menghantui tetapi tetap tidak bisa mengubah apa pun. Jika waktu bisa diulang, apakah para hamba yang berpikir melakukan kesalahan akan memperbaiki kesalahan? Atau malah mengulangi kesalahan-kesalahan yang sebelumnya mereka lakukan?.
ADVERTISEMENT
Namaku Saka, laki-laki yang sering memaki dirinya sendiri karena terus mengulangi kesalahan yang sama. Semenjak aku meninggalkan rumahku dan tinggal di Jakarta karena alasan kuliah, aku mengalami perubahan yang signifikan, gaya hidup, karakter, dan cara berbahasa yang biasa aku gunakan di tempat tinggal lamaku, semua itu aku lakukan agar di terima di lingkungan tempat tinggalku dan lingkungan pertemananku.
Empat bulan aku tinggal di Jakarta, perubahan mulai terlihat dari diriku, mulai dari gaya berpakaian yang mengikuti teman kuliahku agar terlihat keren menurut sebagian orang. Sebenarnya aku tidak nyaman dengan pakaian yang serba ketat seperti ini, tetapi agar bisa bergabung dengan temanku, terpaksa aku lakukan agar aku memiliki teman.
Waktu berjalan begitu cepat, caraku berkomunikasi sudah mulai berubah, di kota lama aku terbiasa menggunakan kata “aku, kamu” untuk berkomunikasi, beberapa bulan aku tinggal di sini kebiasaan lamaku menggunakan bahasa yang baku mulai hilang, mulai dari aku yang menggunakan bahasa “lu, Gue” untuk berkomunikasi, hingga kata kasar yang spontan keluar dari mulutku.
ADVERTISEMENT
Di tempat tinggal asalku, sekalipun aku tidak pernah meninggalkan Sembahyang lima waktu, bisa di bilang aku adalah hamba yang taat terhadap agama, aku selalu datang pengajian rutin pemuda di kampungku dan selalu bergaul dengan orang yang taat akan agama, bisa dibilang lingkungan pertemananku di kampung lebih baik ketimbang aku tinggal di Jakarta sekarang, mungkin aku yang salah memilih teman atau memang aku saja yang tidak bisa mengendalikan diriku.
Sebenarnya aku cukup menderita tekanan batin tinggal di lingkungan yang seperti ini, sering kali aku merenung dan bahkan menangis di kamar tidur sehabis perkuliahan, aku memikirkan mengapa aku bisa jadi pribadi yang seperti ini, terkadang aku teringat kata ibuku sebelum aku berangkat menuju Jakarta, kata ibu “jangan pernah tinggalkan sembahyang ya Saka, hanya itu yang bisa ibu titipkan kepada anak tercinta ibu. Selebihnya jaga diri ya Saka, cari teman yang baik, yang bisa menuntunmu pada kebaikan dan tidak lupa bahwa kau memiliki agama”.
ADVERTISEMENT
Tubuhku serasa di pukuli satu kampung ketika aku mengingat pesan yang diberikan oleh ibuku, pesan masuk dari ibu yang jarang aku balas, dan ketika ibu menghubungiku lewat telefon aku berpura pura sedang banyak tugas kuliah, padahal aku hanya malu ketika ingin membalas pesan ibu karena pribadiku yang seperti sekarang. Sebenarnya aku ingin bercerita kepada ibu, tetapi aku takut menyakiti hati ibu, aku tidak ingin membuat ibu khawatir.
Satu tahun berlalu dan aku sekarang menginjak semester dua perkuliahan, tidak sedikit pun aku pernah cerita kepada ibu tentang aku yang sekarang, bagaimana kehidupanku di Jakarta, dan bagaimana lingkungan pertemananku. Aku hanya sedikit bercerita kepada ibu tentang perkuliahanku yang semakin berat dan banyak tugas. Yang aku lakukan akhir ini adalah menangisi kebodohan yang aku lakukan, semakin lama aku tinggal di sini dan semakin aku mengikuti arus pergaulan yang semakin bebas.
ADVERTISEMENT
Semakin lama aku tinggal di sini semakin aku terjerumus ke dalam pergaulan bebas, aku yang lupa ber-Tuhan dan mengabaikan pesan ibuku, aku yang terus mengikuti arus pergaulan yang tak tahu arahnya ke mana dan lebih tepatnya menghantarkan diriku untuk jauh dari kehidupanku di masa lalu, aku menyesal tetapi aku malu untuk mengakuinya bahwa aku melakukan kesalahan yang sama.
Tidak ada tempat untuk aku bercerita, temanku tidak peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang, mereka hanya peduli ada atau tidak aku saat mereka berkumpul dan melakukan kegiatan yang tidak berguna dan malah menuntunku pada kesesatan. penyesalan menghantuiku, kuambil kertas dan aku mulai menulis pesan dan mungkin ini adalah pesan terakhirku.
ADVERTISEMENT
“Tuhan, aku mengaku kalah pada pertarungan hidup kali ini, perjalanan hidupku sangat menyenangkan. Tetapi, dari kesenangan itu aku malah lupa dengan Engkau Tuhan yang menciptakanku, ketertarikanku pada hal hal yang membuatku jauh daru Engkau lebih aku nikmati sekarang ketimbang menjalankan apa yang Kau perintahkan. Teruntuk ibu, terima kasih kau telah mendidikku dengan penuh kesabaran, pelajaran agama yang kau berikan kepadaku akan selalu aku ingat selalu tetapi aku hanya ingat tanpa pernah menjalankannya, sekali lagi maaf Ibu. Teruntuk diriku sendiri, cukup sudah kita bergelut di dunia yang penuh dengan kebingungan, maaf tidak bisa menghantarkanmu pada hal yang berguna, kita kalah dan sebaiknya kita pergi dari dunia yang membingungkan ini.” –Saka
Ibu: “Saka, kau anak yang baik, kau tidak gagal dan kau hanya tersesat karena ibu tidak selalu menanyakan apa yang kau lakukan di sana. Saka, tidak ada sedikit pun kebencian yang tumbuh di hati ibu ketika kau memilih mengakhiri dirimu dengan cara Bunuh diri, di mata Tuhan kau salah, di mata ibu kau selalu menjadi anak yang baik dan selalu baik. Istirahat yang tenang, doa ibu akan selalu menemanimu di sana, jangan bersedih, ibu akan selalu menemanimu di mana pun kau berada.”
ADVERTISEMENT