Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Hipokrisi Anggaran Pendidikan: Antara Janji Manis Politik vs Realitas Kebijakan
17 Februari 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhamad Ferdiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam setiap kontestasi politik, pendidikan selalu menjadi salah satu isu yang paling sering diangkat oleh para kandidat. Janji-janji manis mengenai peningkatan kualitas pendidikan, penyediaan beasiswa yang lebih luas, serta jaminan akses yang lebih mudah bagi masyarakat kerap menghiasi perdebatan publik. Namun, ketika berhadapan dengan realitas kebijakan, sering kali janji-janji tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan. Fenomena ini mencerminkan sebuah hipokrisi politik yang tampak jelas dalam pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hipokrisi dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan, antara janji dan realisasi. Dalam konteks anggaran pendidikan, hipokrisi ini terlihat dari besarnya janji politik yang disampaikan kepada masyarakat tetapi tidak diiringi dengan kebijakan nyata yang mendukungnya. Salah satu contoh nyata dari ketidakkonsistenan ini dapat dilihat dalam janji-janji yang disampaikan selama kampanye pemilihan presiden 2024, di mana salah satu kandidat menjanjikan perbaikan di sektor pendidikan, termasuk peningkatan kesejahteraan guru dan akses pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun, ketika kita melihat perkembangan terbaru terkait efisiensi anggaran di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), realitasnya justru berbanding terbalik. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin pemerintah yang sebelumnya berjanji meningkatkan kualitas dan akses pendidikan justru melakukan kebijakan yang berpotensi menghambat pendidikan bagi mereka yang kurang mampu?
ADVERTISEMENT
Alih-alih memenuhi janji politik, laporan terbaru justru adanya kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan di Kemendikbudristek berpotensi menyebabkan pemangkasan dana beasiswa serta kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kebijakan ini menjadi sebuah ironi yang mencerminkan hipokrisi dalam sistem pemerintahan. Di satu sisi, pemerintah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat luas, tetapi di sisi lain justru membiarkan kebijakan yang mempersempit kesempatan bagi mahasiswa dari golongan kurang mampu untuk tetap mendapatkan hak pendidikannya.
Fenomena pemangkasan dana beasiswa dan kenaikan UKT ini tidak hanya berdampak pada mahasiswa, tetapi juga mencerminkan ketidakkonsistenan dalam implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia. Pendidikan semestinya menjadi sektor yang mendapatkan prioritas utama dalam pengalokasian anggaran, sebagaimana yang sering kali digaungkan oleh para politisi. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan masih sering menjadi korban dari kebijakan efisiensi anggaran yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Seolah-olah pendidikan hanya menjadi sekadar alat kampanye politik tanpa komitmen yang nyata untuk memastikan keberlangsungannya.
ADVERTISEMENT
Ketidakkonsistenan dalam kebijakan anggaran pendidikan ini juga menunjukkan kurangnya perencanaan jangka panjang yang matang. Pemerintah seharusnya menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar pengeluaran, melainkan investasi bagi masa depan bangsa. Pemangkasan dana beasiswa serta kenaikan UKT berpotensi menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin lebar. Mahasiswa dari latar belakang ekonomi lemah akan semakin sulit mengakses pendidikan tinggi, yang pada akhirnya akan memperburuk ketimpangan sosial di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan visi pemerintah yang ingin menciptakan Indonesia emas 2045, namun realitasnya tidak ada generasi emas karena anggaran pendidikan dipangkas.
Hipokrisi dalam anggaran pendidikan ini juga mencerminkan lemahnya sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Jika memang benar bahwa anggaran harus diefisienkan, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam mengenai sektor mana yang harus mendapatkan pemangkasan. Pendidikan tidak seharusnya menjadi sasaran utama, terutama ketika masih banyak sektor lain yang dapat dikaji ulang efisiensinya, seperti makan siang gratis, belanja birokrasi dan proyek-proyek infrastruktur yang kurang mendesak. Sayangnya, alih-alih memangkas anggaran di sektor yang kurang krusial, pemerintah justru mengambil langkah yang membebani mahasiswa dan keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap kebijakan anggaran pendidikan ini bukan berarti menolak adanya efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, perlu dipertanyakan apakah langkah-langkah efisiensi yang diambil benar-benar tepat sasaran. Dalam beberapa tahun terakhir, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia memang cukup besar secara nominal, tetapi pertanyaannya adalah apakah anggaran tersebut benar-benar dikelola dengan efektif? Banyaknya kebocoran anggaran, program-program yang kurang berdampak nyata, serta ketidaktepatan sasaran dalam distribusi dana pendidikan justru semakin memperkuat argumen bahwa persoalan utama bukan terletak pada jumlah anggaran, tetapi pada tata kelola dan implementasinya.
Pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa 'Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan'. Maka, ketika kebijakan yang diambil justru berpotensi mempersempit akses terhadap pendidikan, ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap amanat konstitusi. Janji politik seharusnya bukan sekadar retorika untuk meraih suara dalam pemilu, melainkan komitmen nyata yang diwujudkan dalam kebijakan yang pro-rakyat.
ADVERTISEMENT
Hipokrisi dalam anggaran pendidikan juga mencerminkan ketidakpekaan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak keluarga mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi dan berbagai faktor lainnya. Dalam situasi seperti ini, kebijakan yang justru memperberat beban pendidikan masyarakat hanya akan memperburuk keadaan. Jika pemerintah benar-benar serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan, maka langkah yang seharusnya diambil adalah memperkuat subsidi pendidikan, bukan malah mengurangi atau membebankan lebih banyak biaya kepada mahasiswa.
Dengan demikian, hipokrisi anggaran pendidikan adalah cerminan dari permasalahan yang lebih besar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Janji politik yang tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukungnya hanya akan menciptakan kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa, bukan sekadar alat politik yang dimainkan demi kepentingan sesaat. Jika pemerintah ingin membuktikan komitmennya terhadap sektor pendidikan, maka sudah saatnya untuk mengakhiri praktik-praktik hipokrit dalam pengelolaan anggaran dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak kepada rakyat.
ADVERTISEMENT