news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kesetaraan Gender dalam Politik: Pemikiran Wollstonecraft dan Tantangan Modern

Muhamad Ferdiansah
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
10 Maret 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Ferdiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Aksi Demonstransi Perempuan Internasional. Foto: Pixabay/StockSnap
zoom-in-whitePerbesar
Potret Aksi Demonstransi Perempuan Internasional. Foto: Pixabay/StockSnap
ADVERTISEMENT
Mary Wollstonecraft, seorang filsuf dan feminis abad ke-18, adalah salah satu suara awal yang menyerukan kesetaraan gender, terutama dalam bidang pendidikan dan partisipasi perempuan dalam masyarakat. Dalam karyanya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (1792), Wollstonecraft berpendapat bahwa perempuan tidak diberi kesempatan yang setara untuk mengembangkan potensi mereka akibat terbatasnya akses terhadap pendidikan yang sama seperti laki-laki. Gagasannya mengenai kesetaraan, yang mencakup hak dan kewajiban yang jelas bagi perempuan, masih tetap relevan dalam diskusi kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan representasi perempuan dalam kepemimpinan dan politik.
ADVERTISEMENT
Di dunia politik saat ini, jumlah perempuan yang menduduki posisi strategis memang meningkat dibandingkan dengan masa lalu, tetapi kesenjangan gender masih menjadi persoalan besar. Data global menunjukkan bahwa pada 2024, hanya sekitar 26,9% kursi di parlemen nasional diisi oleh perempuan, meskipun mereka mencakup separuh populasi dunia. Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa perempuan masih menghadapi berbagai hambatan dalam memasuki dunia politik, terutama di negara-negara berkembang dan konservatif yang masih didominasi oleh norma patriarkal. Jika Wollstonecraft hidup di era modern, ia mungkin akan mengkritik ketimpangan ini sebagai bukti bahwa masyarakat masih gagal menghapus sistem sosial yang menghambat partisipasi perempuan secara penuh dalam ranah publik.
Pendidikan adalah isu utama yang menjadi perhatian Wollstonecraft dalam perjuangannya untuk kesetaraan. Baginya, perempuan tidak akan mampu berkontribusi secara optimal jika tidak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Pandangan ini masih sangat relevan, mengingat bahwa di berbagai belahan dunia, perempuan masih mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang dapat membuka jalan mereka ke dunia politik. Kasus di Afghanistan, misalnya, menunjukkan bagaimana kebijakan diskriminatif terhadap pendidikan perempuan kembali diberlakukan setelah Taliban berkuasa pada 2021. Larangan pendidikan bagi perempuan di negara tersebut telah membatasi peluang mereka untuk berkembang dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Jika merujuk pada perspektif Wollstonecraft, kondisi ini merupakan bukti nyata bahwa tanpa akses pendidikan yang merata, perempuan akan terus mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Selain pendidikan, Wollstonecraft juga menyoroti pentingnya hak dan kebebasan perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Ia menentang anggapan bahwa perempuan hanya cocok menjalankan peran domestik dan menyerukan agar mereka diberikan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam berbagai sektor, termasuk politik. Namun, realitas modern menunjukkan bahwa meskipun lebih banyak perempuan telah menduduki posisi kepemimpinan, hambatan budaya dan sosial tetap menjadi tantangan besar. Stereotip gender dan bias masyarakat terhadap pemimpin perempuan masih sering muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ekspektasi yang berlebihan hingga pelecehan verbal dan diskriminasi di tempat kerja. Contoh yang mencolok terjadi pada Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, yang kerap mendapat sorotan lebih pada kehidupan pribadinya terutama terkait perannya sebagai ibu alih-alih fokus pada kompetensinya dalam kepemimpinan. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun perempuan kini lebih diterima dalam peran kepemimpinan, mereka tetap menghadapi standar ganda yang berbeda dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya mengatasi ketimpangan gender ini, teori politik modern menawarkan berbagai solusi. John Rawls, dalam teori keadilan sosialnya, menekankan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika memberikan keuntungan bagi kelompok yang paling tidak diuntungkan. Dalam konteks politik, hal ini dapat diterjemahkan sebagai justifikasi bagi kebijakan afirmatif, seperti kuota gender dalam parlemen, untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam pengambilan keputusan. Kebijakan semacam ini telah diterapkan di berbagai negara dengan hasil yang beragam.
Pendekatan feminisme liberal yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Betty Friedan dan Simone de Beauvoir juga sejalan dengan pemikiran Wollstonecraft, yang menekankan pentingnya pendidikan dan kebebasan individu dalam mencapai kesetaraan gender. Dalam dunia politik, pendekatan ini mengarah pada perlunya program pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, serta jaringan mentor yang dapat membantu perempuan untuk memasuki dan bertahan dalam arena politik. Negara-negara Nordik, yang dikenal memiliki tingkat representasi politik perempuan yang tinggi, menjadi contoh keberhasilan dari implementasi kebijakan pendidikan yang inklusif serta dukungan sosial yang memungkinkan perempuan menyeimbangkan peran domestik dan publik.
ADVERTISEMENT
Namun, teori feminisme radikal berpendapat bahwa kesetaraan sejati tidak akan tercapai tanpa mengubah struktur patriarkal yang masih mendominasi masyarakat. Langkah-langkah simbolis seperti kuota gender dianggap belum cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan fundamental dalam cara masyarakat memahami kepemimpinan dan kekuasaan. Feminisme radikal mendorong perombakan sistem sosial yang masih sarat dengan bias gender, termasuk penghapusan praktik diskriminatif yang sering kali tidak terlihat, seperti bias bawah sadar dalam perekrutan dan promosi di dunia politik.
Salah satu contoh sukses dari penerapan kebijakan afirmatif dalam politik dapat dilihat di Rwanda. Pasca-genosida 1994, negara ini menetapkan kuota minimum 30% bagi perempuan di parlemen. Kebijakan ini berhasil meningkatkan representasi perempuan hingga lebih dari 60%, menjadikan Rwanda sebagai negara dengan persentase anggota parlemen perempuan tertinggi di dunia. Keberhasilan ini membuktikan bahwa kebijakan afirmatif yang diterapkan secara serius dapat menjadi alat yang efektif dalam mengatasi ketimpangan gender dalam politik. Namun, representasi numerik saja tidak cukup. Perubahan budaya dan sosial tetap diperlukan agar perempuan tidak hanya sekadar mengisi kursi parlemen, tetapi juga memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Pada peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, kita diingatkan kembali bahwa perjuangan menuju kesetaraan gender belum selesai. Hari ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga refleksi terhadap tantangan yang masih dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia. Kesetaraan gender bukan hanya tentang angka, tetapi tentang bagaimana perempuan dapat berkontribusi secara penuh tanpa mengalami diskriminasi dan hambatan sistemik.
Kesetaraan gender di dunia modern telah mengalami kemajuan yang signifikan, tetapi masih jauh dari ideal. Meskipun perempuan kini memiliki lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik dibandingkan dengan masa lalu, hambatan sosial dan struktural masih menjadi tantangan utama. Selama norma-norma patriarkal tetap mengakar dalam sistem politik, perempuan akan terus menghadapi kendala dalam mencapai kesetaraan sejati. Wollstonecraft mungkin akan terkejut melihat perkembangan yang telah dicapai perempuan dalam dunia modern, tetapi ia juga akan kecewa dengan lambatnya perubahan dalam struktur kekuasaan yang masih bias gender.
ADVERTISEMENT
Hari Perempuan Internasional seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen global dalam menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Kesetaraan gender bukan sekadar soal representasi, tetapi juga mengenai bagaimana perempuan benar-benar dapat berkontribusi dan memimpin tanpa harus menghadapi hambatan yang tidak dialami oleh laki-laki. Untuk mencapai hal tersebut, perubahan tidak hanya harus terjadi di tingkat kebijakan, tetapi juga dalam budaya politik secara keseluruhan. Diperlukan langkah-langkah yang lebih progresif dan sistemik untuk memastikan bahwa perempuan tidak hanya diakui dalam dunia politik, tetapi juga memiliki pengaruh nyata dalam menentukan arah masa depan dunia.
Selamat Hari Perempuan Internasional! Mari terus memperjuangkan dunia yang lebih setara dan inklusif bagi semua.