Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Wajah Baru Bela Negara: Bagaimana Gen Z Mendefinisikan Patriotisme
21 Februari 2025 21:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhamad Ferdiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat ini, wajah baru belajar tentang negara dan patriotisme mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Jika dahulu nasionalisme lebih banyak ditunjukkan melalui aksi-aksi konkret, seperti demonstrasi dan pengabdian langsung kepada masyarakat, kini generasi Z (Gen Z) memiliki cara yang lebih beragam dalam mengekspresikan kecintaan terhadap tanah air.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara yang mencolok adalah penggunaan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan pendapat dan menggerakkan massa.
Namun menimbulkan banyak pertanyaan, apakah cara ini efektif dalam membangun patriotisme sejati atau justru menjauhkan kita dari pemahaman yang lebih mendalam tentang perjuangan membangun bangsa?
Patriotisme bagi generasi sebelumnya sering dikaitkan dengan perjuangan fisik, pengorbanan, dan loyalitas tanpa syarat kepada negara. Generasi Z, yang lahir di tengah arus informasi digital yang tak terbatas, memiliki perspektif yang lebih luas terhadap konsep ini. Bagi mereka, patriotisme bukan sekadar tentang mencintai negara secara membabi buta, tetapi juga tentang mengkritisi kebijakan, memperjuangkan hak asasi manusia, serta memastikan pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Bentuk keterlibatan mereka pun berbeda; beberapa masih memilih turun ke jalan untuk berdemo, sementara sebagian besar menggunakan media sosial sebagai medan perjuangan.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi tetap menjadi cara yang dianggap efektif dalam menyampaikan aspirasi. Beberapa gerakan besar dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa protes jalanan masih memiliki tempat dalam ranah politik dan sosial. Misalnya, di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan anak muda berhasil menggiring perubahan kebijakan tertentu. Demonstrasi memberikan ruang bagi masyarakat untuk secara langsung menunjukkan ketidakpuasan dan mendesak pemerintah untuk bertindak.
Namun, demonstrasi juga memiliki tantangan. Reaksi keras dari aparat, minimnya jaminan keamanan, dan stigma negatif terhadap para demonstran sering kali menjadi penghalang utama. Selain itu, tidak semua anak muda memiliki kesempatan atau keberanian untuk turun ke jalan. Faktor ekonomi, lokasi geografis, serta keterbatasan fisik menjadi beberapa alasan mengapa sebagian Gen Z memilih jalur lain untuk mengekspresikan kepedulian mereka terhadap negara, yakni melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi senjata utama Gen Z dalam mendefinisikan patriotisme. Dengan hanya beberapa ketukan jari, mereka dapat menyebarkan informasi, membentuk opini publik, serta menekan pemerintah atau perusahaan melalui kampanye digital. Gerakan seperti tagar (#) yang viral sering kali memiliki dampak lebih besar daripada demonstrasi fisik.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, banyak gerakan sosial dan politik yang mendapatkan perhatian global hanya melalui kampanye digital. Isu-isu seperti lingkungan, kesetaraan gender, hingga kebebasan berekspresi menjadi agenda utama yang digaungkan oleh generasi muda di media sosial.
Namun, pertanyaan pentingnya adalah seberapa efektif metode ini dalam membawa perubahan nyata?
Kampanye digital memang dapat menciptakan kesadaran, tetapi sering kali berhenti pada tahap itu saja. Efek jangka panjangnya masih dipertanyakan. Apakah sekadar mengunggah foto dan video di Instagram, menulis opini di X, atau membagikan petisi sudah cukup untuk disebut sebagai tindakan patriotisme? Ada kekhawatiran bahwa bentuk patriotisme digital ini hanya bersifat permukaan dan tidak benar-benar menuntut komitmen yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Istilah "slacktivism" yaitu aktivisme malas yang hanya sebatas klik dan bagikan (digital), sehingga ini yang menjadi salah satu kritik terbesar terhadap patriotisme era digital. Di sisi lain, media sosial juga rawan disalahgunakan. Berita palsu, propaganda, serta manipulasi informasi sering kali menyusup ke dalam diskusi-diskusi publik di platform digital. Jika tidak disertai dengan literasi media yang baik, patriotisme digital ini justru bisa berujung pada polarisasi masyarakat, penyebaran kebencian, dan bahkan perpecahan. Dalam beberapa kasus, justru orang-orang yang mengaku patriotik di media sosial lah yang paling rentan termakan hoaks dan berakhir memperkeruh situasi.
Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa media sosial tetap memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran politik dan sosial di kalangan anak muda. Dengan akses yang lebih mudah ke berbagai sumber informasi,Gen Z memiliki peluang untuk memahami berbagai perspektif sebelum mengambil sikap. Mereka lebih terbuka terhadap diskusi global dan memahami bahwa nasionalisme tidak bisa lagi bersifat sempit. Di dunia yang semakin terhubung ini, mencintai negara tidak berarti menutup diri dari pengaruh luar, melainkan mampu bersaing di ranah global sambil tetap mempertahankan identitas nasional.
Maka, bagaimana seharusnya kita memandang pergeseran ini? Apakah patriotisme Gen Z, yang lebih banyak beroperasi di ruang digital, lebih baik atau justru melemahkan semangat kebangsaan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya mungkin tidak hitam putih. Kedua cara demonstrasi dan aktivisme digital memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang lebih penting adalah bagaimana generasi muda dapat menggabungkan keduanya untuk menciptakan perubahan yang lebih nyata. Demonstrasi tanpa strategi komunikasi digital dapat kehilangan daya jangkaunya, sementara aktivisme digital tanpa aksi nyata dapat kehilangan esensi perjuangannya.
Pemerintah dan institusi pendidikan juga memiliki peran besar dalam membentuk wajah baru patriotisme ini. Jika pendidikan kewarganegaraan di sekolah masih terpaku pada konsep-konsep lama tanpa mengakomodasi perubahan zaman, maka wajar jika generasi muda mencari jalan mereka sendiri.
Meningkatkan literasi media, mengajarkan cara berpikir kritis, serta membangun kesadaran politik yang sehat adalah beberapa langkah yang dapat diambil agar patriotisme tidak hanya menjadi tren sesaat, tetapi benar-benar menjadi nilai yang mengakar dalam diri setiap individu.
ADVERTISEMENT
Patriotisme, pada akhirnya, bukan hanya tentang simbol dan ritual, tetapi tentang kepedulian dan tindakan nyata untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Baik melalui demonstrasi di jalanan maupun melalui media sosial, yang terpenting adalah substansi dari perjuangan itu sendiri.
Selama Gen Z terus mengedepankan kepentingan bersama, berjuang untuk keadilan, dan tetap kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka wajah baru patriotisme ini tetap memiliki harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi negara.