Konten dari Pengguna

Libur Ramadan Sebulan Penuh Perlu Diterapkan (atau Tidak)?

Muhamad Iqbal Putra Pratama
Mahasiswa Prodi D-IV Komputasi Statistik di Politeknik Statistika STIS
1 Januari 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Iqbal Putra Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sekolah. Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sekolah. Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, bulan Ramadan membawa suasana istimewa bagi umat Islam di Indonesia, termasuk bagi siswa dan guru di sekolah-sekolah. Terkait dengan Ramadan dan sekolah, baru-baru ini muncul wacana pemerintah untuk meliburkan sekolah di tanah air secara penuh 1 bulan selama bulan Ramadan. Kebijakan ini bertujuan memberikan ruang lebih bagi siswa untuk fokus menjalankan ibadah tanpa terbebani oleh tugas akademik dan sekolah. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar solusi terbaik yang perlu diterapkan?
ADVERTISEMENT
Wacana libur penuh selama Ramadan sedang hangat dibicarakan di media sosial setelah Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengonfirmasi kebenaran isu ini pada Senin (30/12/2024). Beliau menjelaskan bahwa kebijakan ini ada dan rencananya akan diterapkan ke sekolah-sekolah di bawah Kementerian Agama saat Ramadan 2025. Meski demikian, kebijakan ini juga diwacanakan akan diterapkan ke sekolah lain yang bukan di bawah Kementerian Agama, meskipun memang sampai saat ini (31/12/2024) belum ada pembahasan lebih lanjut.
Jika diterapkan, kebijakan ini akan berdampak pada jutaan siswa di seluruh negeri. Berdasarkan Rekapitulasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Nasional semester ganjil tahun 2024/2025, per 31 Desember 2024 terdapat lebih dari 53 juta siswa yang terdaftar pada jenjang pendidikan formal di Indonesia. Angka yang sangat besar mencerminkan skala besar dampak potensial dari kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Wacana libur penuh selama Ramadan memang berpotensi mengurangi beban akademik siswa sehingga memberikan ruang bagi siswa untuk lebih fokus dalam melakukan ibadah selama bulan Ramadan. Diliburkannya siswa juga mendorong mereka untuk lebih banyak membangun kebersamaan dalam keluarga, serta berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan sekitar tempat tinggal.
Namun, perlu diperhatikan bahwa satu bulan tanpa sekolah dapat memotong tahun pembelajaran, sehingga menyulitkan guru dan siswa dalam upaya penyelesaian kurikulum. Berkurangnya waktu pertemuan dapat memaksa para guru untuk menuntaskan materi pembelajaran dengan lebih cepat. Jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik oleh seluruh siswa, hal ini akan hanya akan semakin mempertegas kesenjangan pemahaman materi pembelajaran oleh siswa dan dapat menurunkan capaian ketuntasan pembelajaran. Pembelajaran yang terburu-buru juga bukan tidak mungkin akan meningkatkan stres yang dialami oleh siswa dan guru.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dengan diberikannya libur panjang tanpa diimbangi kontrol dan pengawasan yang memadai, berpotensi membuat siswa akan menghabiskan waktu untuk hal yang kurang produktif, seperti bermain gadget seharian, sehingga timbul kesia-siaan dari penerapan kebijakan ini. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 dalam publikasi Statistik Pendidikan 2024 oleh BPS RI memberikan gambaran yang mendukung kekhawatiran ini.
Statistik Pendidikan 2024 menunjukkan bahwa 8 dari 10 peserta didik usia 5-24 tahun menggunakan telepon seluler, seperlima peserta didik usia 5-24 tahun menggunakan komputer/laptop, dan sebesar 80,32 persen peserta didik usia 5-24 tahun mengakses internet dalam tiga bulan terakhir sebelum survei. Lebih lanjut, dari 80,32 persen peserta didik yang menggunakan internet, mayoritas (90,76 persen) menggunakan internet untuk hiburan, 67,65 persen mengakses media sosial, dan hanya terdapat 27,53 persen peserta didik yang menggunakan internet untuk pembelajaran daring. Tanpa adanya panduan yang jelas, kebijakan libur penuh justru berpotensi mendorong siswa menghabiskan waktu lebih banyak untuk hiburan dan media sosial, sehingga tujuan utama kebijakan, yaitu mendukung ibadah dan pendalaman agama, dapat menjadi sulit tercapai.
ADVERTISEMENT
Sedikit menilik sejarah, kebijakan libur selama bulan Ramadan sebenarnya sudah pernah diterapkan di Indonesia. Salah satunya ada pada masa pemerintahan Presiden RI ke-4, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Perlu menjadi catatan, bahwa pada masa ini Gus Dur tidak semata-mata memberikan libur sekolah, melainkan Beliau juga mengimbau sekolah-sekolah untuk membuat kegiatan tematik seperti pesantren kilat, sehingga tujuan kebijakan dapat tercapai dengan lebih terarah. Saat itu, sekolah-sekolah juga meminta siswanya untuk melaporkan kegiatan ibadah selama Ramadan, seperti Tadarus hingga Tarawih. Kebijakan ini menjadi momentum bersejarah yang dikenang oleh banyak orang sebagai salah satu bentuk perhatian dan kepedulian Presiden Gus Dur kepada umat Islam.
Namun, perlu disadari bahwa setiap waktu dapat membawa kisah yang berbeda. Mengingat kondisi lingkungan dan masyarakat yang sudah banyak berubah, penerapan libur selama sebulan penuh saat ini bisa jadi tidak lagi relevan. Meski demikian, kebijakan libur Ramadan oleh Gus Dur dengan mengganti kegiatan akademik menjadi kegiatan tematik seperti pesantren kilat rasanya masih layak dipertimbangkan untuk dapat diterapkan kembali. Melalui kebijakan ini, tujuan agar siswa lebih fokus menjalankan ibadah dapat bersama-sama dicapai dan kegiatan siswa selama liburan menjadi lebih terkontrol, dibandingkan dengan secara cuma-cuma memberikan siswa libur tanpa pengawasan dan prosedur yang jelas.
ADVERTISEMENT
Penetapan kebijakan Ramadan ini juga perlu mempertimbangkan keberagaman masyarakat, dalam hal ini keberadaan masyarakat non-Muslim yang tidak terlalu 'relevan' dengan bulan Ramadan. Penting untuk mencari solusi yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan umat Islam dalam menjalankan ibadah, tetapi juga menghormati hak dan keberagaman kelompok lainnya.
Salah satu alternatif kebijakan inkusif yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah tidak meliburkan sekolah, tetapi memperpendek jam pelajaran atau menyesuaikan waktu masuk dan pulang sekolah. Melalui alternatif ini, siswa beragama islam tetap mendapatkan waktu lebih untuk beribadah tanpa mengorbankan seluruh aktivitas belajar di sekolah.
Pada akhirnya, kebijakan libur penuh selama Ramadan membawa peluang dan tantangan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat dan seimbang, yaitu kebijakan yang mendukung ibadah tanpa mengorbankan keberlanjutan pendidikan. Meskipun tidak ada kebijakan yang sempurna, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat memastikan pendidikan tetap berjalan dengan baik, sambil tetap menghormati nilai-nilai keagamaan yang ada selama bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT