Komnas HAM Ungkap 5 Cacat Hukum Perppu Ormas

16 Juli 2017 13:54 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komnas HAM datangi KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komnas HAM datangi KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisiasi Masyakarat (Ormas), meluas. Kali ini giliran Komisioner Komnas HAM yang menyebut pelaksanaan Perppu itu berpotensi melanggar HAM dan mengancam demokrasi.
ADVERTISEMENT
Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution menyampaikan, sejak Perppu itu diterbitkan Presiden Joko Widodo, Komnas HAM langsung melakukan kajian terhadap Perppu yang dibuat untuk merevisi UU Ormas itu.
"Sepintas penerbitan Perppu tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik di mana Pemerintah akan memberikan perlindungan HAM bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam Perppu tersebut," ujarnya dalam rilis yang diterima kumparan (kumparan.com), Minggu (16/7).
Menurutnya, dengan Perppu itu seolah pemerintah akan melindungi warga negara dari tindakan diskriminasi atas dasar SARA, menjamin hak atas rasa aman, menindak ormas-ormas yang menampilkan kekerasan dan mengambil alih otoritas negara, melindungi kedaulatan bangsa, menjaga Pancasila, dan seterusnya.
"Namun mencermati pasal-pasal yang terdapat di dalamnya, kami menemukan setidaknya 5 cacat Perppu Nomor 2 tahun 2017," terang Maneger.
ADVERTISEMENT
Pertama, cacat lahir. Secara prosedural penerbitan Perppu tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan MK dalam putusan Nomor 38/PUU-VII/2009.
Yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap Ormas.
Markas HTI di Tebet (Foto: Anggi Dwiky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Markas HTI di Tebet (Foto: Anggi Dwiky/kumparan)
"Kedua, cacat substansi. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan UU HAM yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah," terang Maneger.
Maneger menyebut, Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU.
ADVERTISEMENT
Lalu semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas HAM serta kebebasan dasar orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral-kesusilaan, nilai-nilai agama, keamanan, kertetiban umum, dan kepentingan bangsa dalam suatu masyakat yang demokratis (pasal 28J (2) UUDNRI 1945 dan pasal 73 UU Nomor 39 tahun 1999).
"Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun, tidak boleh mengurangi, merusak, atau menghapuskan HAM atau kebebasan dasar yang diatur dalam konstitusi dan UU HAM sesuai pasal 74 UU Nomor 39 tahun 1999," paparnya.
"Ketiga, cacat metodologi. Perppu tersebut menghapus mekanisme due process of law dalam pembubaran Ormas. Memang inilah yang menjadi pokok dalam Perppu ini," lanjut Maneger.
ADVERTISEMENT
"Perppu ini menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan Ormas," kritiknya.
Keempat, cacat pikir. Perppu memunculkan ketentuan pidana sebagaimana dalam pasal 82A. Seseorang dapat dipidana karena secara langsung atau tidak langsung menjadi pengurus/anggota Ormas yang terlarang dengan pidana. Bahkan, Perppu itu menambah berat pemidanaan dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau minimal 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Kelima, cacat paham. Perppu ini merupakan perubahan UU Ormas. Perubahan yang pada pokoknya, meminjam tesis Prof Syaiful Bakhri, Guru Besar Pidana yang juga Rektor UMJ, hendak menerapkan asas contrarius actus dalam pembubaran Ormas menunjukkan kesesatan pemerintah terhadap konstitusi dan UU HAM dan UU Ormas.
ADVERTISEMENT
"Penerbitan Perppu ini sebagai jalan pintas, syahwat kekuasaan dalam mengintervensi kebabasan bersyarikat warga negara," kata Maneger.
Presiden saat Sidang Kabinet di Istana Bogor. (Foto: Biro Pers Istana Kepresidenan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden saat Sidang Kabinet di Istana Bogor. (Foto: Biro Pers Istana Kepresidenan)
Terlepas berbagai cacat ketentuan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, Perppu tersebut merupakan solusi yang terlalu mewah. Seharusnya pemerintah lebih fokus dalam mengakselerasi pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern.
Sebuah negara yang menisbikan penegakan hukum yang adil dan beradab jelas akan menggantarkan sebuah rezim ke pintu gerbang otoritarianisme. Ini malapetaka, apabila tidak segera direnungkan.
"Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat konstitusi," tuutnya.
"Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu," lanjut Maneger.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, dunia kemanusiaan juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena HAM memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain.
Atas Dasar itu, sejatinyalah MK supaya ekstra hati-hati, ekstra jujur, dan ekstra ketat di dalam memeriksa perkara ini. Dan DPR RI juga ekstra hati-hati, ekstra jujur, dan ekstra ketat atas diundangkannya Perppu Ormas.
"Solusi sementara, jika ada ormas yang dipandang radikal oleh pemerintah tidak langsung memberangusnya, tapi dengan dialog dan melalui proses hukum," saran Maneger.
"Begitu juga dengan Kementerian Agama bisa mengadakan dialog terbuka untuk menentukan apakah ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Setelah baru diajukan ke proses hukum," tutupnya.