Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Muhammadiyah soal Putusan MK: Ahmadiyah Bukan Agama atau Kepercayaan
9 November 2017 16:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Putusan MK bernomor Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengakomodir aliran kepercayaan dalam KTP, menuai kekhawatiran masuknya gerakan atau paham-paham lain yang dilarang tapi ingin diakui dalam KTP.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, para penganut kepercayaan itu berhasil mengoreksi ketentuan di UU Administrasi Kependudukan soal mengosongkan kolom agama di KTP bagi penganut kepercayaan. Argumentasinya adalah asas keadilan, karena selama ini mereka diperlakukan beda dengan mereka yang mencantumkan agama di KTP.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menilai paham seperti dianut Ahmadiyah, tidak perlu dikhawatirkan akan diakui juga oleh pemerintah, karena mereka bukanlah agama atau aliran kepercayaan.
"Tidak perlu ada kekhawatiran Ahmadiyah masuk dalam KTP. Ahmadiyah itu bukan aliran kepercayaan dan juga bukan agama. Penghayat kepercayaan sudah ada daftar resminya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ucap Abdul Mu'ti kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (9/11).
Soal Ahmadiyah ini, MUI tahun 1980 memfatwakan Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa itu, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Alquran dan hadis.
ADVERTISEMENT
Abdul Mu'ti menjelaskan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat, alias tidak bisa digugat lagi. Karena itu, pemerintah sebagai penyelenggara berkewajiban melaksanakan keputusan MK.
"Walaupun memang, keputusan itu tidak berdiri sendiri. Masih harus dilihat dan disinkronisasi dengan undang-undang dan peraturan terkait lainnya," ujarnya.
Menurutnya, dari sudut hak asasi manusia dan pemenuhan hak sipil warga negara, keputusan MK itu sangat penting dan akan memberikan dampak luas terhadap langkah-langkah untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi penghayat kepercayaan di Indonesia.
Abdul Mu'ti menuturkan, yang perlu dilakukan pemerintah, pertama, melakukan pendataan mengenai penganut/penghayat kepercayaan. Tidak perlu ada pembatasan penghayat yang diakui atau tidak diakui. Kedua, memastikan hak-hak penganut aliran kepercayaan dipenuhi pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Perubahan kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik terkait administrasi kependudukan dan hak-hak sipil yang melekat dengannya," pungkas Mu'ti.
Sebagaimana diketahui, ada 187 aliran kepercayaan tingkat pusat di Indonesia yang tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Putusan MK itu membuat Kementerian Dalam Negeri perlu mengubah UU Adminduk, mengakomodir 187 aliran kepercayaan di sistem kependudukan, dan mengubah format e-KTP menjadi 'agama/kepercayaan'.