Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pak Jokowi, Anak Bangsa Jangan Pecah karena Masalah Ahok
12 Mei 2017 13:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Ada kondisi yang memprihatinkan saat ini, soal riak-riak kecil anak bangsa yang lupa pernah disatukan oleh Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, lalu terusik karena kecintaannya pada satu orang atau golongan, melahirkan kebencian pada golongan lain.
ADVERTISEMENT
Masalah yang diributkan sama: Keadilan. Umat muslim pernah turun ke Jakarta dengan gelombang besar, karena merasa negara tak adil menyikapi kasus Ahok soal penistaan terhadap agama.
Lalu saat Ahok dijebloskan penjara, giliran pendukung Ahok yang berteriak soal keadilan. Mereka tak terima dengan keputusan negara lewat pengadilan yang memvonis Ahok 2 tahun. Mereka juga turun ke jalan, menggelar aksi bakar lilin, dan meluas di banyak daerah.
Aksi-aksi dukungan itu juga meluas di media sosial sejak awal. Ramai-ramai orang memasang status atau poster untuk mendukung atau menentang Ahok, tapi berujung saling sindir dan hujat. Kondisi ini menuai kekhawatiran.
"Luka luka yang timbul pasca Pilkada DKI rupanya belum berakhir, malah eskalasi perpecahan dan permusuhan terus meningkat, dan menjadi-jadi pasca Ahok divonis 2 tahun penjara oleh PN Jakarta Utara," ucap Wasekjen Demokrat, Didi Irawadi dalam pesan singkat, Jumat (12/5).
ADVERTISEMENT
Didi menuturkan, situasi yang panas dan tidak menentu antara 2 kubu baik pro Ahok dan yang berseberangan, perlahan tapi pasti bisa menuju perpecahan anak bangsa. Kepekaan seorang Presiden sebagai pemimpin tertinggi negeri ini dan pengayom sangat diperlukan.
Menurutnya, Presiden sudah mengambil langkah-langkah normatif dengan imbauan agar semua pihak menghormati hukum dan putusan pengadilan. Tetapi itu saja tidak cukup.
"Lihat saja sentimen muslim non muslim, pri non pri, Islam moderat, Islam radikal yang terus mengemuka. Inilah situasi terburuk yang pernah saya alami sebagai anak bangsa sejak lahir di Jakarta, setelah kerusuhan etnis 12 Mei 1998," kata mantan anggota Komisi Hukum DPR RI itu.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak ingin mengulangi sejarah pahit dan kelam 1998 yang telah menimbulkan luka yang sangat dalam. Jangan buka lagi luka itu, bagaimanapun Indonesia milik kita semua, milik kita bersama," tegasnya.
Didi menyebut, masalah ini terjadi karena ada oknum-oknum pelaku yang radikal dan over kontrol mengatasnamakan kedua belah pihak. Jika penanganan tidak tepat dan tidak bijak, dikawatirkan benturan-benturan yang mengarah perpecahan anak bangsa bisa jadi bom waktu.
"Saatnya Presiden sebagai pengayom dan pemersatu turun tangan, sebab hanya Presiden lah sebagai orang nomor satu negeri yang punya kekuasaan tertinggi, paling punya pengaruh dan potensi terbaik untuk melakukan upaya ini," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Didi menyarankan agar Presiden segera mengundang tokoh-tokoh yang saling berseberangan dalam satu meja. Dengarkan suara mereka, keluhan mereka, dan aspirasi mereka. Lalu kaji mendalam dan menyeluruh persoalan buruk yang telah terjadi, selanjutnya cari solusi yang tepat, cepat dan terbaik.
"Saya yakin Presiden memiliki wisdom yang tinggi, apalagi beliau Presiden pilihan mayoritas rakyat. Sudah pasti dulu dipilih karena diyakini mampu atasi problem bangsa ke depan," tuturnya.
"Presiden harus bisa menjadi jangkar dan perekat bagi kita semua, apalagi di saat-saat kritis seperti saat ini," tegas Didi.