Ramai-ramai Mengawasi Pemilu

Muhammad Iqbal
Aku - Kamu - Berita
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2019 20:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampanye hitam. Foto: Thinkstock via kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampanye hitam. Foto: Thinkstock via kumparan
ADVERTISEMENT
"Bro, mau jadi pengawas Pemilu?"
"Apa itu? Jaga TPS? Berapa honornya?"
ADVERTISEMENT
"......"
Pengawasan terhadap Pemilu kerap disimplikasi hanya soal mengawasi kampanye, atau proses pemungutan hingga rekapitulasi suara. Mengawasi Pemilu juga dianggap sebagai pekerjaan kelembagaan yang petugasnya disebut 'pengawas', berseragam, dan tentu saja diberi honor.
Padahal, Bawaslu sejak lama sudah mendorong agar pengawasan tidak hanya menjadi tugas lembaga, sehingga muncul konsep partisipasi masyarakat sebagaimana diatur Pasal 94 Ayat 1 huruf d UU tentang Pemilu.
Lalu lahirlah gagasan atau program Bawaslu seperti 'sejuta relawan' atau model rekrutmen partisipasi masyarakat lain untuk mengedukasi relawan atau kelompok masyarakat soal tugas-tugas pengawasan di Pemilu. Tapi lagi-lagi konsep partisipasi dikungkung dalam kacamata lembaga bahwa mereka relawan Bawaslu, meski tak melulu diberi honor.
Pengawasan terhadap Pemilu perlu melepaskan diri dari sekat-sekat lembaga, honor, label pengawas, seragam, aspek prosedural, dan teknis. Pengawasan adalah konsep yang dimiliki oleh semua orang dengan banyak cara yang bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, setiap orang adalah pengawas Pemilu dan perkembangan teknologi informasi akan memudahkan mereka menyalurkan laporan/masukan kepada Panwaslu/Bawaslu.
Urgensi Pengawasan
Namun muncul pertanyaan, apa pentingnya mengawasi Pemilu? Dampak apa yang terjadi pada seseorang jika mendapati dugaan kecurangan dalam Pemilu yang tidak dilaporkan? Misal, ada seorang caleg DPR di Pemilu 2019 berkampanye di masjid, apa dampaknya jika tidak dilaporkan ke Panwaslu?
Dampaknya, tentu bagi warga yang mengerti aturan, si caleg bisa terpilih dengan cara curang, apalagi jika caleg tersebut bukan pilihannya. Jadi, warga akan memiliki wakil rakyat yang terpilih dengan cara curang. Karena itu pengawasan menjadi penting.
Tapi ternyata lebih banyak variabel yang membuat warga tidak akan melaporkan temuan itu. Di antaranya soal pemahaman apakah berkampanye di masjid itu melanggar atau bukan, lalu soal prosedur laporan kepada Panwaslu/Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Belum lagi ada 40-120 caleg DPR rata-rata di dapil yang artinya mungkin banyak caleg lain berbuat sama, lalu mengapa warga harus repot-repot melaporkan satu caleg yang kampanye di masjid? Lagi pula, dampak 'memiliki wakil rakyat curang' sulit dipahami relasinya dengan harga cabai merah dan bawang putih.
Maka, ada pekerjaan besar Bawaslu menerjemahkan urgensi pengawasan untuk mendorong partisipasi publik. Tapi membicarakan urgensi pengawasan sejatinya menyoal perkara teknis bahwa mengawasi Pemilu adalah melaksanakan tugas Bawaslu.
Jika seseorang mendapati dugaan kecurangan Pemilu, maka penyelesaiannya tergantung pada Panwaslu/Bawaslu. Partisipasi masyarakat adalah definisi dari tanggung jawab pelaporan dalam pengawasan Pemilu. Sehingga, urgensi pengawasan berbanding lurus dengan kepercayaan pada Bawaslu.
Kepercayaan pada Bawaslu
Anggaplah setiap orang merasa punya tanggung jawab sebagai pengawas Pemilu dan menyadari pentingnya pengawasan dalam Pemilu, apakah Panwaslu/Bawaslu dapat dipercaya menyelesaikan masalah yang dilaporkan? Bagaimana persepsi publik terhadap Bawaslu?
ADVERTISEMENT
Secara sederhana persepsi itu bisa di-scroll di kolom komentar pada akun media sosial Bawaslu. Ternyata tak sedikit yang mempertanyakan peran Bawaslu di Pemilu 2019. Di antaranya soal tindak lanjut surat suara tercoblos di Malaysia, kemudian ada yang tidak puas dengan putusan atas pejabat yang dilaporkan melanggar kampanye, hingga tudingan Panwaslu/Bawaslu bagian dari kecurangan.
Namun, survei LSI-ICW pada Oktober 2018 dengan 2.000 responden di 6 provinsi menempatkan kepercayaan pada Bawaslu di angka 67%, tepatnya 7% di atas DPR, dan 18% di bawah KPK. Survei SMRC pada Maret 2019 dengan 1.426 orang menyebut 68 persen cukup yakin dengan Bawaslu.
Angka surveinya baik, tapi tak sedikit yang tak percaya Bawaslu. Jadi, mari kita berikan kepercayaan pada Bawaslu dan strukturnya di bawah untuk bekerja, toh mereka terbuka dengan kritik. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah mendasar lain dalam pengawasan di Pemilu: Jenis pelanggaran atau kecurangan dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Pemilu
Di luar sana mungkin banyak masyarakat yang menyaksikan dugaan pelanggaran Pemilu sepanjang Pemilu 2019 maupun terjadi di Pilkada. Dia merasa punya tanggung jawab mengawasi Pemilu, dia meyakini Pemilu harus diawasi, dan dia percaya pada Bawaslu. Tapi tidak tahu apakah suatu tindakan masuk dalam kategori 'dugaan pelanggaran' sehingga bisa dilaporkan untuk diproses atau tidak.
Sementara, wewenang Bawaslu mengawasi aspek Pemilu sangat luas, sejak perencanaan hingga penetapan hasil pemilu. Artinya, pada setiap tahapnya ada potensi pelanggaran yang bisa diproses Bawaslu. Dalam bahasa lain: banyak potensi pelanggaran yang bisa dilaporkan masyarakat kepada Bawaslu.
Sebagai contoh, berapa banyak jenis pelanggaran pada tahap kampanye dan berapa yang diketahui masyarakat? UU Pemilu menyebut ada 21 jenis pelanggaran dalam kampanye yang bisa diproses Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Pasal 280
(1) Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan bentuk NKRI;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta Pemilu yang bersangkutan, dan
j. menjaniikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.
ADVERTISEMENT
(2) Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kamparrye Pemilu dilarang mengikrrtsertakan:
a. ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan
c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
e. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural
f. aparatur sipil negara;
g. anggota TNI dan Polri
h. kepala desa;
i. perangkat desa;
j. anggota badan permusyawaratan desa; dan
k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih
Banyak bukan?
ADVERTISEMENT
Bayangkan ada 21 pelanggaran hanya untuk tahap kampanye pada Pasal 280 saja. Apakah masyarakat mengetahui jenis pelanggaran di atas? Tentu tidak semua. Belum lagi jenis pelanggaran/larangan pada tahap lain dalam Pemilu.
Lalu bagaimana mengedukasi atau menyosialisasikan jenis pelanggaran yang sangat banyak tersebut kepada masyarakat sehingga partisipasi masyarakat semakin besar? Di sinilah Bawaslu perlu kreatif. Aspek edukasi pelanggaran sangat penting jika partisipasi masyarakat adalah kunci Bawaslu.
Tentu menjabarkan puluhan jenis pelanggaran dalam satu baliho atau satu slot iklan sangatlah tidak efektif. Jadi, mulailah dari yang paling berpotensi dilanggar menurut temuan Bawaslu selama ini. Dari puluhan larangan itu mana yang paling rawan terjadi.
Jika itu dituangkan dalam iklan layanan masyarakat, tersebar viral di media sosial (bisa dibantu influencer), ramai di media massa, hingga dalam format yang kecil poster kampanye diterima masyarakat, tentu dampaknya sangat besar bagi Pemilu.
ADVERTISEMENT
Di Pemilu 2019 Bawaslu sudah mencoba dengan membuat video saat masa kampanye, atau sepekan sebelum pencoblosan, untuk menjelaskan jenis pelanggaran.
Namun hanya 3 jenis pelanggaran: politik uang, alat peraga kampanye di sekolah, dan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye. Tentu patut diapresiasi, tapi jauh dari kata efektif.
Saluran Pengawasan
Mendorong partisipasi publik adalah membuka seluas mungkin saluran bagi masyarakat menyampaikan laporan. Saluran apa saja yang disiapkan oleh Bawaslu di Pemilu 2019? Ada empat macam, yaitu:
1. Datang ke kantor Panwaslu terdekat
2. WhatsApp 0811 1414 1414
3. Aplikasi berbasis Android Gowaslu
4. Dricet Message ke media sosial Bawaslu (IG, Twitter, FB)
Apakah efektif? Sebagai upaya membuka luas saluran tentu saja patut diapresiasi. Faktanya, sebanyak 903 dari total 7.832 dugaan pelanggaran pemilu di Pemilu 2019 adalah laporan dari masyarakat. Sisanya kerja petugas pengawas.
ADVERTISEMENT
Apakah saluran itu cukup? Tentu tidak, dan saluran yang ada punya kendala. Prosedur melapor ke kantor Panwaslu tentu masyarakat banyak yang tidak tahu alamat kantor Panwaslu/Bawaslu, dan butuh usaha serta waktu menuju ke sana.
Laporan melalui WA tak sedikit yang mengeluhkan karena tak aktif, sementara melalui aplikasi sama halnya dengan permintaan instal aplikasi lain, 'ribet' karena usaha lebih untuk instal. Kemudian melalui DM di media sosial Bawaslu tak diketahui tindak lanjutnya.
Media Sosial
Media sosial (medsos) adalah senjata dalam konteks pengawasan. Pada Pemilu 2019, banyak sekali dugaan pelanggaran Pemilu yang beredar di media sosial. Bahkan, seolah kerja Panwaslu kalah dengan medsos. Tapi beberapa postingan akhirnya diusut oleh Bawaslu. Namun, 'temuan/laporan' yang berseliweran di media sosial belum bisa dikelola dengan baik oleh Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, jika laporan-laporan itu seluruhnya masuk ke meja Bawaslu dan diusut serius, maka gerakan partisipasi pengawas Pemilu bukan lagi membicarakan urgensi pengawasan, tapi bagaimana menambah petugas adhoc untuk mengusut setiap temuan.
Tapi, media sosial punya perilaku (behavior) sendiri. Hal ini juga yang disadari oleh media massa. Media sosial memunculkan satu masalah, namun bisa cepat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan rezim medsos membuat 'viral' sebagai sanksi sosial paling ditakutkan ketimbang dipanggil Panwaslu.
Misal kasus 2 menteri Jokowi yang diduga melanggar kampanye, namun ternyata tidak terbukti dalam putusan Bawaslu. Secara hukum 'selamat', tapi secara sosial, medsos sudah 'membunuh' kedua menteri itu berkali-kali.
Lalu apa yang bisa dilakukan Bawaslu dengan media sosial? Mari kita bahas komprehensif.
ADVERTISEMENT
Membuka Saluran Seluas-luasnya
Saya ulangi kalimat di atas:
Sebelum bicara salurannya, maka harus disepakati prinsip pelaporan.
Saluran laporan:
Saluran paling mudah dalam pengawasan pemilu adalah media sosial. Pemilih terutama di perkotaan, hampir dipastikan sudah terkoneksi dengan media sosial entah Facebook, Instagram, maupun Twitter.
Ada beberapa cara:
(a) Tagar/hashtag: Diterapkan untuk mengumpulkan laporan dalam satu isu di medsos. Warga cukup posting di akun sendiri dengan menyertakan tagar yang disepakati Bawaslu. Semacam #LaporBawaslu #AwasiPemilu atau lainnya. Bawaslu/Panwaslu tinggal mengusut setiap temuan.
ADVERTISEMENT
Meski ada asumsi pelapor ingin identitas dijaga, tapi di media sosial tak sedikit yang berani menunjukkan identitas. Sudah banyak kasus pencurian, kriminal, kecelakan, yang di-posting terbuka di medsos. Contoh teranyar kejadian polisi menendang driver ojol di Bogor. Videonya jelas, akunnya penyebarnya ada. Tapi pelapor tak khawatir atas risiko menyebarkan video yang membuat si polisi dimutasi.
(b) Direct Message: Saluran private ini sudah diterapkan Bawaslu di Pemilu 2019 sebagaimana ulasan di atas, namun tidak ada laporan atas penggunaan saluran direct message. Berapa laporan yang masuk via DM? Bagaimana tindak lanjut kasusnya? Jangan menyalahi prinsip saluran pelaporan di atas.
(c) Mention: Sama seperti penggunaan tagar/hashtag, yaitu memposting peristiwa di akun pribadi medsos. Namun kali ini caranya men-tag akun Bawaslu atau akun baru yang dibuat Bawaslu khusus pelaporan Pemilu.
ADVERTISEMENT
Aplikasi Gowaslu
Aplikasi tidak perlu jadi prioritas. Apakah orang rela instal aplikasi seberat 44 MB (Gowaslu) hanya untuk lapor satu dugaan pelanggaran, sementara tidak ada jaminan laporan itu diusut? Alih-alih diusut, si pelapor dikenakan keharusan siap dipanggil Bawaslu untuk klarifikasi.
Aplikasi Gowaslu masih perlu dikembangkan. Tahap registrasi sangat merepotkan. Sudah register pun ternyata login sulit karena kadang pasword dianggap salah.
Aplikasi sebagai wadah laporan banyak digunakan instansi pemerintah. Salah satu yang mungkin bisa ditiru adalah Clue yang dipakai beberapa Pemda termasuk DKI. Selain mudah diakses, kapasitas ringan, dan yang penting ada notifikasi dan update kasus itu diproses.
Oleh karena itu, penggunaan aplikasi harus memenuhi prinsip di atas: mudah diakses, identitas terjamin, komitmen laporan diusut, informasi tindak lanjut, dan tak berisiko atau membebani pelapor.
ADVERTISEMENT
Lantara laporan melalui aplikasi masih dianggap membebani, maka Bawaslu perlu membuat sistem pelaporan di website yang mudah diakses namun dengan tetap memperhatikan prinsip pelaporan.
Bayangan saya ada kolom bertuliskan Lapor Bawaslu yang tinggal klik, lalu tersedia form dengan isian sederhana.
Bawaslu sudah menerapkan melalui nomor WA 0811 1414 1414. Namun saluran ini sama seperti nomor pengaduan yang dibuat KPU, dibiarkan seperti robot hanya bisa menerima laporan WhatsApp, tidak bisa dihubungi alias tidak interaktif.
Bawaslu bisa melibatkan media online yang sudah memiliki jumlah pengakses besar untuk menerima laporan pelanggaran dengan format yang sama seperti diterapkan di website. Ini menjadi alternatif lantaran sangat sedikit yang mengakses website Bawaslu (analisis web bisa dicek salah satunya di Alexa.com).
ADVERTISEMENT
Sistem Terintegrasi
Seluruh saluran pelaporan di atas beserta prinsipnya hanya bisa efektif jika dikelola dalam satu kesatuan sistem yang terintegrasi. Maka dibutuhkan setidaknya dua hal:
(1) Tim
Harus ada sebuah tim yang dibuat khusus untuk mengelola seluruh saluran laporan (media sosial, aplikasi, website, call center) berbasis di Bawaslu RI. Dan akan lebih baik jika tim bekerja 24 jam bergantian sepanjang pengawasan Pemilu. Sebagai uji coba, sistem ini bisa diterapkan di satu tahap Pemilu saja misal penghitungan suara.
(2) Prosedur
Tim tersebut bertugas:
Penutup
ADVERTISEMENT
Sebagaimana judul stori ini yaitu Ramai-ramai Mengawasi Pemilu, maka semua gagasan partisipasi masyarakat harus dibuka untuk mewujudkan Pemilu yang lebih beradab.
Tentu perlu Peraturan Bawaslu untuk memayungi sistem, dan hanya peraturan yang peka pada perkembangan zaman yang akan berlaku efektif.
Saya membayangkan satu masa Bawaslu 'dipaksa cuti' bekerja saat Pemilu karena semua peserta Pemilu takut berbuat curang lantaran masyarakat berubah menjadi agen-agen Bawaslu. Mungkin juga akan ada saatnya hari tenang Pemilu masyarakat ramai-ramai membantu Panwaslu dan Satpol PP menertibkan atribut kampanye.
"Saya pengawas Pemilu."