Wawancara Dr. Nikolaos Van Dam: Myanmar Hanya Mau Mendengar Indonesia

10 September 2017 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dubes Van Dam (Foto: Dok. Pribadi Van Dam)
zoom-in-whitePerbesar
Dubes Van Dam (Foto: Dok. Pribadi Van Dam)
ADVERTISEMENT
Malam itu, Mantan Dubes Belanda untuk Indonesia, Dr. Nikolaos Van Dam, segera menarik perhatian pada Resepsi Diplomatik dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-72 RI, di residensi Duta Besar RI, Rabu waktu setempat atau Kamis (7/9/2017) WIB.
ADVERTISEMENT
Setelah mengucapkan selamat kepada tuan rumah, Dubes I Gusti Agung Wesaka Puja, didampingi Deputy Chief of Mission Ibnu Wahyutomo, dan istri masing-masing, Dubes Van Dam segera berbaur dengan tamu dalam resepsi berformat pesta kebun.
Diplomat senior dan dubes aktif terlama (22 tahun) dalam berbagai jabatan tertinggi dan pernah bertugas di Jakarta (2005-2010) itu menerima kumparan Den Haag (kumparan.com), di sela-sela kesibukannya beramah-tamah dengan tamu kalangan diplomatik, politik dan pemerintahan lainnya.
Dubes Van Dam dan Dubes I Gusti Agung Wesaka Puja (Foto: Eddi Santosa/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dubes Van Dam dan Dubes I Gusti Agung Wesaka Puja (Foto: Eddi Santosa/kumparan)
Berikut wawancara kumparan dengan Dubes Van Dam di Den Haag:
Sejak meninggalkan Jakarta tujuh tahun lalu, apakah Pak Van Dam masih mengikuti perkembangan Indonesia? Jika iya, isu apa yang paling menarik?
Tentu saya masih terus mengikuti. Isu paling menarik adalah pertemuan Menlu Retno dan Aung San Su Kyi, yang juga mendapat perhatian media di sini (Belanda, red). Bagaimana Indonesia dengan cepat mengambil inisiatif untuk membantu menangani isu Rohingya, yang kembali mencuat.
ADVERTISEMENT
Tapi rezim Myanmar terkesan tak cukup sensitif dengan reaksi dunia, bahkan menutup akses PBB. Diperlukan sanksi lagi atau sikap lebih tegas?
Untuk mencapai sesuatu, dialog akan lebih berdaya guna daripada sanksi atau apa pun. Sanksi tak banyak membantu, berbagai macam bentuk sanksi terbukti tidak mengubah apa pun sesuai dengan tujuan dijatuhkannya sanksi tersebut. Dialog dan sekali lagi dialog itu lebih efektif.
Sebagian kalangan menginginkan lebih dari itu. Bagaimana Pak Van Dam melihat hal ini?
Dialog kunci penting dalam konflik di mana pun di dunia. Banyak politisi kurang memahami hal ini. Mereka menilai dialog tidak selalu membuahkan hasil, tapi saya termasuk yang meyakini dialog. Bahkan jika kita mengira dialog tak akan berhasil, kita tetap harus mencoba lagi. Sebab alternatif lainnya telah terbukti sia-sia.
ADVERTISEMENT
Dalam isu Rohingya yang menjadi perhatian dunia, Indonesia saat ini memainkan peran yang sangat diperlukan. Kita tidak selalu bisa menuntut hal-hal substantif, tapi kadang perlu merangkul dengan sikap bersahabat. Pendekatan konstruktif, sikap bijaksana yang diambil Indonesia ini terbukti berhasil mengubah pendirian para pemimpin Myanmar.
Dalam misi ke Myanmar, Menlu Retno membawa prakarsa formula 4+1 untuk Rakhine State dan berhasil disampaikan ke Aung San Su Kyi. Apa pendapat Pak Van Dam?
Indonesia dengan Menlu Retno merupakan figur yang tepat untuk membantu menangani isu Rohingya. Pemimpin Myanmar tetap bergeming dengan segala tekanan dan sanksi. Dunia menyaksikan bahwa mereka hanya mau mendengar dan membuka diri untuk Indonesia. Dan saya ikut gembira Retno dapat dengan mulus masuk ke sana untuk menyampaikan pesan.
ADVERTISEMENT
Sebagai profesional dan pribadi, Pak Van Dam mengenal siapa Menlu Retno?
Saya mengenal Retno dalam berbagai jenjang. Sejak mula-mula dia Direktur Eropa, kemudian saya diundang makan siang perpisahan sebelum dia berangkat mendapat promosi sebagai Dubes untuk Norwegia, lalu kembali lagi ke Jakarta sebagai Dirjen Amerika dan Eropa. Selanjutnya saya mengenal lebih dekat ketika dia bertugas di sini (Dubes RI di Den Haag, red).
Dia seorang negosiator ulung dan ulet. Sebagai Dubes dan Menlu dia menunjukkan kinerja yang sangat bagus. Cara Retno menyampaikan sesuatu itu adalah kekuatannya. Saya punya banyak kenangan sangat berkesan dengan Retno, saya berharap juga sebaliknya.
Sekarang soal hubungan bilateral Indonesia-Belanda saat ini, bagaimana menurut Pak Van Dam?
ADVERTISEMENT
Hubungan bilateral Indonesia-Belanda boleh dikata saat ini mulus cerah, secerah cuaca hari ini. Saya senang kedua negara semakin dewasa dan mantap. Tentu masih bisa lebih baik lagi dan bisa lebih ditingkatkan. Ini menjadi tugas Kementerian dan Kedutaan kedua pihak. Dan saya melihat Dubes menjalankan tugasnya dengan baik dan berkontribusi besar ke arah itu.
Semakin dewasa dan mantap, maksud Pak Van Dam persisnya seperti apa?
Kedua negara kini telah memiliki Comprehensive Partnership Agreement/CPA (Perjanjian Kemitraan Menyeluruh, red). Tapi saya ingin mengatakan bahwa perjanjian ini terlalu berlarut-larut ditandatangani. Seharusnya sudah bisa ditandatangani saat saya masih bertugas di Jakarta, antara lain karena ada penundaan kunjungan kenegaraan Presiden.
Setelah periode itu pembicaraan dimulai kembali antara Menlu Wirajuda dan Ben Bot. Begitulah dalam politik, yang memerlukan persetujuan di tingkat tinggi. Ini yang membuat (proses) perjanjian itu begitu lama. Namun dalam praktiknya kedua negara telah memiliki hubungan kerja sama yang sangat baik. Perjanjian ini sebagai payung kerja sama yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Cukup lama telah meninggalkan Jakarta, pernahkah Pak Van Dam merasa rindu atau justru sebaliknya?
Kalau ditanya rindu, tentu saya sangat rindu. Saya sangat menikmati Indonesia, juga Jakarta. Jadi sangat berat bagi saya ketika harus berpisah meninggalkan Indonesia. Kalau soal makanan, di sini di Belanda pun saya juga bisa mendapatkannya, meskipun jika kita memasak nasi goreng di sini rasanya beda dengan di Jakarta.
Saya ingin ke sana tapi bukan untuk konferensi sehari atau apa, tapi berpekan-pekan, sehingga saya betul-betul bisa menikmati dan memupuk kemampuan bahasa. Terutama masyarakatnya, budayanya, suasananya. Itu saya sangat kehilangan.
Tentang Dubes Dr. Nikolaos van Dam
Tempat, Tanggal Lahir:
Amsterdam, 1 April 1945
Pendidikan:
ADVERTISEMENT
Hubungan Internasional dan Sejarah Modern Timur Tengah, merangkap Bahasa Arab dan Islam, FISIP University of Amsterdam, cum laude (1973).
Meraih gelar doktor pada University of Amsterdam setelah mempertahankan tesis The Role of Sectarianism, Regionalism and Tribalism in the Struggle for Political Power in Syria (1977).
Karier:
Dubes aktif terlama (22 tahun) dalam sejarah Belanda, menjadi Dubes pertama di Baghdad (1988-1991) dan pensiun setelah mengakhiri tugas di Indonesia (2005-2010).
Anggota Dewan Penasihat Kemlu Belanda, Komisi Perdamaian dan Keamanan (2011 - kini)
Anggota Dewan Penasihat bidang Pendidikan dan Penelitian The Clingendael Netherlands Institute of International Relations (2011 - kini)
Anggota Dewan Pengawas The Indonesia Netherlands Society (2012 - kini).
Laporan Reporter kumparan di Den Haag: Eddi Santosa
ADVERTISEMENT