Konten dari Pengguna

Ferdy Sambo dan Momentum Pembenahan Institusi Polri

Muhamad Raziv Barokah
Senior Lawyer - Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
2 September 2022 17:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Raziv Barokah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ferdy Sambo bersama Putri Candrawathi saat rekonstruksi pembunuhan Brigadir Yosua di rumah dinasnya, di Jalan Duren Tiga Barat, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ferdy Sambo bersama Putri Candrawathi saat rekonstruksi pembunuhan Brigadir Yosua di rumah dinasnya, di Jalan Duren Tiga Barat, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan.
ADVERTISEMENT
Tragedi yang menimpa Brigadir Josua Hutabarat (Brigadir J) tidak hanya melukai hati keluarga korban semata, melainkan juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia. Setelah berkelumit dengan mengarang cerita tewasnya Brigadir J, akhirnya Ferdy Sambo (FS), sang jenderal bintang dua termuda yang menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri, mengakui bahwa ialah otak dari pembunuhan berencana terhadap anak buahnya tersebut. Peristiwa ini tentu menjadi tamparan yang begitu keras bagi Institusi Polri.
ADVERTISEMENT
Pasca pengakuan, satu per satu 'dosa' FS pun bermunculan di publik, mulai dari dugaan skandal istri simpanan, penemuan uang tunai Rp 900 milyar di rumahnya, hingga menjadi backing bisnis haram judi online yang menghasilkan setoran sebesar Rp 1,3 triliyun per tahun melalui kelompok yang dikenal sebagai Konsorsium 303. Bahkan, Menko Polhukam RI, Mahfud M.D., menyebut kelompok FS seperti sebuah kerajaan dengan pengaruh yang sangat kuat di dalam Institusi Polri.

Runtuhnya Marwah Institusi Polri

Tak dapat dihindari, potongan-potongan fakta yang terungkap disertai beberapa bagian yang masih berusaha ditutupi menyisakan banyak pertanyaan di kepala publik. Jika seorang jenderal bintang dua saja bisa membangun kerajaan oknum sedemikian rupa, bagaimana dengan pihak yang menyandang bintang lebih banyak? Apakah ada kerajaan lain di tubuh Polri selain binaan FS? Apakah Polri sudah dipenuhi oknum? Apakah Polri masih menjadi pelindung, pelayan, dan pengayom rakyat sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022? Atau hanya sekedar pelindung pelaku bisnis gelap demi kepentingan pribadi dan kelompoknya semata?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul bukan tanpa dasar. Mengutip pernyataan Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), meskipun belum terkonfirmasi kebenarannya, namun bagan Konsorsium 303 yang beredar luas di masyarakat sangat mirip dengan bagan-bagan yang dibuat anggota polisi berdasarkan pengalamannya ketika mengadakan gelar perkara bersama kepolisian. Hal ini mengindikasikan, terdapat kelompok lain yang sedang berusaha menjatuhkan kelompok FS. Terlebih, bagan-bagan yang menggambarkan jaringan backing lainnya juga bermunculan dengan model yang hampir sama. Bagan backing judi online versi kedua, bagan backing bisnis narkoba, dan lain-lain. Kuat dugaan sedang terjadi saling-serang antar kelompok dalam Institusi Polri akibat kasus FS.
Kondisi di atas mau tidak mau menggiring memori publik kembali kepada tagar yang pernah beredar luas di media sosial, yakni #NoViralNoJustice. Tagar ini merupakan kritik terhadap Polri di mana laporan tindak pidana harus viral terlebih dahulu agar dapat ditindaklanjuti. Bisa saja pengabaian laporan-laporan masyarakat selama ini diakibatkan karena anggota polisi lebih tunduk pada aturan dan tradisi masing-masing kerajaan oknum daripada patuh terhadap Undang-Undang dan Konstitusi Negara. Sehingga berujung pada tindakan backing mem-backing, setor-menyetor, undertable money, dan lain sebagainya yang mencederai kepastian hukum dan merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT

Whistleblower dan Momentum Pembenahan Polri

Kasus pembunuhan berencana Brigadir J oleh FS memang merupakan pukulan telak bagi marwah Porli, namun dari sudut pandang yang lain, kasus ini dapat menjadi momentum untuk Polri berbenah secara maksimal. Terlebih, pilihan penanganan kasus yang diambil oleh Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sangat berani dan patut diapresiasi. Tentu dirinya sadar pengungkapan kasus FS akan mencoreng institusi yang sedang dipimpinnya. Namun hal itu tetap dilakukan sesuai dengan komitmen perbaikan Polri yang sering ia ungkapkan pada berbagai pidatonya di ruang publik. Alih-alih membuat Polri semakin terpuruk, langkah yang diambil Kapolri justru kembali menumbuhkan kepercayaan publik bahwa instrumen keadilan masih bekerja, meskipun masih terseok-seok.
Kembali ke FS, di tengah berbagai tuduhan yang saat ini muncul di publik atas apa yang telah ia lakukan, FS masih memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dengan menjunjung tinggi Tri Brata, Catur Prasetya, dan sumpah yang ia panjatkan sebelum mengemban jabatan sebagai Kepala Divisi Propam Polri. Sebagaimana selayaknya seorang jenderal bintang dua, seharusnya komitmen untuk berbakti pada nusa dan bangsa serta rakyat Indonesia tidak perlu ditanyakan lagi (salient belief). Bakti tersebut dapat dilakukan dengan jalan bertindak sebagai whistleblower untuk membongkar kebobrokan yang menyergap Institusi Polri selama ini, termasuk membongkar kelompok-kelompok oknum lain yang saat ini menyerangnya.
ADVERTISEMENT
Whistleblower didefinisikan oleh Hoffman dan Robert (2008) sebagai orang yang melakukan pengungkapan atau membocorkan informasi yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan hal lain yang membahayakan kepentingan umum. Selama menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri, tentu FS memegang banyak rahasia yang dapat menjadi kunci untuk melakukan perbaikan besar-besaran dalam Institusi Polri. Memang butuh keberanian dan kepasrahan yang tinggi untuk melakukan hal tersebut di tengah retaliasi yang besar kemungkinan akan terjadi. Namun, itulah yang diharapkan dari seorang Jenderal demi menyelamatkan negara yang sedang diambang hidup-matinya rasa keadilan dan kepastian hukum.
Arnold dan Ponemon (1991) menyebutkan retaliasi adalah sebuah ancaman untuk melakukan pembalasan dengan terhadap seseorang akibat tindakan whistleblowing yang ia lakukan. Guna melewati rintangan ini, FS agaknya perlu belajar dari langkah yang dipilih Komjen Pol (Purn) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri periode 2008-2009. Alih-alih mempertahankan jabatan dan keamanan pribadi, jenderal bintang tiga tersebut memilih untuk mengabdi pada nusa dan bangsa dengan menjadi whistleblower dalam beberapa kasus besar, salah satunya adalah mafia pajak yang melibatkan pegawai pajak dan pejabat internal Polri.
ADVERTISEMENT
Susno Duadji memang tetap menerima retaliasi berupa kriminalisasi atas tindakan whistleblowing yang ia ambil, padahal perlindungan terhadap whistleblower telah diatur dalam berbagai regulasi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, kondisi yang dialami Susno Duadji pada tahun 2013 silam telah jauh berbeda dengan apa yang dialami FS saat ini. Hampir 10 (sepuluh) tahun berlalu, perkembangan sebaran informasi melalui platform digital telah sangat masif. Apalagi, perkara FS mendapatkan atensi publik begitu besar. Dukungan publik bisa memberikan proteksi lebih bagi FS dan keluarga apabila dirinya memilih berkontribusi dalam perbaikan Institusi Polri secara menyeluruh dengan menjadi whistleblower.
ADVERTISEMENT
Meskipun dikriminalisasi, kehilangan jabatan, serta terancam keselamatan pribadi dan keluarganya, Susno Duadji, dalam beberapa wawancara eksklusif diberbagai media, menyatakan tidak menyesal telah menjadi whistleblower. Karena hal yang dia lakukan demi menyelamatkan kepentingan publik yang jauh lebih besar. Tentu sikap tersebutlah yang sangat diharapkan oleh publik dari seorang jenderal. Menjadi whistleblower tentu merupakan jalan penebusan 'dosa' dari apa yang telah FS lakukan terhadap Institusi Polri dan seluruh masyarakat Indonesia. Jika jalan tersebut ditempuh, bukan tidak mungkin, sinisme rakyat terhadap FS berubah menjadi simpati yang akan memperbaiki kehormatan keluarganya.
Jika dahulu publik diramaikan dengan "Nyanyian Susno", kali ini FS memiliki kesempatan untuk mengulang peristiwa serupa dengan dengan kemasan berbeda. Demi Institusi Polri yang lebih baik, 'tarian' Ferdy Sambo pun dinantikan oleh publik. "Bersambalah, Ferdy Sambo!"
ADVERTISEMENT
Muhamad Raziv Barokah – Senior Lawyer Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm