Konten dari Pengguna

Bahaya Greenwashing: Atas Nama Lingkungan, Demi Kepentingan Golongan

Muhamad Riza Nouval Putra
Mahasiswa Ilmu pemerintahan di Universitas Diponegoro. Mengeksplorasi dunia melalui tulisan menjadi hal yang sangat menarik dan penting untuk dikembangkan. Welcome to my Story!
31 Januari 2024 5:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Riza Nouval Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hati - hati disinformasi! Sumber: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Hati - hati disinformasi! Sumber: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Isu lingkungan, salah satu topik yang mengambil perhatian dunia. Meskipun hubungan ekologis manusia dengan alam sudah terjadi sejak lama, tetap masih terdapat beberapa golongan yang belum merasa puas dengan apa yang sudah didapat. Penghijauan dan keberlanjutan menjadi sorotan utama di berbagai lapisan masyarakat, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Beberapa perusahaan, organisasi, bahkan institusi pemerintahan, dengan maksud untuk mendukung citra positif, melakukan praktik apa yang dikenal dengan nama Greenwashing. Greenwashing merupakan upaya manipulatif yang dilakukan oleh suatu entitas untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap lingkungan, padahal sebenarnya tindakan mereka lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi dan pemeliharaan citra. Dalam konteks ini, bahaya greenwashing muncul sebagai permasalahan serius, karena bukan hanya menipu konsumen dan masyarakat umum, tetapi juga mengancam upaya nyata untuk mencapai keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Di balik slogan-slogan dan kampanye pemasaran yang berfokus pada keberlanjutan, seringkali terdapat suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai lingkungan. Bahkan, beberapa perusahaan terkadang menggunakan retorika pro-lingkungan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebijakan dan praktik yang dapat merugikan ekosistem. Fenomena ini menciptakan ketidakpercayaan dan kebingungan pada masyarakat, yang merasa sulit untuk membedakan antara tindakan nyata yang mendukung lingkungan dan upaya sekadar pencitraan semata. Terlebih, tindakan ini tidak terbatas dilakukan oleh beberapa perusahaan tetapi terdapat keterlibatan institusi pemerintah yang juga menggunakan aspek greenwashing sebagai sarana manipulatif dalam perumusan kebijakan yang membawahi kepentingan golongan tertentu. Lantas, bagaimana jenis greenwashing yang dilakukan dan apa yang dapat masyarakat lakukan untuk melawan jenis disinformasi baru yang mengatasnamakan kepentingan lingkungan tersebut? Mari kita gali lebih dalam!
ADVERTISEMENT
Atas Nama Lingkungan?
Sebuah tindakan disinformatif yang dilakukan secara eksplisit akan lebih mudah tidak terdeteksi. Hal tersebut mendasari dari adanya praktik greenwashing di dalam perumusan kebijakan yang turut mendorong suatu kepentingan tertentu. Wongkar dan Apsari (2021) memberikan pemahaman yang jelas terkait greenwashing, mendefinisikannya sebagai tindakan memanipulasi opini publik dengan memanfaatkan citra merek yang bersahabat dengan lingkungan. Mereka menyoroti aspek branding dan tampilan depan suatu produk sebagai bagian dari praktik greenwashing. Namun, bahaya greenwashing tidak hanya terbatas pada ranah perusahaan swasta dan dunia bisnis. Kebijakan pemerintah juga dapat terlibat dalam greenwashing, di mana tindakan ini melibatkan upaya mempercantik pencapaian lingkungan pemerintah untuk kepentingan politik dan menjaga dukungan publik.
Dalam beberapa kasus, pemerintahan mungkin menciptakan kebijakan lingkungan yang terlihat progresif di permukaan, namun pada kenyataannya, implementasinya jauh dari tujuan keberlanjutan. Greenwashing dalam kebijakan pemerintah dapat melibatkan penggunaan retorika yang menonjolkan komitmen terhadap lingkungan tanpa diikuti dengan langkah-langkah konkret atau investasi yang nyata dalam pengembangan energi terbarukan, perlindungan hutan, atau pengendalian emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, walaupun pemerintah menunjukkan sikap yang ramah lingkungan, seringkali esensi dari kebijakan tersebut dapat merugikan lingkungan dan hanya bertujuan untuk mencapai popularitas politik semata. Salah satu bukti kebijakan yang menjadi perdebatan di ranah akademis ialah Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023. Dalam konteksnya, PP ini bertujuan untuk melakukan melestarikan dan merehabilitiasi lingkungan pesisir dengan melakukan pengelolaan sisa sedimen yang berada di sekitar pesisir. Namun, kenyataannya, upaya perencanaan rehabilitasi lingkungan pesisir mengalami berbagai polemik dan perdebatan karena adanya pengambilan pasir laut untuk berbagai tujuan, sebagaimana diuraikan dalam Bab 9 ayat 2, seperti ekspor, reklamasi, serta pembangunan infrastruktur oleh pihak-pihak bisnis. Menariknya, material yang digunakan dalam upaya rehabilitasi pantai justru diperoleh dari lumpur.
Gambar 1: Contoh Bentuk Greenwashing pada PP No.26/2023. Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan (2023)
Dengan demikian, hasil sedimen yang digunakan untuk rehabilitasi bukan berasal dari pasir laut melainkan dari lumpur. Idealnya, berdasarkan penjelasan di atas, pasir laut dan material sedimen lainnya dapat menjadi alat alami. Jika pasir laut diolah secara terus-menerus, maka tidak hanya akan merusak lingkungan pesisir tetapi juga dapat menjangkau hingga ke daratan pemukiman. Hal ini merupakan satu dari segelintir kebijakan yang dapat dibilang bermasalah dan mengandung unsur greenwashing di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tidak hanya mengkritisi greenwashing dalam konteks bisnis, tetapi juga untuk mengawasi dan menilai kebijakan lingkungan pemerintah agar memastikan transparansi dan integritas dalam upaya menuju aspek keberlanjutan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Di antara Visi Hijau dan Lampu Hijau
Saat ini, Indonesia tengah mengalami kontestasi politik yang sudah dimulai sejak akhir tahun 2023 kemarin. Berbagai kampanye dan janji pun kerap ditawarkan dari masing – masing kandidat, baik calon presiden dan wakil presiden ataupun calon legislatif. Tidak hanya disana, masing – masing dari para kandidat mempunyai partai yang membawahi berbagai kepentingan politik maupun bisnisnya. Pembahasan mengenai lingkungan tengah menjadi suatu nilai jual dari setiap kandidat untuk mengambil hati masyarakat. Mulai dari adanya usulan keadilan lingkungan, hilirisasi, hingga digitalisasi sistem. Lantas, apakah janji mereka dapat sejalan dengan visi hijau Indonesia atau bahkan memberi lampu hijau bagi para pemegang kekuasaan untuk dapat leluasa menguasai, tidak hanya pada suatu kebijakan melainkan pola pikir dari masyarakat itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Setiap kandidat memegang visi dan misi dari hasil keresahan. Entah itu divalidasi oleh realita masyarakat atau hanya melanjutkan dosa yang sudah ada. Tetapi yang jelas, setiap kandidat membawa idealisme nya sendiri untuk mencoba melestarikan lingkungan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa meskipun mereka menyalonkan diri secara individu, masih terdapat orang di balik layar yang berkuasa. Dogma mengenai partai politik itu kotor tergantung dari niat dan tujuan setiap partai. Ini mengapa, pentingnya mengetahui latar belakang dan sepak terjang dari suatu partai politik. Terlebih, menurut data dari LIPI (2020), 55 persen anggota legislatif saat ini mempunyai latar belakang pengusaha. Hal ini terlihat dari hasil beberapa kebijakan yang telah dirumuskan dan disahkan. Beberapa diantaranya dianggap kebijakan yang problematik bahkan layak untuk diajukan revisi. Ini mengapa, pentingnya kita agar lebih bijak dalam memilih suatu partai politik maupun pemimpin.
ADVERTISEMENT
Hasil yang ditawarkan pada pemerintahan Jokowi sampai saat ini ternyata membuahkan berbagai permasalahan lingkungan yang tidak ada habisnya. Mulai dari masalah agrarian hingga pengelolaan tambang ilegal yang jelas merugikan masyarakat lokal. Terlebih, praktik greenwashing yang sudah diterapkan dapat juga memungkinkan akan dilanjutkan jika terdapat suatu konflik kepentingan yang terjadi. Penting dari kita agar menyadari dan membandingkan sudah sejauh apa kondisi kerusakan yang dibuat oleh suatu oknum yang melayani kepentingan golongannya.
Awasi dan Kritisi
Indonesia sudah menjadi negara demokrasi selama tahun – tahun. Meskipun belum sematang Amerika Serikat, unsur maupun aspek demokrasi di dalam negara ini harus tetap dijaga. Bukan hanya diimplementasikan pada ajang lima tahun sekali sebagai bentuk formalitas prinsip demokratis ala Sokrates, tetapi juga dapat melangsungkan kehidupan yang dapat berlandaskan asas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Sudah sewajarnya bagi masyarakat untuk dapat mengetahui segala informasi yang dimiliki oleh negara. Berbagai keputusan yang dibuat kerap dilakukan secara tersembunyi dan tidak melibatkan elemen masyarakat. Terlebih, pada isu lingkungan, dimana pemutusan keputusan didasari oleh ego dan kepentingan golongan tanpa melirik dampak yang akan terjadi kemudian. Mengawasi dan mengkritisi sudah dapat menjadi salah satu kebiasaan yang harus kita lakukan. Pemerintah berlaku sebagai tidak hanya sebagai pelayan masyarakat tetapi menjadi penyambung aspirasi masyarakat sudah sepatutnya dapat mendengar lebih dalam teriakan dari akar rumput. Sektor lingkungan menjadi suatu faktor yang krusial dan harus dijaga oleh semua kalangan. Ini mengapa pentingnya kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah untuk dapat senantiasa berkomitmen menjaga lingkungan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi ancaman krisis iklim tentu bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Kesadaran akan lingkungan yang masih minim di masyarakat menjadi suatu tantangan bagi generasi melek iklim untuk menyadari bagi mereka yang belum terbuka terhadap isu lingkungan. Tindakan greenwashing merupakan salah satu bentuk manipulatif informasi yang secara tidak langsung mengancam keberlanjutan kehidupan. Sudah saatnya bagi kita untuk dapat melihat kedepan akan suatu aksi nyata yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah melalui pengawalan kebijakan dan implementasinya yang kerap tidak sejalan. Jika praktik disinformasi dan manipulatif terus dilakukan, maka jangan berharap kita dapat menang melawan ancaman krisis iklim.
Daftar Pustaka
Bowen, F., & Aragon-Correa, J. A. (2014). Greenwashing in corporate environmentalism research and practice: The importance of what we say and do. Organization & Environment, 27(2), 107-112.
ADVERTISEMENT
Delmas MA, Lyon TP and Maxwell JW (2019) Understanding the Role of the Corporation in Sustainability Transitions. Organization & Environment, 32(2): 87–97.
Jenner, E. (2005). Greenwashing: visual communication and political influence in environmental policy. Louisiana State University and Agricultural & Mechanical College.
Kolcava, D. (2023). Greenwashing and public demand for government regulation. Journal of Public Policy, 43(1), 179-198.
Sandha, Oktarika & Puspita Kurniawati, Chandra. (2023). SUSTAINABILITY FRAUD: GREENWASHING. 30-41.