Konten dari Pengguna

Pragmatis atau Populis: Kebijakan Apa yang Dibutuhkan Indonesia di Masa Depan?

Muhamad Riza Nouval Putra
Mahasiswa Ilmu pemerintahan di Universitas Diponegoro. Mengeksplorasi dunia melalui tulisan menjadi hal yang sangat menarik dan penting untuk dikembangkan. Welcome to my Story!
13 Februari 2024 7:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Riza Nouval Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Suatu kebijakan yang dibuat dan disepakati tentu mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Indonesia yang merupakan salah satu penganut sistem demokrasi parlementer mengharuskan suatu keputusan regulasi dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. Dalam sistemnya, Indonesia mengambil cara bikameral atau ‘dua kamar’.
ADVERTISEMENT
Idealnya, perumusan dan pengambilan keputusan menjadi terbagi secara struktural sesuai dengan porsinya masing – masing. Akan tetapi, penerapan sistem tersebut jauh dari kata ideal. Ditemukan banyak ketimpangan yang terjadi meskipun dalam jenis fungsi legislatif yang sama.
Hal Ini dapat secara langsung berdampak pada suatu kebijakan yang dirumuskan. Nyatanya, ide maupun gagasan pragmatis dan populis menjadi salah satu tumpuan akar pemikiran yang terbagi di dalam sistem legislatif dua kamar ini. Ini menjadikan hasil kebijakan cenderung problematik.
Sistem politik yang bermain di dalam parlemen seringkali membawa kepentingan partai politik, yang di mana kita semua ketahui bahwa anggota legislatif juga merupakan salah satu anggota partai politik. Kepentingan politik sering mendasari atas keputusan yang dibuat, yang pada akhirnya membuat suatu kebijakan yang condong pada prinsip pragmatis dan populis. Lantas, seperti apa bentuk kebijakan yang bersifat pragmatis maupun populis? Kebijakan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia pada masa pemerintahan ke depannya? Mari kita gali!
ADVERTISEMENT

Perlukah Pragmatisme?

Pemerintah dalam hal ini mempunyai peran penting dalam menjalankan konstitusi negara maupun melaksanakan struktur pemerintahan yang baik. Jika melihat melalui konsep tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, kita dapat menganalisa urgensi dan tujuan dari suatu kebijakan. Di dalam konsep good governance terdapat beberapa prinsip ideal dalam menjalankan roda pemerintahan.
Beberapa menurut UNDP (1994) adalah prinsip efektivitas dan efisiensi serta transparansi. Dibalik hal tersebut muncul suatu pemikiran yang bersifat pragmatis. Pragmatisme dalam hal ini merupakan suatu keputusan yang berorientasi kepada tujuan atau value yang ingin dicapai.
Menurut buku Dynamic Governance oleh Neo dan Chen (2007), menganalisa bahwa prinsip pragmatisme yang dijalani oleh pemerintahan di Singapura berjalan secara dinamis dan diikuti oleh beberapa pemikiran modern mengenai tata kelola pemerintahan, salah satunya ialah sistem meritokrasi.
ADVERTISEMENT
Neo dan Chen (2007), dalam bukunya juga menjelaskan bahwa untuk menjalankan suatu pemerintahan yang dinamis diperlukan kerangka pikir yang didasari dari suatu budaya maupun kebiasaan dari aktor pemerintahan itu sendiri. Mereka juga menambahkan bahwa, suatu badan pemerintahan yang bergerak secara dinamis harus diikuti oleh integritas dan konsistensi. Dalam hal ini, kunci dari pengendalian konsep pragmatisme berada pada tingkatan kolaboratif antar aktor pemerintahan. Lantas, apakah konsep seperti ini mungkin untuk diterapkan di Indonesia?
Prinsip demokrasi pada hakikatnya menitikberatkan kepada partisipasi antara masyarakat dengan pemerintah. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara tentu menjadi salah satu perhatian dunia yang tidak hanya menjalankan tetapi juga merintis suatu konsep pemerintahan yang baik bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, penyusunan suatu kebijakan di Indonesia masih seringkali ditemukan adanya ketimpangan, baik secara politis maupun sosial. Ini mengapa adaptasi dan implementasi pemikiran yang bersifat pragmatis menjadi penting untuk dapat dipelajari lebih lanjut.
Mengingat posisi Indonesia di antara berbagai negara di rumpun Asia Tenggara menjadi salah satu negara yang menuai perhatian dunia melalui berbagai keterlibatan internasional. Dapat disadari bahwa pemimpin visioner yang berlandaskan pada pemikiran yang logis dan akurat dapat menciptakan birokrasi yang dinamis di Indonesia.

Apa itu Populis?

Pernahkah anda menemukan di mana terdapat satu kelompok pendukung suatu gerakan maupun keputusan yang kemudian diakui oleh berbagai kelompok lain untuk didukung atas perwakilan pendapatnya di lembaga yang lebih tinggi? Contoh peristiwa tersebut merupakan ciri dari bagaimana populisme tumbuh di dalam lingkup akar rumput, yang tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut kerap digunakan sebagai alat politik.
ADVERTISEMENT
Ini mengapa, beberapa ahli berpendapat bahwa populisme dapat menjadi antitesa dari pemahaman demokrasi liberal. Hal ini juga kerap menuai pendapat bahwa populisme menitik beratkan kepada keberpihakan kepada masyarakat dibanding terhadap elit politik.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa misinterpretasi sehingga mengakibatkan rentannya penggunaan populisme sebagai alat politik dalam pemutusan suatu keputusan yang berpihak kepada akar rumput, tetapi realitanya mendukung berbagai kepentingan politik. Konflik kepentingan menjadi suatu hal yang sangat lumrah terjadi, mengingat konsep populisme ini semata hanya sebagai sistem rancangan untuk melakukan berbagai manipulasi publik.
Masyarakat yang juga mempunyai hak untuk berpendapat dan berdialektika bersama pemangku kebijakan seolah-olah dibungkam oleh kebijakan populis yang mengatasnamakan ‘rakyat’. Terlebih, jika populisme merambah di berbagai ideologi, umumnya dapat diasumsikan bahwa kebijakan populis memiliki unsur-unsur yang serupa, yang cenderung fleksibel dan bersifat provisional. Ini berarti bahwa kebijakan populis cenderung dapat beradaptasi dengan beragam situasi dan seringkali tidak bersifat permanen.
Contoh Kebijakan Populis pada Era Jokowi
Kebijakan populis semata dapat menjadi tolak ukur akan keterpihakan suatu pemimpin terhadap kepentingan politik. Berbagai kebijakan populis yang diputuskan pada kabinet Jokowi kerap dipertanyakan. Apakah kebijakan tersebut memang ditujukan untuk menarik simpatisan rakyat semata dengan melakukan manipulasi fakta atau bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menggunakan berbagai cara alternatif.
ADVERTISEMENT
Dapat dilihat dari salah satu contoh di atas bahwa tujuan awal yang mendasari keputusan tersebut dapat berbeda dari implementasi yang terjadi di lapangan. Pemerintahan populis sering kali mengancam demokrasi liberal dengan berbagai cara, seperti merusak prinsip demokrasi dalam penegakan hukum, mengurangi kemandirian lembaga-lembaga pengawasan, serta mengabaikan atau menyingkirkan peran oposisi politik.
Dengan mengurangi independensi dalam penegakan hukum, pemerintahan populis dapat memanipulasi sistem hukum untuk kepentingan politiknya sendiri, sering kali dengan mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan. Netralisasi checks and balances, atau pengendalian yang efektif atas kekuasaan eksekutif oleh lembaga-lembaga pengawasan dan legislatif, juga sering terjadi dalam pemerintahan populis, yang memungkinkan konsolidasi kekuasaan dalam tangan pemimpin atau partai politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, marginalisasi oposisi politik dapat menghilangkan suara-suara yang kritis terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah, yang pada gilirannya mengurangi akuntabilitas dan pluralisme dalam sistem politik. Hal tersebut secara tidak langsung dapat memicu suatu polemik tersendiri di dalam masyarakat.

Menakar Kepentingan Politik

Pemikiran struktural dapat menjadi suatu cerminan ideal terhadap bagaimana kita bersikap terhadap pemerintah. Menyadari bahwa terdapat diskursus kepentingan politik yang bermain mengharuskan kita lebih peduli terhadap apa yang dihasilkan oleh pemerintah. Kepentingan politik sudah jelas bermain di atas kepentingan lain.
Baik dari sisi pragmatisme mapun populisme mendasari berbagai pemikiran yang ‘mewakili’ rakyat di kursi legislatif. Pada nyatanya, tidak semua suara yang terwakili dapat tersalurkan secara setara. Ini mengapa, masyarakat perlu memahami bagaimana pemerintah bekerja selaku pengelola negara.
ADVERTISEMENT
Tingkat demokrasi Indonesia yang kian menurun hari demi hari menjadi suatu kekhawatiran utama bagi para analis kebijakan, termasuk saya sendiri. Penurunan indeks demokrasi yang terjadi di periode pemilu ini seharusnya dapat lebih membuka mata kita akan proyeksi kebijakan Indonesia di masa yang akan datang. Pentingnya mengedukasi diri serta pemahaman akan bagaimana takaran politik yang baik di Indonesia perlu diketahui bagi semua. Ilmu politik dapat dipelajari oleh semua orang dan dimengerti menggunakan pemikiran struktural dan logis.
Ini mengapa, perlunya memahami berbagai latar belakang masalah dan menganalisa suatu kebijakan secara runtut agar terhindar dari berbagai upaya manipulatif. Terlebih di era digitalisasi, yang menuai lebih banyak kontroversi dan disinformasi. Sebagai masyarakat sangat penting bagi kita agar lebih menyadari akan berbagai hal manipulatif yang kerap terjadi di tingkat pemerintah daerah maupun nasional.
ADVERTISEMENT
Indonesia tidak lagi membutuhkan suatu pemimpin yang dapat melanjutkan program atau memberikan perubahan. Indonesia hanya membutuhkan masyarakat yang peka terhadap berbagai permasalahan di negara nya dan cukup peduli untuk turut serta menyuarakan maupun mengkritisi keputusan pemerintah. Sehingga koridor demokrasi Indonesia dapat ditempatkan di dalam posisi yang ideal sebagaimana mestinya.