JK, Kritik Kebijakan, dan Budaya Luhur Kita

Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Mahasiswa Doktoral di Departement STEaPP - UCL. Kader Nahdlatul Ulama - Pengurus PCINU UK
Konten dari Pengguna
25 Juni 2023 6:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jusuf Kalla (Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jusuf Kalla (Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang pemilu 2024, iklim politik di Indonesia tak dipungkiri baru-baru ini terus memanas. Berbagai sosok muncul, didebat, dicaci, maupun dipuji. Salah satunya, Wakil Presiden RI 2005-2009 dan 2014-2019, Jusuf Kalla atau JK. Akhir-akhir ini ia menjadi samsak kritik publik karena beberapa pernyataannya yang dianggap kontroversial.
ADVERTISEMENT
Di antaranya, pria kelahiran 1942 ini disebut terlalu kritis terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pembangunan infrastruktur dan pengelolaan utang. JK dianggap memanas-manasi isu primordialisme dengan mengotak-ngotakkan keragaman etnis di Indonesia. Yang mutakhir, dalam acara Kick Andy Double Check, JK disebut-sebut sebagai provokator di tengah iklim politik yang panas ini.
Kritik kebijakan
Memang, perlu diakui bahwa pedas rasanya mendengar beberapa pernyataan mantan wakil presiden tersebut. Alih-alih mengapresiasi, JK memilih untuk mencari titik-titik lemah kebijakan dari presiden yang ia dampingi di era sebelumnya. Kelemahan-kelemahan itu kemudian dianggap oleh beberapa pihak sebagai bentuk kebencian pada presiden maupun partai penguasa.
Padahal, jika ditilik lebih jernih, kritikan JK adalah pada sisi kebijakan, bukan personal. Terkait infrastruktur, misalnya, ia mengatakan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya memberikan sumbangsih pada rakyat miskin.
ADVERTISEMENT
Bagi JK, pada dasarnya pembangunan infrastruktur yang juga diinisasi ketika JK bersama Jokowi, adalah kebijakan yang sudah tepat. Akan tetapi, pengelolaannya-lah yang kini perlu dielevasi sehingga ia berdampak nyata pada pengentasan kemiskinan.
Misalnya, JK mengingatkan perlunya menemukan formula agar infrastruktur bisa efektif penggunaannya dan memangkas biaya logistik. Harapannya, harga-harga bisa distabilkan. Karenanya, terdapat urgensi atas efektivitas penggunaan dari berbagai fasilitas seperti jalan tol dan bandara yang telah dibangun pemerintah.
Jelas, kritik-kritik ini adalah masukan konstruktif yang perlu disikapi dengan positif oleh pihak-pihak terkait khususnya yang berada di pemerintah.
Mengerti masalah
JK jelas bukan ‘orang baru’ di dunia kebijakan dan pemerintahan di Indonesia. Umumnya, ingatan politik publik terbatas mengenalnya sebagai mantan wakilnya Presiden Jokowi, saja. Padahal, sosok yang kental dengan akses Makassarnya ini beberapa kali menjadi sosok penting di pemerintah khususnya ketika menjabat Menko Kesra di era Presiden Megawati dan Wakil Presiden di era Presiden SBY.
ADVERTISEMENT
Implikasinya, beliau paham betul apa yang ia sampaikan ke publik. Kritiknya pada isu-isu mutakhir adalah wujud bahwa ia mengerti bahwa masalah-masalah ini dapat diselesaikan.
Minimnya representasi rekan-rekan Muslim dan lokal atau pribumi di dunia bisnis, misalnya, memang isu yang selama ini belum dapat terpecahkan secara efektif. Karenanya, memunculkan jiwa kewirausahaan dan penciptaan berbagai dukungan modal yang mencukupi harus diupayakan khususnya bagi yang mau berusaha.
Tentunya, ini bukan berarti bahwa dominasi etnis tertentu di dunia bisnis adalah salah. Bukan demikian. Yang jadi isu adalah rendahnya kemauan rekan-rekan dari etnis-etnis pribumi secara umum untuk berusaha. Karenanya, berbagai elemen perlu bekerjasama untuk memecahkan masalah ini. Sebab, pastinya, semakin banyak pengusaha, semakin baik ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Juru damai
Kemudian, perdebatannya menjalar ke asumsi bahwa JK berupaya memecah belah masyarakat yang kemudian mengarah pada anggapan beliau sebagai provokator. Ini jelas disayangkan, sebab anggapan-anggapan semacam ini bukannya mendinginkan, tapi makin membakar kebencian satu sama lain di iklim politik yang sudah panas ini. Lagipula, asumsi tersebut bertolak belakang dengan berbagai peran JK sebagai juru damai.
Melihat jauh ke belakang di awal era Reformasi, Indonesia dihadapkan dengan berbagai konflik horizontal. Yang memanas waktu itu adalah kerusuhan di Poso dan Ambon yang terjadi sekitar awal 2000-an. JK melihat konflik ini tak berdampak positif pada keberlangsungan bangsa baik dari sisi sosial maupun ekonomi.
Awalnya ia mengedepankan pendekatan lunak. Mengajak para pihak yang berkonflik untuk berdialog. Namun karena proses berjalan alot, JK keluar tangan besinya.
ADVERTISEMENT
Ia memberikan tiga pilihan pada para pihak yang berkonflik: pertama, monggo terus berkonflik, tapi pemerintah akan saling persenjatai masing-masing pihak—silahkan berkonflik sampai hancur; kedua, TNI turun tangan untuk menumpas siapapun yang berkonflik—sebab mengganggu kedamaian negara; ketiga, semua duduk, mau berdialog, dan damai.
Dalam berbagai kesempatan, JK mengungkapkan betapa ia berat hati harus memberikan pilihan-pilihan sulit itu. Namun, demi perdamaian dan keberlangsungan generasi khususnya di area konflik tersebut, ia harus bersikap keras.
Alhasil, para pihak yang berkonflik mau berdamai lewat Perjanjian Malino I dan II, dan perdamaian tersebut berlangsung hingga kini. Tangan dingin JK untuk mendamaikan konflik kemudian dirasakan oleh Aceh. Tentu pendekatanya berbeda sebab akar konfliknya pun berbeda.
Budaya luhur
ADVERTISEMENT
JK adalah salah satu sosok penting dalam atmosfer politik Indonesia sebagaimana tokoh-tokoh senior lain seperti Presiden Megawati dan Presiden SBY. Mereka juga tokoh-tokoh yang punya pengalaman riil terhadap implementasi kebijakan publik di Indonesia.
Meminjam istilah yang umum digunakan warga Nahdlatul Ulama, mereka punya ‘maqam’ yang mulia dengan cakar pengetahuan tentang Indonesia yang menghujam dalam ke akar-akar masalah di republik ini.
Pastilah ada pernyataan-peryataan mereka yang tidak kita sukai. Pedas di telinga. Namun, sebagai orang Indonesia, kita dianugerahi budaya sopan santun yang luhur. Adalah patut bagi kita untuk menghormati senior-senior dan orangtua-orangtua kita. Kurang patut tentunya karena kepentingan-kepentingan politik praktis dan jangka pendek, kita meninggalkan yang luhur tersebut. (*)