Memasyarakatkan Diskursus Kebencanaan di Indonesia

Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Mahasiswa Doktoral di Departement STEaPP - UCL. Kader Nahdlatul Ulama - Pengurus PCINU UK
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2020 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo meninjau tanaman vetiver sebagai upaya mitigasi bencana alam di Indonesia (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo meninjau tanaman vetiver sebagai upaya mitigasi bencana alam di Indonesia (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika bencana dimaknai secara sederhana yakni sesuatu yang mendisrupsi kehidupan dan menimbulkan kerugian, maka Covid-19 adalah bencana. Dunia terdampak betul oleh bencana ini termasuk Indonesia. Berbagai laporan menyebutkan, Indonesia nampak kesulitan menanganinya.
ADVERTISEMENT
Namun, bukankah Indonesia adalah gudang bencana sehingga seharusnya punya kesiapan lebih baik? Uraian atau commentary ini mendiskusikan bagaimana situasi ini perlu dan bisa disikapi dengan bijak.
Dalam ‘Vetiver dan Palaka di Tengah Pandemi’, Egy Massadiah (2020), Staf Khusus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, menjelaskan bahwa alam Indonesia telah sebenarnya lama memiliki penangkal bencana yang alami. Banjir dan longsor, misalnya, sejatinya telah lama punya ‘pemukul baliknya’ yang merupakan dua tanaman lokal yakni vetiver dan palaka.
Banyak informasi dapat ditemukan terkait kedua tumbuhan tersebut. Menanam kedua tumbuhan tersebut jelas punya manfaat mitigatif untuk mengurangi potensi kerugian dari bencana. Kokohnya akar tumbuhan tersebut pada dasarnya menahan perubahan mendadak dalam struktur tanah khsusunya ketika air dalam volume besar datang.
ADVERTISEMENT
Upaya tersebut tentu bukan untuk agar bencana tidak datang, sebab bencana datang itu pasti. Dalam berbagai kesempatan, Doni Monardo menyatakan bahwa Indonesia ini adalah 'supermarket' bencana, khususnya bencana alam. Bancana jelas mendatangkan kerugian, tapi kerugiannya dapat diminimalisasi dengan langkah mitigasi yang tepat.
Dalam sejarah, masih dalam tulisan Egy tersebut, jelas terekam bahwa bencana, alam khususnya, adalah ‘makanan sehari-hari’ masyarakat Indonesia atau Nusantara dalam konteks sebelum merdeka. Indonesia 'akrab' dengan gempa bumi, tsunami, angin topan, tanah longsor dan banjir. Yang paling mutakhir, bencana banjir bandang di berbagai daerah seperti Sukabumi dan Donggala.
Terdapat atmosfer bahwa masyarakat dan pemerintah selalu tidak siap terhadap bencana, sehingga kerugiannya selalu mengkhawatirkan. Bukan hanya kerugian material, namun tak jarang masyarakat harus mengungsi dan yang terburuk adalah jatuhnya korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Diskursus merakyat
Padahal, secara implisit disinggung Egy, menanam tanaman penangkal seperti vetiver dan palaka sangat mungkin dan mudah dilakukan. Sayangnya, kemauan dan ketidaktahuan masyarakat, dan pemerintah, untuk melakukan upaya mitigatif ini masih minim. Implikasinya, mitigasi bencana di Indonesia secara umum belum optimal pelaksanannya.
Banyak riset, padahal, telah menjelaskan potensi-potensi bencana di Indonesia. Akan tetapi, pengetahuan dan informasi dari riset-riset tersebut belum menjadi diskursus yang ‘merakyat’. Artinya, pengetahuan kolektif masyarakat terhadap kebencanaan masih minimal.
Hasilnya, bukan hanya masyarakat, tapi pemerintah juga acuh terhadap risiko bencana dan kerugiannya yang sayangnya seringkali menghantam mereka dari kalangan ekonomi bawah.
Dalam berbagai pemberitaan, BNPB sebenarnya telah berupaya seoptimal mungkin mengampanyekan diskursus kebencanaan ini kepada masyarakat. Di era Doni Monardo, BNPB banyak memunculkan narasi-narasi ringan yang mudah dipahami masyarakat terkait bagaimana mereka tetap waspada terhadap potensi bencana.
ADVERTISEMENT
Misalnya, menanam tanaman vetiver itu mudah, dan bahwa keterlibatan masyarakat menjadi kunci kesuksesan memitigasi dampak bencana.
Namun demikian, memasyarakatkan diskursus kebencanaan tidak bisa ditumpukan pada satu atau dua lembaga saja. Perlu kebijakan dan kerja kolaboratif dari berbagai pihak seperti universitas, kelompok masyarakat sipil dan juga kalangan bisnis.
Universitas terkait perlu bukan hanya terus meningkatkan risetnya terkait kebencanaan, namun juga aktif menerjemahkan dalam bahasa sederhana dan mengomunikasikannya kepada masyarakat sipil dan pemerintah.
Berkomunikasi dengan birokrasi sepertinya sering menjadi momok bagi para akademisi. Akan tetapi dalam konteks kebencanaan ini, BNPB bisa menjadi pintu masuk yang efektif mengingat rekam jejak keterbukaannya selama ini banyak mendapat apresiasi.
Harapannya, riset-riset terkait dapat ‘dimejakan’ di hadapan para pembuat kebijakan, dan menjadi pertimbangan penting dalam pembuatan kebijakan mitigasi dan penanganan bencana di Indonesia ke depanya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kalangan bisnis perlu menyadari bahwa keberlanjutan ekonomi dan di dalamnya bisnis mereka, bergantung pada keberlanjutan lingkungan dan alam. Mereka dapat membantu upaya pemasyarakatan diskursus kebencanaan ini, seperti, lewat dukungan dana riset dan publikasi.
Kuatkan iman, aman, dan imun
Ikhtiar untuk memperkaya dan memasyarakatkan diskursus kebencanaan ini kemudian bermuara pada kemauan dan ketangguhan masyarakat sipil. Tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu aktif terlibat meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan bencana dan langkah-langkah mitigasinya.
Misalnya, perlu dikampanyekan bahwa dengan menjaga lingkungan dan menanam pohon, keimanan seseorang akan makin sempurna.
Di awal uraian ini disinggung terkait pamaknaan Covid-19 sebagai bencana. Selain protokol kesehatan yang aman, ketahanan fisik individu-individu juga menjadi kunci untuk menangani bencana tak terlihat ini. Terlepas dari perdebatan yang ada, kesehatan masyarakat pada akhirnya menjadi benteng utama keberhasilan upaya melawan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Dari pandemi Covid-19 ini, kita belajar bahwa telah lama kita mengesampingkan kesehatan kita. Padahal telah banyak riset menyatakan bahwa menjaga kesehatan itu meningkatkan imun dan jelas tidak pernah ada ruginya.
Terkait kebencanaan, jelas menjaga kesehatan, termasuk kesehatan fisik, emosional dan spiritual, serta ‘kesehatan’ lingkungan, adalah mitigasi terbaik atas dampak buruk dari bencana, baik alam maupun kesehatan.
Akhirnya, iman, aman, dan imun, perlu jadi pritoritas, sebagaimana dikampanyekan BNPB. Pepatahnya, health is wealth, kesehatan adalah kekayaan sejati.
Bencana-bencana kesehatan dan alam lainnya, sayangnya, akan terus berulang. Begitulah siklus alam berjalan. Oleh karenanya, ikhtiar memasyarakatkan diskursus kebencanaan perlu terus digalakkan.
Muhamad Rosyid Jazuli, MPP - Peneliti di Paramadina Public Policy Institute
ADVERTISEMENT