Konten dari Pengguna

Memasyarakatkan Pajak

Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Mahasiswa Doktoral di Departement STEaPP - UCL. Kader Nahdlatul Ulama - Pengurus PCINU UK
16 Agustus 2021 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pajak (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pajak (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Isu perpajakan baru-baru ini membetot perhatian publik Indonesia, khususnya terkait wacana pajak sembako dan pajak pendidikan. Isu ini kemudian berkait kelindan dengan kebutuhan akan perbaikan ekonomi di masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di era demokrasi ini, perhatian dan perdebatan publik terkait pajak tersebut perlu dimaknai sebagai partisipasi aktif masyarakat terhadap proses pembuatan kebijakan, khususnya terkait pajak di Indonesia. Wacana pajak yang ramai ini tak lepas dari pembahasan draf Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang sedang berlangsung di DPR.
RUU tersebut rencananya merekonstruksi berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Pertambahan Nikai (PPN). Juga akan diatur: mekanisme pengampunan pajak (Tax Amnesty), pengurangan pajak badan, kenaikan pajak pribadi berpenghasilan tinggi, dan lain sebagainya.
Karenanya, RUU KUP diharapkan bisa menjadi obat mujarab (panacea) babak belurnya penerimaan negara khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. Sebagai gambaran, akibat pandemi, proyeksi penerimaan pajak terus turun mulai dari sekitar Rp1.900 triliun (2020) menjadi sekitar Rp1.200 (2021). Realisasinya pun kemungkinan besar tak optimal.
ADVERTISEMENT
Di era pandemi ini, peran pajak tentunya semakin krusial. Pembiayaan vaksinasi dan berbagai program pemulihan ekonomi nasional ditopang oleh pajak. Optimalisasi penerimaan pajak pun makin mendesak.
Meski kurang relevan, atau bahkan tak beresonansi dengan substansi RUU tersebut, protes publik terkait pajak boleh jadi merefleksikan diskoneksi persepsi publik terhadap pentingnya pajak bagi negara. Ketidaksinambungan ini terjadi karena berbagai kemungkinan, salah satunya inefektivitas komunikasi kebijakan pajak itu sendiri.
Pemerintah sering mengemukakan, rasio pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah sehingga penerimaan pajak perlu digenjot. Rasio pajak RI memang rendah, sekitar 10 persen. Ini jauh lebih kecil ketimbang rasio pajak berbagai negara maju yang mencapai sekitar 34 persen (OECD, 2020).
Memang betul, tingginya rasio pajak menjadi ciri dari sebagian besar negara maju. Namun jika melihat Singapura—sebagai negara maju, yang berasio pajak sekitar 13 persen selama sepuluh tahun terakhir (OECD, 2019), maka mengomunikasikan target penerimaan pajak lewat rasio pajak bisa jadi kurang tepat.
ADVERTISEMENT
Lagipula, tren rasio pajak RI telah terus menurun, dari sekitar 13 persen (2010) menjadi 10 persen (2019). Target pada 2021 dan 2022 pun diturunkan menjadi sekitar 8 persen. Ini menjadikan narasi optimalisasi penerimaan pajak lewat RUU KUP sulit diterima publik.
Situasi ini pun diperburuk dengan masih rendahnya literasi pajak di masyarakat. Publik pada umumnya belum sepenuhnya memahami peran krusial pajak pada penyelenggaraan negara. Pajak, malah, masih erat diasosiasikan sebagai pungutan (paksa) dari negara kepada rakyatnya. Dampaknya, dalam batas tertentu, wacana pajak malah memperburuk polarisasi di masyarakat.
Patriotisme dan nasionalisme pajak
Persepsi masyarakat sangat menetukan kesuksesan kebijakan pajak (Lavoie, 2011). Terkait hal ini, bagaimana kentang menjadi makanan pokok masyarakat Amerika Serikat (AS) menarik dipelajari. Pada masa Perang Dunia I dan II, AS mengalami krisis roti yang merupakan panganan utama di masa itu. Sebab, produksi roti diutamakan untuk dikirim ke medan perang untuk konsumsi tentara AS (Hester, 2016).
ADVERTISEMENT
Sebagai pangan alternatif, meski produksinya melimpah, kentang awalnya tak diminati publik AS. Kentang dipandang panganan kelas rendah. Masyarakat yang ogah makan kentang pun dikhawatirkan kekurangan gizi. Pemerintah AS kemudian menciptakan dan mengampanyekan narasi bahwa makan kentang itu patriotis, membantu kemenangan prajurit AS di medan perang. Masyarakat pun berhasil diyakinkan, dan alhasil, sejak itu, hingga kini, kentang menjadi pangan utama masyarakat AS.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap kebijakan reformatif bukan tak punya preseden. Reformasi penggunaan kompor minyak tanah, contoh sederhananya. Saat ini sebagian besar sumber energi untuk memasak di level rumah tangga di Indonesia adalah gas LPG. Resistensi di awal perubahan dari minyak tanah ke LPG sangat besar. Dengan narasi sederhana namun konsisten, bahwa LPG itu hemat, upaya pemerintah (dimulai 2004-2005) dalam memasyarakatkan kemudahaan penggunaan LPG, masyarakat berbuah hasil positif.
ADVERTISEMENT
Pengalaman tersebut mengindikasikan bahwa berbagai istilah teknis kebijakan perlu senantiasa dinarasikan secara kontekstual sehingga mudah dipahami publik. Memasyarakatkan pajak dengan strategi dan target yang kontekstual menjadi urgen. Dalam konteks pajak di Indonesia, membayar pajak, misalnya, dapat dikampanyekan sebagai wujud nasionalisme sejati. Atau, bahwa tak sulit menjadi pahlawan atau patriot bangsa, yakni dengan membayar pajak.
Meski demikian, terlepas dari apapun narasi dan kampanye terkait pajak, beberapa tantangan berikut harus diperhatikan. Pertama, di samping rendah literasi pajaknya, publik masih terdampak pandemi sehingga berbagai kampanye terkait pajak berpotensi menuai resepsi negatif. Kedua, berbagai isu korupsi dan inefisiensi birokrasi akan selalu mereduksi kepercayaan publik atas berbagai inovasi atau reformasi kebijakan, termasuk peningkatan penerimaan pajak.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, betapapun pelik tantangannya, optimalisasi pajak tetaplah kebijakan yang harus terus didukung. Diskursus kebijakan pajak perlu senantiasa ‘dimasyarakatkan’ lewat kerjasama dengan berbagai aktor non-pemerintah.
Konsultasi, misalnya, dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat perlu dilakukan sebelum komunikasi dengan masyarakat lebih luas. Pemerintah perlu melibatkan peran aktif pimpinan, misalnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam endeavor kebijakan pajak ini. Para tokoh dari organisasi yang sangat berakar di masyarakat inilah nanti yang akan membantu menerjemahkan kepentingan dan urgensi kebijakan terkait pajak, ke dalam bahasa yang mudah dipahami publik.
Harapannya, literasi publik terhadap urgensi pajak dapat meningkat signifikan. Dengan ini, kebijakan pajak, bukan jadi bahan bakar polarisasi, tapi dipahami sebagai kontribusi masyarakat terhadap kesuksesan dan kemajuan negara. (*)
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Kader Nahdaltul Ulama. Pengurus PCINU-UK