Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyikapi Atrisi Moderasi Beragama
8 Juli 2021 14:18 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:50 WIB
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa kemajuan teknologi memunculkan tantangan serius, yakni masuknya ideologi transnasional radikal berbasis agama ke Indonesia. Laju penyebaran ideologi ekstrim ini bergerak tanpa batas dan menjadi tantangan dalam menyikapi dan menjaga nilai-nilai Pancasila yang menjunjung kebhinekaan.
ADVERTISEMENT
Radikalisme agama ini tentu menjadi isu yang perlu serius diperhatikan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia yang religius. Radikalisme ini bukan hanya menjadi tantangan Pancasila, tapi juga berpotensi besar, jika tidak disikapi dan ditangani, menjangkiti umat Muslim Indonesia yang umumnya moderat.
Proses atrisi paham moderat pun sebenarnya sudah mulai mengemuka. Kita tentu tak lupa beberapa serangan bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia, termasuk yang terakhir di depan gereja Katolik Katedral Makassar, Maret lalu. Kejadian ini tentu menjadi perhatian publik Indonesia yang selama ini sedang berjuang mempertahankan keberagaman, serta toleransi dan moderasi beragama.
Para ahli sebenarnya telah sepakat bahwa Islam di Asia Tenggara (ASEAN) termasuk di Indonesia adalah umumnya Islam moderat, toleran, dan damai. Islam di ASEAN adalah Islam by commerce, not by swords (Lee, 2000), Islam berbasis perdagangan, bukan pedang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, Islam moderat ini sering kita sebut Islam rahmatal lil alamin, rahmat bagi segenap alam. Dalam implementasinya, bagi Muslim di Indonesia, hidup berdampingan dengan umat agama lain adalah hal lumrah. Dalam beberapa kesempatan, umum terdengar umat Islam membantu keamanan pelaksanaan misa Natal dan ikut mendidik anak muda non-Muslim di instansi pendidikannnya. Di sisi lain, umat kristen ada yang membantu pembangunan masjid.
Karenanya, kejadian-kejadian seperti bom bunuh diri berbasis ekstrimisme agama, jelas tak mencerminkan semangat Pancasila dan moderasi yang telah lama menjadi prinsip umat beragama, khususnya Muslim, di Indonesia.
Situasi sulit bagi Muslim moderat
Berbagai ulama, ahli dan kader dari berbagai ormas Islam moderat telah sering menyuarakan seruan anti-paham radikalisme yang mengarah pada aksi ekstrimisme bersampul agama. Lewat berbagai organisasi sayap dan pendidikannya (sekolah dan universitas), mereka membudayakan nilai-nilai Pancasila dan Islam moderat di kalangan Muslim berbagai generasi.
ADVERTISEMENT
Namun, peringatan Presiden Jokowi dan kejadian bom-bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia membuka tabir bahwa telah terdapat proses atrisi, atau erosi perlahan-lahan, terhadap moderasi beragama, khususnya di Indonesia, akibat globalisasi dan kemajuan teknologi. Di dalam negeri, sayangnya, hal ini diperburuk dinamika politik praktis yang terjadi di Indonesia.
Sering menguatnya politik identitas, demi mendapatkan keuntungan politik yang cepat, beberapa pihak memilih mengakomodir suara dari kelompok-kelompok berpaham radikal tersebut. Pada titik tertentu, situasi ini memberi tekanan, baik secara signifkan atau tidak, kepada kelompok Muslim moderat. Sebab, secara politik, kelompok Muslim moderat umumnya memilih bersikap, pertama, netral atau minimal tidak ofensif terhadap pemerintah, atau kedua, dengan jelas mendukung pemerintah.
Sikap politik ini kemudian menjadi ‘samsak’ kritik. Kelompok Muslim moderat dimaki karena pilihan politik mereka. Mereka dianggap Muslim yang haus kekuasaan. Mereka juga sering dicemooh karena intepretasi moderat agama mereka, misalnya dengan memilih untuk menjaga gereja dan tidak mengharamkan ucapan selamat Natal. Argumennya, cemoohan dan cacian ini adalah bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Apapun itu, jelas kerusakan telah terjadi. Sentimen negatif, bukan kritis, terhadap aturan hukum dan pemerintah yang sah menjadi berkembang liar. Kelompok yang menganut paham ekstrimisme seolah mendapat justifikasi terang-terangan mengapa mereka harus melawan pemerintah dan menciptakan instabilitas sosial dan politik di Indonesia, misalnya dengan bom bunuh diri, yang tentunya tak sejalan dengan semangat Pancasila.
Kuatkan kelompok moderat Islam
Adalah menarik melihat kembali pandangan Lee kuan Yew (2012) bahwa yang dapat menyelesaikan masalah radikalisme dan ekstrimisme Islam ini adalah umat Muslim sendiri. Ini dicerminkan oleh kegagalan berbagai pihak yang coba meredam ekstimisme Islam, misalnya lewat operasi militer di Timur Tengah yang nyatanya malah jadi imbroglio atau kekacauan, dan tak tunjukkan tanda-tanda perdamaian dalam waktu dekat. Malah, ide ekstimisme itu semacam tumpah-tumpah ke berbagai negara termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, memberikan dukungan dan pendampingan pada kelompok moderat Islam tak bisa lagi ditunda-tunda. Proses atrisi ideologi yang terjadi makin mengemuka dampak buruknya.
Berbagai kelompok Muslim moderat perlu dikuatkan dan dieratkan hubungannya untuk mengimbangi senyap nan konsistennya aliran ide-ide ekstrimisme ke kawasan ini. Mereka didukung baik dari sisi pengetahuan maupun finansial sehingga muncul insentif dan energi yang kuat untuk menahan makin besarnya arus masuk paham radikal berbasis agama.
Selain itu, kebijakan ini harus dapat menggaungkan ide-ide Pancasila dan Islam moderat lebih keras, termasuk lewat di materi ajar kegiatan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat pada umumnya. Berbagai Kementerian/Lembaga dan TNI- POLRI perlu juga terlibat, bukan hanya Kementerian Agama, untuk aktif mengampanyekan hal serupa di berbagai kegiatannya.
ADVERTISEMENT
Di level regional, perlu diinisiasi kerjasama multilateral di ASEAN. Singapura dan Indonesia, misalnya, bisa memulai dengan membuat semacam dewan Islam damai antar-negara melibatkan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), dan Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah. Kerjasama ini diperlukan dengan tujuan mengimbangi eskalasi dan ekspansi paham radikal dan eksrimisme Islam yang telah lama melewati batas-batas negara dan sampai ke ASEAN.
Kelompok-kelompok Islam moderat perlu didorong dan ditingkatkan, secara pengetauan, ketrampilan, dan finansial, untuk lebih aktif bersuara lantang tentang bagaimana misalnya paham Islam moderat selalu dapat berdampingan dengan semangat Pancasila dan ide-ide keindonesiaan, kemodernan dan kemajuan. Upaya-upaya tersebut harapannya dapat membantu terwujudnya kemajuan dan harmoni di tengah kebhinekaan Indonesia, yang merupakan semangat utama dari Pancasila. (*)
ADVERTISEMENT
Penulis adalah peneliti di Paramadina Public Policy Institute dan mahasiswa doktoral University College London
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Mading.id