Tentang Dinamika Keberagaman, Keberagamaan, dan Demokrasi di Indonesia

Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti di Paramadina Public Policy Institute. Mahasiswa Doktoral di Departement STEaPP - UCL. Kader Nahdlatul Ulama - Pengurus PCINU UK
Konten dari Pengguna
21 Juli 2020 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gelaran budaya Surabaya (Twitter/Humas Pemkot Surabaya)
zoom-in-whitePerbesar
Gelaran budaya Surabaya (Twitter/Humas Pemkot Surabaya)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nusantara Foundation, pimpinan tokoh Muslim Indonesia di Amerika Serikat (AS) Imam Shamsi Ali, baru-baru ini menyelenggarakan diskusi daring bertajuk "Masalah Rasial di Amerika dan Apa yang Bisa Indonesia Pelajari Darinya" (12/7/2020). Bahasan utamanya adalah bahwa meski bukan negara agama, Indonesia yang demokratis selalu memiliki hubungan yang dinamis dengan isu-isu keberagaman (multiculturalism) dan keberagamaan (religiosity).
ADVERTISEMENT
Dua pembicara utamanya, yakni Imam Shamsi Ali sendiri dan ahli keberagamaan di Indonesia dari Boston University AS Profesor Robert Hefner sama-sama melihat bahwa dinamisme tersebut, sayangnya, tak jarang mengerucut pada isu-isu sensitif, seperti rasialisme, radikalisme, dan politik identitas. Hal ini tentunya perlu mendapat atensi serius dari kita bersama.
Isu-isu terkait keberagaman ini sebenarnya bukan unik untuk Indonesia. Secara global, contohnya, dunia baru-baru ini digetarkan oleh gerakan Black Lives Matter (BLM) di AS yang membuka tabir bahwa negara adidaya itu juga punya problem keberagaman yang pelik.
Kesenjangan ekonomi dan sosial antar kelompok sosial yang identik dengan ras (kulit hitam vs putih) menjadi pemicu gerakan tersebut.
Di era digital ini, BLM kemudian bersentuhan dengan permasalahan sosial di luar AS. Di Indonesia, BLM disinggungkan dengan kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi antar daerah dan antar suku, etnis, dan agama, misalnya, dengan munculnya gerakan Papuan Lives Matter.
ADVERTISEMENT
Karakter keberagaman Indonesia
Dalam diskusi tersebut, Profesor Robert Hefner menyampaikan bahwa multikultiralisme di AS dan di Indonesia berbeda konteksnya. Jika di AS isu keberagamannya erat dengan sejarah perbudakan antara kelompok kulit putih dan hitam, di Indonesia tidak demikian. Keberagaman di Indonesia erat kaitannya dengan dinamika hubungan historis antar berbagai suku dan etnis.
Adalah umum, misalnya, di Indonesia bahwa sektor tertentu di dominasi oleh kelompok suku, agama, atau etnis tertentu. Umumnya warga asli lokal atau pribumi, apapun sukunya, mengelola pekerjaan-pekerjaan di pemerintahan dan politik, sebab sejarahnya merekalah para pemilik tanah dan administrator kerajaan.
Sementara sektor bisnis sering dikelola oleh ‘perantau’ (Arab dan Tionghoa misalnya) yang secara historis memang sebagian besar datang ke Nusantara untuk mengadu nasib dengan berdagang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, keberagaman ini menjadi lebih kompleks karena terdapat aspek agama, khususnya Islam, di dalamnya, yang menurut Profesor Hefner, memainkan peran penting dalam sejarah tumbuhnya bangsa Indonesia.
Sebagai contoh, hadirnya sekolah-sekolah Muhammadiyah sejak era kolonial telah konsisten memberikan pendidikan modern bagi generasi muda Muslim di Indonesia. Selain itu, Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari misalnya menjadi tonggak (milestone) penting bergeraknya kalangan Nahdlatul Ulama, termasuk para santri, untuk berjuang memerdekakan Indonesia.
Perumusan Pancasila oleh Bapak Bangsa Sukarno sebagai generasi Muslim cemerlang di zamannya, juga dianggap sebagai sumbangan penting kalangan agama terhadap Indonesia. Di masa awal, sila pertama Pancasila bahkan sempat memuat kata ‘Syariat Islam’ secara eksplisit, yang kemudian diuniversalkan menjadi ketuhanan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diungkapkan Imam Shamsi, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebab universalitas nilai-nilai yang dibawanya berperan penting menjaga keutuhan negara ini.
Indonesia: Antitesis
Hingga saat ini, agama-agama, khususnya Islam terus memainkan peran penting dalam penyelenggaraan negara di Indonesia yang demokratis. Organisasi massa berbasis agama seperti NU dan Muhammadiyah terus aktif menjadi tempat konsultasi dan penyeimbang kebijakan pemerintah.
Islam dan Barat (democracy) pernah dipertentangkan dalam buku The Clash of Civilizations yang ditulis oleh Samuel Huntington (1993). Namun, menurut Profesor Hefner, tesis Huntington menemukan bukti nyata (living proof) antitesisnya di Indonesia.
Hubungan erat antara keberagaman, keberagamaan dan demokrasi di Indonesia juga menunjukkan bahwa demokrasi liberal a la AS bukanlah panacea (tujuan akhir/puncak). Demokrasi itu tidak monolitik. Sebab pada kenyataannya, demokrasi religius di Indonesia pun bisa berkembang.
ADVERTISEMENT
Terkait tidak monolitiknya demokrasi ini juga pernah disinggung oleh Bapak Bangsa Singapura, Lee Kuan Yew (LKY). Dalam sebuah wawancara dengan wartawan kawakan Fareed Zakaria (1994), ia mengatakan bahwa AS tidak perlu memaksakan model demokrasinya kepada negara lain sebab konteks tiap negara berbeda-beda. Baginya, biarlah demokrasi mewujud sesuai konteks lokal.
Di Singapura misalnya, demi menjaga harmoni sosial, jabatan presiden ‘digilir’ untuk dijabat tokoh dari ras tertentu sesuai komposisi rasial di sana (Tionghoa, Melayu, dan India).
Profesor Hefner menyatakan bahwa memaksakan demokrasi liberal malah mempersulit proses demokratisasi di negara-negara yang punya konteks sosial dan keberagaman berbeda-beda. Karena itu, kesuksesan penyelenggaraan negara yang demokratis harus berbasis konteks lokal.
Ketika Bung Karno memformulasikan Pancasila, barangkali itu adalah wujud bahwa beliau sadar kalau bangsa Indonesia memerlukan sebuah ideologi yang demokratis sekaligus menyatukan keberagaman.
ADVERTISEMENT
Dengan keberagamannya, Indonesia tentunya ‘akrab’ dengan konflik karena perbedaan. Namun demikian, menurut Imam Shamsi, meski ada krisis karena isu-isu rasial, radikalisme dan politik identitas, Indonesia diyakini masih akan tetap solid, salah satunya karena memiliki Pancasila.
Menerima keberagaman
Dari beberapa kali momentum peralihan kekuasaan yang penuh konflik (Kemerdekaan – Orde Lama, Orde Lama – Orde Baru, Orde Baru – Reformasi), Indonesia tetap terjaga persatuaanya. Meski berbeda-beda penerjemahannya, Pancasila tetap menjadi bertahan menjadi ideologi negara.
Menurut Imam Shamsi, Pancasila menjadi titik krusial pembeda antara krisis di Indonesia dan di negara lain, misalnya di Timur Tengah. Arab Spring menjadi tonggak keberhasilan proses peralihan kekuasaan di beberapa negara Arabia. Namun pasca-peralihan kekuasaan, situasi sosial dan ekonomi masyarakatnya tak banyak berubah.
ADVERTISEMENT
Meski negara-negara Timur Tengah itu makin demokratis, banyak ahli menyatakan situasi sosial dan ekonomi mereka malah memburuk. Hadirnya demokrasi tidak dibarengi perumusan ideologi pemersatu seperti Pancasila, yang mempersatukan perbedaan kelompok atau suku-suku di sana.
Kembali ke Indonesia, oleh sebab itu, adalah krusial bahwa keberagaman harus diterima menjadi kenyataan dalam bernegara. Berbagai kebijakan dan program pemerintah perlu difokuskan untuk mendewasakan umat beragama dan suku-sukunya demi menciptakan kerukunan antar etnis dan antar agama.
Misalnya, perlu digalakkan berbagai forum dan kegiatan yang dihadiri masyarakat dari latar agama, suku, dan etnis berbeda di berbagai level, dari pusat, provinsi, kota/kabupaten, hingga level RT.
Namun demikian, masalah lain yang juga krusial untuk ditangani adalah kesenjangan ekonomi antar etnis sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Hefner. Berbagai kebijakan ekonomi harus dibuat dan dilaksanakan untuk meningkatkan keseimbangan (bukan kesamaan) peran antar-etnis di bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tentu inisiatif ini akan tidak mudah pelaksanaannya. Selain membutuhkan waktu yang panjang, upaya ini membutuhkan kerja keras para elite pemerintah dan masyarakat untuk mentransformasi kepercayaan tradisional di masyarakat, misalnya bahwa tempat pribumi adalah di pemerintahan dan ‘pendatang’ di bisnis.
Upaya-upaya menaikkan jumlah partisipasi etnis pribumi Muslim dalam sektor ekonomi, misalnya pelatihan bisnis, telah banyak diinisiasi. Hal tersebut tinggal dijaga konsistensinya. Ini tidak berarti bahwa pengusaha pribumi Muslim sukses tidak banyak, hanya perlu ditingkatkan terus jumlahnya.
Akhirnya, perlu disadari bahwa Pancasila adalah keberhasilan Indonesia merumuskan persamaan (common ground – kalimatun sawa) dari dinamika dan divergensi antara demokrasi, keberagamaan dan keberagaman di dalamnya.
Meski demikian, dengan adanya Pancasila, bukan berarti lantas isu-isu karena keberagaman menghilang sendirinya. Berbekal Pancasila dan kerangka peraturan yang ada, pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjaga demokrasi, persatuan, dan menciptakan kesejahterakan masyarakat Indonesia yang beragam. (*)
ADVERTISEMENT
Muhamad Rosyid Jazuli, MPP – Peneliti di Paramadina Public Policy Institute