Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
APDESI Bermanuver: Spontan atau Ditunggangi?
9 April 2022 22:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhamad Syaiful Rifki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
APDESI kini menjadi perbincangan masyarakat luas setelah manuver politiknya. Berapa lama jabatan kepala desa? Atas dasar apa hingga mereka ingin membalas budi kepada Presiden Jokowi?. Dua pertanyaan tersebut mungkin muncul di benak kita setelah APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) menyatakan dukungannya kepada Presiden Jokowi untuk memegang jabatan presiden selama 3 periode. Bagaimana kronologinya, hingga para pemimpin desa ini mendukung sesuatu yang “notabenenya” bertentangan dengan konstitusi?.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, hanya untuk satu kali masa jabatan. Itu artinya, presiden dan wakil presiden hanya boleh memegang kekuasaan selama 10 tahun atau dua periode. Sedangkan jabatan kepala desa, sebagaimana termaktub dalam pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, kepala desa memegang masa jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut – turut maupun tidak berturut – turut. Oleh karena itu, seorang kepala desa apabila terpilih selama 3 kali maka Ia dapat berkuasa selama 18 tahun di desa tersebut. Waktu tersebut diberikan atas pertimbangan untuk memberikan kesempatan terhadap kesinambungan pembangunan desa. Hal tersebut mungkin terjadi apabila kepala desa yang memimpin adalah orang yang berintegritas dan visioner, karena godaan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang digelontorkan oleh pemerintah cukup seksi sehingga sangat menggoda untuk diselewengkan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya adalah, bolehkah kepala desa terlibat di dalam politik praktis?. Pertanyaan tersebut tentu muncul dalam benak kita setelah melihat pernyataan sikap yang dinyatakan oleh APDESI beberapa waktu lalu. Jika ditelisik, di dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a UU Nomor 6 Tahun 2014, kewajiban kepala desa adalah memegang teguh dan melaksanakan UUD 1945, memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian di pasal 28 disebutkan bahwa terdapat hukuman yang diberikan terhadap kepala desa apabila tidak menjalankan kewajiban seperti dimaksud pada Pasal 26.
Hukumannya berbentuk teguran lisan atau tertulis, sampai pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap. Kepala desa juga dilarang merugikan kepentingan umum, menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya, dan melanggar sumpah/janji jabatan. Larangan itu tercantum dalam Pasal 29 huruf a, c, dan k UU Desa. Lalu apakah pernyataan APDESI tersebut melanggar pasal 28?. Di pasal 26 disebutkan bahwa kewajiban kepala desa adalah untuk melaksanakan UUD 1945, maka ketika mereka mendukung Presiden Jokowi untuk menjabat selama 3 periode yang notabenenya bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa para kepala desaa itu telah terindikasi melanggar kewajibannya yang tertuang di dalam psal 26.
ADVERTISEMENT
Tentu bukan rahasia lagi bahwa di dalam perpolitikan Indonesia sering dilakukan “balas jasa” dan “balas dendam”. Balas jasa dilakukan kepada mereka yang telah memberikan dukungan baik tenaga maupun pikirannya dalam memenangkan salah satu calon. Kalau di perpolitikan nasional, orang – orang tersebut sering diberi jabatan sebagai komisaris atau direktur BUMN bahkan diberikan posisi di dalam lembaga – lembaga baik kementerian maupun non kementerian. “Balas dendam” dilakukan kepada mereka yang secara terang – terangan maupun diam – diam menolak untuk mendukung calon. Dalam perpolitikan skala provinsi dan kabupaten atau kota biasanya ASN yang tidak mendukung petahana akan dimutasi ke daerah – daerah terpencil untuk memberikan efek jera agar pada pemilu maupun pilkada selanjutnya mereka memberikan dukungan.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi memiliki privilege lebih karena di masa pemerintahannya terdapat sebuah inisiasi untuk memberikan dana kepada desa, meskipun undang – undangnya sendiri disahkan pada masa pemerintahan SBY. Di kemudian hari bantuan dana tersebut diberi nama Alokasi Dana Desa (ADD) yang mulai dikucurkan sejak tahun 2015. Selain itu, di masa pemerintahannya juga dibentuk sebuah kementerian khusus yang menangani desa di mana dalam masa pemerintahan presiden sebelumnya lembaga yang mengurusi desa hanyalah dalam tingkat direktorat jenderal di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian yang mengurusi desa tersebut bernama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Hal tersebut secara tidak sengaja memberi kedudukan yang kuat kepada desa sebagai prioritas pembangunan nasional di mana desa ditempatkan sebagai fokus utama dengan slogan yang dikampanyekan oleh Presiden Jokowi yaitu “Membangun Indonesia dari desa”. Dua tahun setelah kucuran dana tersebut, tepatnya pada tahun 2017 Kementerian Desa dan PDTT mengeklaim bahwa berhasil terbangun sebanyak 66.884 km jalan desa, 511,9 km jembatan, 1.819 unit pasar desa, 14.034 unit sumur, 686 unit embung, 65.998 drainase, 12.596 unit irigasi, 11.296 unit PAUD, 3.133 unit Polindes, 7.524 Posyandu, 38.184 unit penahan tanah, 1.373 unit tambatan perahu, 16.295 unit air bersih, dan 37.368 unit MCK.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa alasan di atas, maka menurut saya wajar dika APDESI kemudian menyatakan akan memberikan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk menjabat selama tiga periode karena pada dasarnya Presiden Jokowi telah memberikan banyak keuntungan kepada desa. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diingat oleh APDESI ketika akan bermanuver. Apabila dana desa yang menjadi kekhawatiran bila tidak dicairkan ketika tidak mendukung Presiden Jokowi, maka kekhawatiran tersebut sepenuhnya salah, karena pencairan dana desa merupakan perintah undang – undang desa yang regulasinya sudah cukup jelas sebagai bagian dari amanah undang - undang untuk keberlanjutan pembangunen desa. Selain itu, dengan deklarasi tersebut maka sebenarnya APDESI mendukung sebuah hal yang sama sekali tidak konstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Kita ketahui bersama bahwa apabila Presiden Jokowi ingin menjabat selama tiga periode maka pihak – pihak yang mendukungnya harus mengajukan amandemen UUD 1945 di MPR. Proses amandemen juga bukan proses yang mudah. Amandemen harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 37 UUD 1945, di antaranya adalah diagendakan dalam sidang MPR yang diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Pasal yang sama mengatur, untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Terlepas dari adanya mekanisme tersebut, lahirnya UU Desa yang menurut saya merupakan produk hukum yang monumental di era reformasi, sejatinya memberikan keuntungan dengan menempatkan desa sebagai subjek dan objek utama dalam pembangunan. Pembangunan desa merupakan titik yang mempunyai peran vital di dalam pembangunan nasional. Desa merupakan titik terdepan yang seharusnya ditempatkan sebagai ibu kandung pembangunan. Saya sepenuhnya setuju dengan tagline dan komitmen dari pemerintahan Presiden Jokowi yang ingin membangun Indonesia dari desa. Kucuran dana desa perlu ditingkatkan dengan diiringi pengawasan secara berkelanjutan agar penggunaannya dipertanggungjawabkan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Desa dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota membuat sebuah koridor agar pembangunan di desa dapat terencana sesuai dengan kearifan dan keadaan di daerah masing – masing sehingga pembangunan di desa dapat bermanfaat bagi masyarakat. Kepala desa juga diharapkan tidak melupakan kewajibannya yang tertera di dalam undang-undang. Kepentingan rakyat merupakan segalanya karena jabatan kepala desa adalah sebuah amanah. Inovasi juga harus selalu dikembangkan agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Misalnya dengan membuat desa agar terdigitalisasi supaya seluk beluk dan potensi desa terintegrasi dengan media sosial, sehingga dapat meningkatkan pamor desa.
ADVERTISEMENT