Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Prank Sembako Sampah Ibarat Banalitas Kejahatan Eichmann Nazi
10 Mei 2020 8:44 WIB
Tulisan dari Muhamad Tris Hadi Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah video beredar di jagat media sosial, menampilkan dua orang transpuan yang sedang menjelaskan kesedihannya menjadi sasaran aksi prank sembako sampah. “Sakit hati banget, diprank sampah gitu, tadinya mah berharap, dikasih mie apa, eh taunya, sakitnya sekarang rasanya, padahal saya mah cuma pengen buat besok makan, saya juga sadar bahwa pemerintah ga ini, apa, dalam rangka ini (melarang karena Ramadhan), tapi kalo saya ga cari makan, dari siapa gitu, berharap banget, eh ternyata malah ngejek kayak menghina”, tutur korban sambil menahan isak tangis.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Ramadhan bagi masyarakat Indonesia umumnya selalu disambut dengan saling menyebarkan energi positif, namun tidak bagi Youtuber asal Bandung Ferdian Paleka dan kedua temannya. Unggahan video prank mereka membagikan sembako berisi batu bata dan sampah yang menarget transpuan, sontak mengusik ketenangan khalayak menikmati Ramadhan, lantaran dinilai telah merendahkan harkat martabat manusia. Apalagi, pada prakteknya sempat menyasar segerombolan anak kecil.
Dalam video itu, Ferdian Paleka berdalih perbuatannya didorong niat untuk membantu pemerintah memberantas transpuan yang dianggapnya sebagai sampah masyarakat. Bahkan, mereka sempat menyatakan kaum transpuan berhak dibinasakan dengan alasan dilarang oleh agama. Dasar pemikiran yang telah mewajarkan kejahatan dengan mengenyampingkan sisi kemanusiaan itu, mengingatkan kita terhadap konsep banalitas kejahatan (The Banality of Evil) yang dikemukakan Hannah Arendt untuk menggambarkan kejahatan perang Nazi Jerman, yaitu holocaust dari seorang Obersturmbannführer (pangkat setara letnak kolonel) Schutzstaffel (satuan pengawal pribadi Adolf Hitler) Otto Adolf Eichmann selama periode Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Banalitas Kejahatan
Hannah Arendt adalah seorang filsuf politik berkebangsaan Jerman yang menjadi korban fasisme rezim otoritarian Adolf Hitler. Pada tahun 1961, Hannah Arendt meliput sidang pengadilan Adolf Eichmann di Jerusalem yang didakwa sebagai pelaku kejahatan perang dan kemanusiaan, atas tindakannya selama Perang Dunia II, menjadi aktor intelektual holocaust yang mengatur pendeportasian ratusan ribu orang Yahudi dari berbagai wilayah di Eropa ke pusat-pusat pembantaian. Hasil liputan tersebut dijadikan sebuah buku berjudul Eichman in Jerusalem yang terbit pertama kali pada Mei 1963.
Melalui buku itu, Hannah Arendt menyampaikan bahwa Adolf Eichman tidak merasa bersalah atas semua dakwaan. Adolf Eichmann beralasan, apa yang dilakukannya adalah bentuk kepatuhan sebagai abdi negara yang baik dan layak diberikan penghargaan. Malahan, Adolf Eichmann merasa senang hati dan bergairah melakukan tindakannya, tanpa menyadari konsekuensi dari kepatuhannya tersebut yang telah menghantarkan orang-orang Yahudi menuju kematian.
ADVERTISEMENT
Dari segi psikologis, enam psikiater memastikan kondisi Adolf Eichmann divonis normal. Mereka juga menyatakan bahwa Adolf Eichmann adalah figur yang baik dan sangat diinginkan, berdasarkan hubungannya di dalam keluarga. Sangat berbeda dengan dugaan sebelumnya yang menyangka Adolf Eichmann sebagai sosok yang kejam dan biadab, dengan pemikiran yang dipenuhi fanatisme terhadap Nazi dan kebencian terhadap kaum Yahudi.
Kondisi yang dialami oleh Adolf Eichmann tersebut, digambarkan oleh Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan, yaitu situasi dimana kejahatan tidak dianggap sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa dan wajar.
Saling Tidak Menyadari
Hannah Arendt menjelaskan banalitas kejahatan yang terjadi pada Adolf Eichmann disebabkan oleh faktor personal, yakni kurangnya imajinasi untuk berpikir ke luar batas narasi sistemik antisemitisme Nazi Jerman. Kondisi sistemik tersebut, membuat Adolf Eichmann tidak menyadari bahwa tindakannya adalah sebuah kejahatan yang telah mengenyampingkan sisi kemanusiaan dan bahkan menganggapnya biasa saja. Adolf Eichmann hanya berpikir bagaiman caranya melaksanakan tugas dengan baik agar mendapatkan kenaikan pangkat.
ADVERTISEMENT
Begitu pula pada kasus Ferdian Paleka, diskriminasi sistemik terhadap kaum LGBT (lesbian, bisexual, gay dan transsexual) yang berdampak terhadap keberadaan transpuan dan kurangnya imajinasi Ferdian Paleka, mendorong terjadinya kondisi yang banal. Ferdian Paleka beserta kedua temannya hanya berpikir ingin membuat konten video yang membantu pemerintah demi meningkatkan jumlah subscriber dan menganggap LGBT sebagai kaum hina yang dilarang agama, sehingga layak diprank sembako sampah, tanpa menyadari akan merendahkan harkat martabat seorang manusia.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam seri monitor dan dokumentasi 2018 berjudul Bahaya Akut Presekusi LGBT, menyatakan diskriminasi secara sistemik terhadap LGBT meningkat pada akhir 2017 pasca Mahkamah Kontitusi menolak pengujian undang-undang hukum pidana yang dilakukan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk memberantas LGBT. Peningkatan terjadi karena manuver partai politik yang memanfaatkan isu LGBT sebagai bahan bakar politik populisme untuk meraup suara, seperti yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dengan menuduh lima partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pendukung LGBT. Kemudian diikuti dengan munculnya aksi dan gerakan menolak LGBT di berbagai daerah, hingga presekusi seperti razia LGBT yang dilakukan Pemerintah Kota Depok di awal tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Tetap Manusia
Terlepas dari sudut pandang agama terkait LGBT, mereka tetaplah manusia yang memiliki harkat dan martabat. Diskriminasi terhadap LGBT dengan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, tidak dapat dianggap wajar dan biasa saja, termasuk juga tindakan prank sembako sampah. Oleh karena itu, untuk menghilangkan dikriminasi terhadap LGBT, sangat memerlukan usaha untuk merangkul mereka, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa rohaniawan.
Misalnya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus dan Kiai Muadz Thohir yang dengan terbuka menerima kunjungan rombongan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, 20 Desember 2019. Majalah Tempo melansir alasan Gus Mus dan Kiai Muadz menerima waria karena sebagai sesama makhluk Allah dan berpandangan bahwa waria mendapat pengakuan dalam Islam. Irama serupa juga diperlihatkan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama (badan otonom perempuan muda NU) Yoyakarta. IDN Times melewarkan kerja sama pengadaan ustadzah antara Fatayat Nahdlatul Ulama dengan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dengan alasan sesama makhluk Allah.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Gereja Komunitas Anugerah (GKA) di bilangan Jakarta Pusat. Sejuk mewartakan GKA menerima LGBT dengan alasan melindungi hak sipil. Kemudian, Pendeta Suarbudaya Rahadian mewakili GKA menegaskan, bahwa tidak ada satu ayat pun di Alkitab yang mengatakan kalau sodom dan gomora dihukum Tuhan karena homoseksualitas.
Serangkaian usaha perangkulan LGBT yang dilakukan oleh rohaniawan ini, seharusnya menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua agar meningkatkan imajinasi untuk berpikir ke luar batas narasi sistemik yang membanalkan kejahatan, supaya tidak seperti Ferdian Paleka dan Adolf Eichmann. Terlebih lagi saat ini kita telah dilanda Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19), menuntut adanya sikap saling simpati, bukan saling menghakimi. (Muhamad Tris Hadi Pratama, Analis Kearsipan ANRI dan Penikmat Sejarah)
ADVERTISEMENT
Referensi
Arendt, Hannah. 2012. Eichman in Jerusalem: Reportase tentang Banalitas Kejahatan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Audy dan Putra, Prima Okta. (16 Juli 2019). 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini. Sejuk diakses melalui http://sejuk.org/2019/07/16/7-alasan-mengapa-lgbt-diterima-gereja/.
Lemabaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2018). Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Bahaya Akut Presekusi LGBT, diakses dari https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2018/05/Seri-Monitor-dan-Dokumentasi-Bahaya-Akut-Persekusi-LGBT.pdf.
Maharani, Shinta. (4 Januari 2020). Tafsir Waria Dalam Islam. Majalah Tempo diakses melalui https://majalah.tempo.co/read/agama/159349/islam-mengakui-keberadaan-waria?hidden=login.
Rudiana, Pito Agustin. (23 Januari 2020). Ponpes Waria dan Fatayat NU Teken Kerja Sama Pengadaan Ustazah. IDN Times diakses melalui https://jogja.idntimes.com/news/jogja/pito-agustin-rudiana/ponpes-waria-dan-fatayat-nu-teken-kerja-sama-pengadaan-ustazah/3.