Konten dari Pengguna

Bukannya Pendidikan Tak Kenal Status Ekonomi?

Muhamad Yoga Prastyo
Lulusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Bekerja sebagai Content Writer
2 Agustus 2023 6:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Yoga Prastyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Pexels/Katerina Holmes
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Pexels/Katerina Holmes
ADVERTISEMENT
Dari ratusan juta orang dengan KTP Indonesia, bisa jadi saya adalah salah satu yang beruntung bisa mengakses pendidikan hingga jenjang sarjana. Kemewahan orang tua dengan kemampuan finansialnya turut membawa saya menapaki posisi sekarang ini
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kemewahan ini tidak dimiliki oleh semua masyarakat Indonesia. Kemiskinan, atau ‘ketidakmampuan finansial’ dalam bahasa halusnya, membuat pelajar lain – yang mereka sebut sebagai generasi penerus bangsa – belum bisa mendapatkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Padahal, bisa jadi, mereka yang memiliki keterbatasan finansial mempunyai mimpi dan potensi besar untuk menjadi ilmuwan termasyhur, politisi andal, atau hakim berintegritas selanjutnya. Namun, apakah mereka punya kesempatan yang sama? Sayangnya, potensi saja tidak cukup untuk menggeser uang dari kekuasaannya.

Tak Ada Kesempatan, Tersandung Kemiskinan

Sumber gambar: Pexels/Julia Khalimova
Narasi tentang kemiskinan dan pendidikan tentu sudah menjadi wacana usang nan kolot. Namun begitu, bukan berarti hal ini tidak lagi menjadi relevan dengan kondisi aktual saat ini.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, saya menyaksikan keriuhan di Twitter mengenai adik-adik SMA yang sedang mengadu nasib terkait masa depannya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Tidak masuk kuota SNMPTN, tidak lolos tes SBMPTN, juga tidak punya uang untuk daftar ujian mandiri. Sebagian lainnya bahkan menutup diri untuk tidak melihat capaian yang berhasil dilakukan teman seperjuangannya.
Baik, katakanlah mereka tidak sesuai standar untuk fit in dengan sistem yang sekarang. Namun, bagaimana jika sistem yang berlaku saat ini lah yang justru membuat mereka tidak fit in dan layak untuk menyandang status sebagai mahasiswa PTN?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada perguruan tinggi swasta (PTS), namun keberadaan PTN justru harusnya menjadi simbol kehadiran negara dalam menjamin pendidikan masyarakatnya. Idealnya, keran pelajar untuk mendaftarkan diri dengan cara yang mudah dan biaya murah pun terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun lalu, dengan kapasitas otak yang standar, untuk bisa masuk PTN favorit, saya harus mengikuti bimbingan belajar selama satu tahun penuh. Gagal di SNMPTN, saya harus menempuh jalur ujian tulis tanpa ada pendampingan lebih lanjut dari pihak sekolah. FYI, sekolah hanya memfasilitasi sampai pendaftaran SNMPTN saja.
Soal biaya, tentunya tidak murah. Saya pun tidak akan bisa ikut program bimbingan belajar jika tanpa privileged finansial keluarga yang harus mengeluarkan kocek setara gaji saya dua bulan penuh saat ini. Walaupun mahal, beruntung hasilnya sesuai harapan.
Kemudian bertahun setelahnya, kenyataan di lapangan pun tak jauh beda. Sekolah belum cukup mampu untuk menghadirkan pembelajaran berkualitas sehingga sebagian lainnya mengeluarkan biaya ekstra untuk mendapatkan pembelajaran terbaik. Tentu, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berduit.
ADVERTISEMENT
Sementara bagi si miskin, tidak ada jalan lain selain memaksimalkan pembelajaran di sekolah. Kemungkinan gagal si miskin tentu menjadi lebih besar karena tidak ada back up plan yang mencukupi. Gagal di SNMPTN dan SBMPTN, belum tentu ada jaminan mereka mempunyai dana lebih untuk daftar di ujian mandiri.
Saya pun tidak bisa menampik adanya asumsi yang muncul bahwa “bisa jadi si dia itu memang bodoh” atau “lho, makanya harus belajar lebih keras”. Lantas, apa iya, mereka yang punya semangat tinggi dan mimpi besar itu harus ditinggakan begitu saja?
Sementara itu, kita mempunyai anggaran pendidikan yang cukup besar tiap tahunnya, yaitu 20% dari total APBN. Jika bicara soal kekuatan finansial, di atas kertas, harusnya ini bukan masalah.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, alokasi anggaran ini tidak cukup untuk me-cover kebutuhan di fase registrasi calon mahasiswa. Program beasiswa dan subsidi UKT silang itu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sudah terdaftar menjadi mahasiswa, bukan mereka yang baru ingin menjadi mahasiswa.
Akibatnya, sebagaimana yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya, banyak yang mimpinya terkubur begitu saja. Kekuatan finansial yang minim dan tidak dimiliki banyak orang membuat pintu kesempatan untuk mendapatkan pendidikan terbaik jadi sulit terbuka.

Harapan dan Keterbatasan

Sumber gambar: Pexels/Pew Nguyen
Menjadi pelik jika pada akhirnya pendidikan menjadi barang dagangan. Semakin tinggi biayanya, semakin bagus pula kualitas yang didapatkannya. Sementara itu, sekolah subsidi, dengan biaya ala kadarnya, tidak pernah bisa disandingkan dengan sekolah elit.
“Tapi, kan, pendidikan itu bisa didapat di mana saja?”
ADVERTISEMENT
Ya, betul. Sayangnya, orang yang berbicara demikian adalah orang yang sama yang pernah mendapatkan pendidikan di sekolah formal. Dengan fasilitas kelas wahid, dengan pengajar lulusan universitas terkemuka dan pengalaman bertahun-tahun di ranah akademik. Bagaimana pun, lingkungan yang mengedepankan proses berpikir mendorong lahirnya kesadaran ini.
Sedangkan bagi mereka yang kesehariannya sibuk mencari uang, bentuk kesadaran seperti ini bisa jadi tak pernah terpikirkan. Baginya, hidup adalah tentang bertahan pada saat ini, bukan masa depan yang masih di angan-angan.
Toh, semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk mencari uang, pada akhirnya semakin sedikit pula waktu untuk memikirkan rumus phytagoras, teori invisible hand Adam Smith, atau teori njelimet lainnya.
Sebagian dari kamu, pembaca tulisan ini, bisa jadi mempunyai orang tua, kerabat, tetangga, atau kenalan yang dengan pendapatan seadanya, mereka punya tekad kuat untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik.
ADVERTISEMENT
Dalam tiap keringat yang menetes, ada harapan besar untuk menjadikan anaknya mendapatkan hidup layak di kemudian hari. Bayangan tentang anak yang mengenakan kemeja berkerah dengan koper di tangannya, menaikkan status ekonomi keluarga, terpancar dari tatapan penuh haru para orang tua yang banting tulang di siang bolong.
Atau bahkan, kamu sendiri, yang mempunyai cita-cita besar untuk memaksimalkan energi nuklir guna kebutuhan masyarakat banyak, menjadi dosen dengan segudang publikasi ilmiah, atau teknokrat yang turut berkontribusi dalam kemajuan bangsa.
Mereka, kamu, dan saya, pun percaya satu-satunya sarana untuk menaikkan status sosial yaitu melalui pendidikan. Dengan mendapatkan pendidikan yang ideal, yang bukan hanya sekadar ijazah, kita mempunyai amunisi yang cukup untuk memenangkan pertempuran melawan nasib.
ADVERTISEMENT
Sekalipun sudah banyak kajian mengenai pendidikan inklusif, pendidikan yang terbuka untuk semua kalangan terlepas dari kelas sosialnya, proses menuju ke sana agaknya masih sulit tercapai di negara ini.
Mungkin bukan sekarang atau tahun depan, mungkin juga belasan atau puluhan tahun nanti kita baru bisa melihat keriuhan para murid SMA saat ini berubah menjadi nuansa suka cita dari mereka yang berhasil lolos dan menjadi mahasiswa baru di universitas pilihannya.