Konten dari Pengguna

Menelusuri Paket Lengkap Wisata Budaya dan Sejarah di Pecinan Glodok

Muhamad Yoga Prastyo
Lulusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Bekerja sebagai Content Writer
21 Januari 2023 17:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Yoga Prastyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gapura Pecinan Glodok. (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Gapura Pecinan Glodok. (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Jalan kaki menelusuri kota belakangan menjadi alternatif jalan-jalan yang menyenangkan buat saya. Tak hanya dimanjakan secara visual oleh bangunan yang berdiri gagah, sensasi lelah dan terbakar panas matahari juga menjadi kepuasan tersendiri yang sulit dipahami sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Dari sekian jejak langkah yang saya tinggalkan, ada satu tempat yang selalu menarik perhatian. Suasana yang khas, kuliner unik, serta budayanya yang kental memanggil saya untuk kembali datang pada kesempatan yang berbeda. Ya, tempat sejuta cerita itu adalah kawasan pecinan Glodok.

Berkenalan dengan Kawasan Pecinan Glodok

Jalanan menuju Glodok (Dok. Pribadi)
Lokasi kawasan ini berada sekitar satu kilometer ke arah selatan dari Stasiun Jakarta Kota. Untuk sampai ke sana, kamu perlu menyusuri trotoar jalan dengan bangunan tua tak terurus di sebelah kirinya. Jalan satu arah itu juga cukup besar sehingga memungkinkan kendaraan seperti TransJakarta untuk melintas dengan leluasa.
Setelah beberapa menit, langkah kaki saya berhenti sesampainya di depan sebuah bangunan ikonik yang menjadi landmark kawasan Glodok. Bangunan tinggi yang kental dengan aksen Tionghoa ini dikenal dengan nama Pantjoran Tea House.
ADVERTISEMENT
Ketika sampai di tempat ini, kamu akan menemukan meja panjang dengan delapan buah teko yang berisi teh di dalamnya. Teh itu juga bisa diminum secara gratis oleh siapa pun yang membutuhkannya. Tradisi yang dimulai sejak tahun 1920an itu pun dikenal dengan nama “Patekoan”.
Dalam bahasa Tiongkok, “Pat” berarti delapan, dan “Teko-an” berarti teko teh. Dulunya, tradisi membagikan teh secara gratis ini dimaksudkan untuk menjamu para pedagang di kawasan Glodok yang kelelahan dan membutuhkan tempat singgah untuk berteduh.
Ilustrasi teh hijau. Foto: Shutterstock
Selain pedagang, Patekoan kini bisa dinikmati oleh siapa pun yang datang. Termasuk di antaranya wisatawan yang datang ke Glodok. Biasanya, teh yang disajikan adalah jenis teh hijau.
Masuk ke dalam kawasan, kamu juga akan menemukan berbagai macam toko yang berjejer rapi di sepanjang kiri dan kanan jalan. Mulai dari toko kue dan mainan hingga obat-obatan tradisional. Salah satunya adalah toko obat tradisional Tay Seng Ho yang terkenal.
ADVERTISEMENT
Tay Seng Ho merupakan salah satu toko obat di Jakarta yang masih mempertahankan cara pengobatan tradisional Tionghoa. Praktik pengobatannya dilakukan oleh seorang Shinse-seseorang yang dipercaya memiliki keahlian dalam hal medis-atau dikenal juga dengan istilah tabib. Obat-obatan yang digunakan pun menggunakan bahan herbal yang ditumbuk sendiri.
Beranjak dari sana, saya lantas mengarah kepada salah satu tempat terkenal lainnya yang ada di Glodok, yakni Petak Sembilan. Jika dilihat sekilas, Petak Sembilan tidak jauh berbeda dengan pasar pada umumnya.
Petak Sembilan (Dok. Pribadi)
Saya pun berkesempatan menyusuri gang kecil itu. Sepanjang jalan, kamu akan menemukan berbagai macam kebutuhan pokok mulai dari sayur dan bahan-bahan lainnya. Lagi-lagi, tidak ada yang berbeda dari suasana pasar pada umumnya.
Hanya saja setelah beberapa meter melangkah, mata saya tertuju pada sebuah lapak kayu dengan baskom di atasnya. Penjual itu menjajakan dagangannya yang menurut saya tidak umum. Teripang, katak, dan bulus itu ternyata biasa diolah sebagian orang untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh melangkah, saya mulai merasakan keunikan lainnya dari Petak Sembilan. Tidak hanya kebutuhan pokok, namun ada pula lapak yang menjual kebutuhan peribadatan untuk umat Buddha dan Konghucu.
Aroma dupa yang menyengat saya rasakan saat memasuki salah satu toko tersebut. Mata saya dibuat kagum dengan suasana serba merah di dalamnya. Beberapa pembeli tampak memberikan sorot matanya ke berbagai kebutuhan peribadatan yang tersusun rapi
Umat konghucu sembayang saat Imlek di Wihara Dharma Bhakti, Jakarta Barat, Sabtu (25/1). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Memasuki ruangan bagian dalam, terlihat benda bertumpuk yang membuat etalase semakin sesak. Uniknya, semua barang-barang tersebut terbuat dari kertas yang dilipat hingga menjadi bentuk tertentu. Uang kertas, mobil kertas, baju kertas, dan benda-benda dari kertas lainnya.
Menurut penuturan pemilik toko, benda-benda tersebut merupakan persembahan untuk kerabat mereka yang sudah meninggal, biasa disebut juga dengan ‘Uang Arwah’. Mereka percaya bahwa sesekali, kerabat yang sudah tiada bisa kembali mendatanginya lewat mimpi.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah seperti itu, kerabat yang masih hidup biasanya akan memberikan sesuatu berupa barang yang disukai atau yang dibutuhkan mendiang semasa hidup. ‘Uang Arwah’ itu lantas digunakan pihak keluarga sebagai simbol pemberian kepada mendiang.
Biasanya, barang kertas itu akan dibakar dengan doa-doa tertentu. Harapannya, barang-barang tersebut bisa sampai kepada mendiang sebagai bekal di alam kuburnya.
Suasana di Vihara Dharma Bakti, Pecinan Glodok. Foto: Toshiko/ kumparan
Sesampainya di ujung Petak Sembilan, saya menjumpai sebuah vihara kecil yang letaknya sedikit tersembunyi. Bangunan yang khas dengan ornamen warna merahnya ini masih ramai dikunjungi orang-orang yang melakukan ibadah.
Kim Thek Le, atau Vihara Dharma Bhakti merupakan vihara tertua yang ada di Jakarta. Didirikan pada tahun 1650, vihara ini telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan peradaban etnis Tionghoa di Batavia hingga sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Ada juga vihara bersejarah lainnya, yakni Toa Se Bio yang lokasinya tidak jauh dari Vihara Dharma Bhakti. Vihara yang juga dikenal dengan nama Dharma Jaya ini telah berdiri sejak tahun 1660 dan menjadi salah satu yang tertua juga di Jakarta.
Dalam sejarahnya, kedua vihara ini telah menjadi saksi bagaimana kerasnya hidup orang-orang keturunan Tionghoa di Batavia. Mulai dari peristiwa geger pecinan tahun 1740 di mana ribuan orang tewas dibantai dan jasadnya dihanyutkan di Kali Angke hingga kerusuhan 1998 yang bekasnya masih tersisa hingga saat ini

Berburu Kuliner di Gang Sempit

Warga berjalan di kawasan lapak pedagang kaki lima (PKL) Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Puas menyusuri Petak Sembilan, saya lantas menjejakkan kaki di Gang Gloria. Tempat ini terkenal dengan berbagai kulinernya yang unik khas peranakan Tionghoa. Jalanan yang sempit membuat gang ini penuh sesak.
ADVERTISEMENT
Saking sempitnya, jalanan ini hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Jika ada motor yang melintas secara bersamaan, pejalan kaki lah yang harus mengalah dan menempelkan badan ke dinding bangunan atau lapak pedagang. Tenda yang dipergunakan sebagai shelter di atas juga menjadikan gang terasa ini gelap sekalipun di luar sedang cerah.
Namun begitu, kuliner yang dijual di gang ini memuaskan rasa penasaran saya terhadap kuliner unik yang belum pernah saya nikmati sebelumnya. Seperti misalnya laksa, cempedak goreng, pia, berbagai jenis mi dan beberapa kuliner lainnya.
Ada satu kuliner menarik yang saya coba. Tulisan “Vegetarian” yang tertulis di etalasenya membuat saya mampir ke kedai tersebut. Kedai ini dimiliki oleh seorang kakek keturunan Tionghoa yang sudah lebih dari 30 tahun menjalani hidup sebagai vegetarian.
Ilustrasi rendang Foto: dok.Shutterstock
Secara kasat mata, menu di dalamnya tidak jauh beda dengan warung makan pada umumnya. Ada sayur-sayuran, rendang, sate, dan babi panggang. Namun yang unik, bahan baku yang digunakan untuk membuat makanan tersebut berasal dari bahan nabati.
ADVERTISEMENT
Untuk rasa, saya kira sangat mirip dengan makanan aslinya. Hanya saja, tekstur makanan agak sedikit beda walaupun terasanya samar-samar saja. Bagi yang lidahnya kurang sensitif terhadap makanan, saya kira agak sulit untuk membedakan makanan asli dengan yang terbuat dari bahan nabati ini.
Kulineran di sini juga pastinya membuat saya was-was sebagai muslim. Pasalnya, ada beberapa kuliner non halal yang dijual di daerah ini seperti misalnya siomay daging babi. Untukmu yang tertarik berburu kuliner di sini, bisa tanyakan halal atau tidaknya makanan tersebut ke pedagangnya, ya.
Akhir perjalanan saya ditandai dengan bertemu salah seorang pengrajin kaligrafi tradisional yang bertahan di Glodok. Lokasinya persis berada di ujung Gang Gloria. Toko yang digunakan sebagai rumah itu pun sangat sederhana dengan hiasan kaligrafi buatannya.
Sejumlah guru dari Malaysia ikut berpartisipasi dalam acara menulis Kaligrafi huruf Thiongkok untuk menyambut Tahun Baru Imlek di Tsun Jin High School di Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: REUTERS/Lai Seng Sin
Jangan salah sangka dulu, ya. Kaligrafi yang dimaksud bukanlah kaligrafi berbahasa Arab seperti yang biasa ditemui di masjid atau rumah-rumah. Namun kaligrafi yang dimaksud adalah kaligrafi yang menggunakan aksara Tionghoa atau aksara Han.
ADVERTISEMENT
Di tengah era teknologi yang berkembang pesat, pemilik sekaligus seniman kaligrafi tersebut masih bertahan dengan cara lamanya. Bermodalkan kuas dan kain, dirinya dengan mahir menggoreskan tinta hitam menjadi tulisan indah yang berisi kata-kata motivasi, ucapan, hingga nama seseorang.
Walaupun bukan tempat mewah dan penuh dengan hiburan kekinian, Glodok buat saya memberikan pengalaman baru yang cukup mahal. Membuka mata saya lebih lebar lagi bahwa ada budaya di luar sana yang bisa memberikan pandangan baru soal kehidupan.
Tulisan ini juga tentunya bukan tulisan yang mengakhiri kunjungan saya ke sana. Petak Enam, kuliner legendaris Kopi Es Tak Kie, serta merasakan perayaan Imlek dan Cap Go Meh masih menjadi alasan saya untuk kembali mendatangi tempat ini lagi.
ADVERTISEMENT