Swedia di Awal Pandemi COVID-19 dan Refleksinya bagi Indonesia

Zulfikar Singadikerta
Student-Researcher at Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
22 Maret 2021 20:46 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfikar Singadikerta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Universitest Apotek, Sweden by grzswe from freeimages.com
zoom-in-whitePerbesar
Universitest Apotek, Sweden by grzswe from freeimages.com
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah diketahui oleh publik, Swedia tidak menerapkan lockdown ketat seperti yang dilakukan tetangganya, Denmark serta negara di benua Eropa lainnya pada tahun 2020 silam. Stockholm memutuskan untuk tidak mengikuti konsensus internasional dengan dalih menyelamatkan perekonomian mereka, terlebih lagi keputusan ini disokong oleh stadsepidemiolog Swedia, yakni Anders Tegnell dan timnya yang kemudian memimpin strategi ini dengan harapan Swedia dapat mencapai herd immunity dan tidak mencederai ekonominya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dilansir di Business Insider, keputusan ini disambut baik oleh masyarakat Swedia yang menunjukkan jika mereka Bahagia dengan kebijakan ini (per-9 Mei 2020, hanya sekitar 11% warga yang tidak setuju/skeptis dengan kebijakan ini), apalagi setelah mengetahui dampak ekonomi dari pemberlakuan pembatasan sosial atau lockdown. Masyarakat Swedia juga memiliki satu kultur sosial bernama folkvett yang berarti suatu rasa kolektivitas secara pemikiran dan kesadaran sosial yang tinggi. Konsep folkvett ini pun menyiratkan jika Swedia adalah negara dengan masyarakat yang cukup rasional dan kolektif dalam mengikuti keputusan para pakar dan pemerintah Swedia yang kebanyakan diisi oleh para teknokrat. Maka, ketika kebijakan tidak ada lockdown dikeluarkan, masyarakat Swedia sepenuhnya percaya kepada pihak otoritas dan menganggap jika kebijakan tanpa lockdown bukanlah keputusan politis, melainkan keputusan yang saintifik.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi herd immunity yang diharapkan pun tak kunjung datang. Sebuah studi yang dilakukan oleh Orlowski & Goldsmith, (2020) dan dipublikasikan oleh Journal of the Royal Society Medicine menunjukkan jika tujuan para stadsepidemiolog itu terbilang gagal. Kebijakan tersebut awalnya dicanangkan untuk membentuk herd immunity atau imunitas kelompok yang menjembatani masa nihilnya vaksin hingga masa ditemukannya vaksin COVID-19, sembari menyelamatkan ekonomi agar tidak kontraksi terlalu jauh karena berkurangnya konsumsi agregat (permintaan agregat). Studi lain yang dipublikasikan oleh The New England Journal of Medicine menunjukkan jika imunitas humoral untuk melawan SARS-CoV-2 pada tubuh manusia dengan gejala penyakit ringan, tidaklah everlasting seperti yang diharapkan Anders Tegnell dkk.
Alih-alih menyelamatkan ekonomi dan membentuk imunitas kelompok, angka kasus dan kematian karena COVID-19 di Swedia melonjak. Per 11 Juli 2020 tercatat kematian karena COVID-19 di Swedia mencapai 38/100.000 penduduk. Hingga 12 Agustus 2020, jumlah kasus COVID-19 di Swedia mencapai 83.445 kasus dengan 5.775 kematian, (Worldometers, 2020). Swedia dalam hal ini mengungguli tetangga Skandinavianya (Denmark, Finlandia, Norwegia) dengan total jumlah kasus dan kematian karena COVID-19 terbanyak. Bahkan angka kasus Denmark, Finlandia, dan Norwegia jika dijumlahkan (menjadi total 32.536 kasus dan 1.210 kematian) masih lebih sedikit dibandingkan angka total kasus dan kematian karena COVID-19 di Swedia.
ADVERTISEMENT
Selain membentuk imunitas kelompok, seperti yang sudah dikatakan di paragraf sebelumnya, Swedia, (dengan meniadakan lockdown) juga bermaksud menyelamatkan ekonominya agar tidak tersungkur ke dalam jurang resesi, dan bahkan menghindari kontraksi ekonomi. Jika ditinjau dari sisi belanja konsumen, Swedia yang meniadakan lockdown, aktivitas belanja masyarakat nya tidak jauh berbeda dari Denmark yang melakukan lockdown secara ketat. Seperti dilansir di dalam majalah The Economist (2020), konsumsi rumah tangga orang-orang Denmark, di bawah kebijakan lockdown yang ketat, telah menurun sekitar 80% terutama di sektor perdagangan jasa seperti jasa travel, hiburan, dan lainnya. Di dalam majalah yang sama disebutkan, Swedia ternyata mengalami penurunan belanja konsumen yang persentase nya hampir mirip dengan Denmark. Hal ini menunjukkan jika masyarakat Swedia pun mulai merasa khawatir dengan keselamatan diri mereka dan mulai skeptis dengan keputusan pemerintah mereka, mengingat angka persebaran dan kematian karena COVID-19 di negara mereka mulai melonjak, sehingga mereka tidak lagi banyak bepergian, melakukan aktivitas ekonomi meskipun sama sekali tidak ada larangan dari pemerintahnya.
ADVERTISEMENT

Kontraksi Ekonomi

picture by T. Al Nakib from freeimages.com
Jika dilihat dari performa Produk Domestik Bruto per triwulannya, PDB Swedia mengalami kontraksi terparah di bulan April—Juni, atau di kuartal ke-2 (dua) tahun 2020 yang jatuh hingga 8,6% (q-o-q). Laporan dari Dankse Bank (per 16 Juni 2020), menunjukkan jika kontraksi PDB Swedia tahun ini diproyeksikan mencapai -4,1% (y-o-y), lebih buruk dibandingkan Denmark dan Norwegia yang sama-sama berada di angka -3,5%, dan seperti yang diketahui, kedua negara ini menerapkan lockdown.
Namun memang, proyeksi kontraksi yang dialami Swedia ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Euro Area yang anjlok hingga -6,2% tahun ini, (Danske Bank, 2020). Beberapa ekonom berpendapat jika kontraksi ekonomi yang dialami Swedia memang akan lebih parah jika pemerintahnya memutuskan untuk menerapkan lockdown sejak awal (Milne, 2020).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi angan-angan Swedia untuk tidak sedikitpun mengalami kontraksi terlalu jauh atau setidaknya lebih baik dari tetangga skandinavianya dengan meniadakan lockdown, ternyata harus kandas. Swedia pun tetap mesti merasakan perihnya kontraksi ekonomi yang cukup dalam. Kendati demikian, Robert Bergqvist dari Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) mengatakan jika Swedia ekonomi nya tidak terlalu bertumpu kepada sektor pariwisata, hal ini pun menjadikan Swedia lebih aman daripada rekan-rekan Eropa nya seperti Italia, Perancis, Yunani, dan Spanyol yang terjerembab ke jurang kontraksi karena matinya sektor pariwisata skala global. Akan tetapi Robert juga mewanti-wanti agar Swedia tetap waspada, mengingat ekonomi Swedia cukup bergantung kepada aktivitas ekspor. Swedia mengekspor alat-alat mesin (HS84) dengan nilai $24,2 milyar, dan komoditas kendaraan (HS87) senilai $22,8 milyar di tahun 2019, (World Bank, 2020). Negara tujuan ekspor favorit Swedia ialah Norwegia, Amerika Serikat, Jerman, Denmark, dan Finlandia, jika misalnya ke-5 (lima) negara tersebut menghentikan permintaan (impor), tentu sektor manufaktur Swedia akan terhantam. Data dari e-markets.nordea menunjukan jika manufacturing PMI Swedia terlihat mengalami penurunan yang tajam di kuartal kedua 2020, meski sudah terlihat ada kenaikan di pertengahan kuartal ke-3 ini.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta makroekonomi di atas dan kurva kasus + kematian karena COVID-19 Swedia yang masih belum sepenuhnya landai, menunjukkan jika strategi yang dijalankan Swedia dalam menanggulangi pandemi ini bisa dibilang tidak berjaya.
Seperti yang telah dikatakan di paragraf pertama, pemerintahan Swedia diisi oleh kaum teknokrat, ilmuwan, yang dipimpin partai socialdemokratiska dengan ideologi kiri-tengah nya yang terkenal rasional dan progresif. Jadi strategi tanpa lockdown ini bukanlah buah ide dari ideologi libertarian atau kaum populis sayap kanan yang beberapa di antara mereka kerap bersikap skeptis terhadap sains, cinta kebebasan, dan melihat lockdown sebagai bentuk opresi. Strategi di Swedia ini murni keluar dari orang-orang yang terbilang progresif dan sangat percaya dengan sains. Maka sejatinya, kepercayaan berlebih terhadap sains dan pemerintah lah yang menjadikan Swedia seperti saat sekarang ini, (Rachman, 2020).
ADVERTISEMENT

Refleksi bagi Indonesia dan dunia

Monas, Jakarta by Oo Murbiyanto from freeimages.com
Hingga hari ini, di Indonesia masih terjadi perdebatan di kalangan masyarakat perihal mengutamakan Kesehatan (menekan angka pertumbuhan kasus COVID-19) yang menyakiti ekonomi, ataukah menyelamatkan ekonomi dengan risiko angka kasus dan kematian COVID-19 terus naik. Fakta kasus Swedia ini menunjukkan jika satu negara tetap mementingkan ekonomi dan sama sekali tidak memperdulikan pandemi, kepercayaan diri masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi ternyata tak juga membaik. Masyarakat (di kota besar terutama) akan khawatir dengan persebaran pandemi yang semakin masif dan akhirnya mereka memutuskan untuk memangkas pengeluaran mereka.
Pandemi dan ekonomi bukanlah suatu trade-off yang di mana negara hanya dapat menyelamatkan salah satu nya dan menyakiti yang lainnya. Sesungguhnya Ketika negara fokus kepada penanganan pandemi (memperbanyak Rapid, PCR/Swab test, menginstruksikan protokol kesehatan kepada masyarakat, pelaku usaha, menggencarkan vaksinasi dll.) yang tentunya diikuti oleh kedisiplinan dari masyarakat nya sendiri, kepercayaan diri masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi pun senantiasa akan naik, karena negara telah memberikan rasa aman bagi mereka untuk kembali beraktivitas seperti saat pra-pandemi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan fiskal dari pemerintah serta kebijakan moneter dari bank sentral tentunya mesti terus dijalankan, disertai pelaksanaan vaksinasi yang masif. Jika ini terus dilaksanakan, pemulihan ekonomi dan kesehatan dapat berjalan bersama tanpa harus meninggalkan salah satu nya. Seperti yang pernah diujarkan oleh seorang ekonom pemenang penghargaan nobel asal Amerika, Paul Krugman, “Lockdown ini sebetulnya seperti anestesi yang dilakukan kepada pasien yang sedang mengalami cedera otak dan harus segera dibedah. Anestesi tersebut melumpuhkan bagian tubuh untuk beberapa waktu, agar si otak pada akhirnya dapat terselamatkan”.
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
Referensi
Business Insider. (2020, Mei 10). 7 people in Sweden told us why they think their government made the right call in having no coronavirus lockdown. Retrieved from Business Insider: https://www.businessinsider.com/sweden-why-people-are-happy-with-no-lockdown-coronavirus-plan-2020-5?r=US&IR=T
ADVERTISEMENT
Danske Bank. (2020). Nordic Outlook : Economic and Financial Trends. Copenhagen: Danske Bank.
Ibarrondo, F. J., Fulcher, J. A., Goodman-Meza, D., Elliott, J., Hofmann, C., Hausner, M. A., . . . Yang, O. O. (2020). Rapid Decay of Anti–SARS-CoV-2 Antibodies in Persons with Mild Covid-19. The New England Journal of Medicine, DOI: 10.1056/NEJMc2025179.
Milne, R. (2020, Agustus 9). Sweden’s pandemic no longer stands out. Retrieved from The Financial Times: https://www.ft.com/content/7acfc5b8-d96f-455b-9f36-b70dc850428f
Orlowski, E. J., & Goldsmith, D. J. (2020). Four months into the COVID-19 pandemic, Sweden’s prized herd immunity is nowhere in sight. Journal of the Royal Society of Medicine, Vol. 113(8) 292–298.
Rachman, G. (2020, Juni 15). A very Swedish sort of failure : A flawed policy on Covid-19 was driven by the country’s exceptionalism. Retrieved from The Financial Times : https://www.ft.com/content/4f6ad356-9f61-4728-a9aa-3fa1f232035a
ADVERTISEMENT
The Economist. (2020, April 30). Life After Lockdowns. Retrieved from The Economist: https://www.economist.com/leaders/2020/04/30/life-after-lockdowns
The World Bank. (2020). Sweden Data. Retrieved from World Bank Group: https://data.worldbank.org/country/sweden?view=chart
Worldometers. (2020, Agustus 13). Worldometers Coronavirus Cases. Retrieved from Worldometers: https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/