Konten dari Pengguna

Milenial for Sale: Membaca Fenomena Jelang Pemilu

Muhamad Bukhari Muslim
Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026 dan Mahasiswa Pasacasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI)
4 Oktober 2023 10:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Bukhari Muslim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam satu diskusi tentang pemilu di Lebak Bulus, Inayah Wahid putri Presiden ke-4 Indonesia, tampil dengan pernyataan yang menyentak. Sosok nyentrik itu mengaku bahwa ia sudah tidak percaya dengan narasi-narasi jualan tentang anak muda.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, tidak berbeda dengan agama, anak muda atau yang akrab dengan sebutan milenial itu kini juga ramai diperebutkan oleh para politisi. Sebab data termutakhir menunjukan kalau presentase pemilih milenial cukup besar di 2024 mendatang.
Jika melihat fenomena hari ini, pernyataan Inayah Wahid tersebut tidak sepenuhnya salah. Persentase milenial yang tidak kecil itu bukan hanya menjadi “sasaran empuk” para politisi, tapi juga menjadi peluang dan keuntungan besar bagi para milenial yang lihai memanfaatkannya.

Narasi-Narasi di Sekitar Milenial

Ilustrasi surat suara Paslon Capres dan Cawapres. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Umumnya ada beberapa narasi yang dipakai seseorang ketika berjualan tentang milenial. Di antaranya ialah tentang bonus demografi.
Bahwa hari ini Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Yakni jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibanding penduduk dengan usia tidak produktif (65 tahun ke atas). Oleh karenanya, siapa pun yang akan memimpin Indonesia ke depan, harus memerhatikan data ini. Termasuk di antaranya generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Narasi lain yang juga sering dikembangkan ialah bahwa generasi milenial adalah generasi yang kaya akan terobosan. Dibanding generasi pendahulunya (old generation) yang terkesan lamban dalam merespons laju perkembangan zaman, anak muda dianggap lebih tanggap dan sigap.
Anggapan-anggapan seperti ini, walau benar, terdapat sesuatu yang kurang. Mereka tidak menyadari bahwa kecelakaan Indonesia hari ini adalah kecelakaan sistem. Mengubahnya tidak semudah yang dibayangkan.
Banyak terjadi. Awalnya mereka amat bergairah menyuarakan perubahan. Bahwa anak muda adalah jawaban dari semua permasalahan hari ini. Namun ketika menyadari sistem yang ada, mau tidak mau, mereka ikut terjebak di dalamnya dan bahkan menjadi pelaku baru.
Nahasnya juga, mereka kadang kala melakukan kritik yang lumayan masif terhadap organisasi mahasiswa dan aktivisme hari ini. Mereka mengkritik bahwa kebanyakan aktivis hanya melanjutkan tradisi yang telah digariskan oleh senior-seniornya. Demo, kritik pemerintah, dapat atensi, dan pada akhirnya ikut nyaleg dan melanggengkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang sebelumnya sering dikritiknya.
ADVERTISEMENT
Namun sadar tidak sadar, milenial yang mengkritik organisasi mahasiswa dan dunia aktivis itu, khususnya mereka yang terjun di dunia konten kreator, juga melakukan pola yang sama. Awalnya mereka berkoar-koar tentang anak muda, menjadikannya jualan.
Setelah mendapat perhatian dari tokoh-tokoh terkenal, mereka juga ikut di dalamnya. Mereka akhirnya menyadari bahwa narasi tentang anak muda sebagai solusi atas segala kemelut, tidak mudah berhadapan dengan sistem yang telah ada.
Antara yang dikritik dan yang mengkritik terjebak pada kesalahan yang sama. Yakni sama-sama jualan. Satunya lewat demo, satunya lagi lewat platform-platform media sosial yang ada. Ketika telah mendapat atensi dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, mereka sama-sama tidak berdaya dan terpaksa harus mengikuti alur permainan.
ADVERTISEMENT

Mewaspadai Fenomena Milenial for Sale

Mendekati pemilu seperti sekarang, jualan-jualan tentang narasi anak muda masih ramai dan makin masif digelorakan. Karena itu, sudah seyogyanya, kita menaruh sikap waspada dan kritis.
Berpagi-pagi harus ditegaskan, bahwa lewat tulisan ini, penulis tidak hendak meminta kita menolak mentah-mentah segala narasi tentang anak muda. Sebab dari mereka pasti ada yang tulus menyuarakannya. Hanya saja sikap kritis perlu dijaga.
Saya pun juga melihat bahwa masyarakat hari ini sudah mulai jeli dengan fenomena ini. Mereka cukup telaten dalam membedakan mana yang benar-benar narasi dan mana yang hanya sekedar basa-basi.
Maka, bagi yang hendak bersuara tentang anak muda, berhati-hatilah. Tidak perlu menyalahkan masyarakat kita yang gampang antipati terhadap gerakan anak muda. Kitalah harus yang membuktikan. Bahwa ia belum dipercaya, barang kali kitalah yang belum sungguh-sungguh dalam menghapuskan stigma itu dan ikut bermain api di dalamnya.
ADVERTISEMENT