Konten dari Pengguna

Membongkar Stereotipe kuno: Perempuan Bukan Hanya di Dapur

Muhamad Alief Abbyan
Mahasiswa ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr HAMKA
9 Juli 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Alief Abbyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto : https://www.pexels.com/photo/woman-cooking-rice-26733887/
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto : https://www.pexels.com/photo/woman-cooking-rice-26733887/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di Indonesia, pandangan tradisional tentang peran perempuan masih sangat kuat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Stereotipe bahwa perempuan seharusnya hanya berada di dapur, mengurus rumah tangga, dan merawat anak-anak adalah salah satu pandangan yang telah mengakar dalam masyarakat selama berabad-abad. Pandangan ini berakar pada norma-norma budaya dan adat istiadat yang menempatkan perempuan dalam peran domestik dan subordinat.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat tradisional Indonesia, peran perempuan sering kali dibatasi pada urusan domestik. Sejak zaman kolonial, perempuan didorong untuk mengurus rumah dan keluarga, sementara laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama. Norma-norma ini diperkuat oleh berbagai institusi, termasuk keluarga, agama, dan pendidikan, yang mengajarkan bahwa tugas utama perempuan adalah di rumah.
Meskipun telah terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan di era modern, pandangan tradisional ini masih bertahan. Perempuan kini memiliki akses yang lebih besar ke pendidikan dan pekerjaan, tetapi mereka tetap menghadapi tekanan untuk memenuhi peran domestik mereka. Banyak perempuan yang merasa terjebak dalam "double burden" atau beban ganda, di mana mereka harus mengurus pekerjaan rumah tangga di samping pekerjaan mereka di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang memilih untuk bekerja sering kali harus menanggung dua tanggung jawab sekaligus: menjadi produktif di ranah publik sekaligus mengurus urusan domestik. Situasi ini menimbulkan masalah baru di mana perempuan terus bekerja untuk mewujudkan dirinya, namun impian mereka terbatas pada bekerja dan menghasilkan pendapatan ekonomi. Tujuannya adalah mendapatkan penghargaan dan perlakuan lebih baik dari suami serta tidak bergantung pada laki-laki. Akibatnya, cita-cita perempuan sering kali terkubur di bawah tumpukan beban yang membuat mereka merasa terkekang dan kehilangan semangat.
Peran kultural terhadap perempuan ini sebenarnya sangat bias dan merugikan mereka. Perempuan sering kali terjebak dalam belenggu tradisi dan tidak bisa sepenuhnya membebaskan diri dari beban domestik meskipun bekerja di sektor produktif. Akibatnya, perempuan yang bekerja di luar rumah sulit untuk fokus pada cita-citanya dan terperangkap dalam dua tanggung jawab sekaligus, yakni dunia produktif dan domestik, yang sering disebut sebagai beban ganda (double burden).
ADVERTISEMENT

Perspektif Feminis Sosialis

Feminisme sosialis menggabungkan analisis feminis dengan teori Marxis, menyoroti bagaimana kapitalisme dan patriarki saling memperkuat dalam menindas perempuan. Stereotipe bahwa perempuan harus berada di dapur mencerminkan norma-norma sosial yang menempatkan perempuan dalam peran domestik dan menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab utama mereka. Ini menguntungkan kapitalisme dengan memastikan bahwa perempuan tetap menjadi tenaga kerja murah dan dapat dieksploitasi.
Dalam perspektif feminis sosialis, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin adalah alat untuk mempertahankan ketidaksetaraan. Pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar oleh perempuan memungkinkan kapitalisme untuk mengurangi biaya tenaga kerja dan meningkatkan keuntungan. Dengan menempatkan perempuan hanya di dapur, masyarakat tidak menghargai kontribusi ekonomi mereka dan terus mengabaikan nilai kerja reproduktif.
ADVERTISEMENT
Stereotipe ini memiliki dampak yang nyata dan merugikan pada kehidupan perempuan. Banyak perempuan yang merasa terbatas dalam mengejar karir atau pendidikan lebih tinggi karena tekanan untuk memenuhi peran domestik. Hal ini juga mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka, karena mereka merasa terjebak dalam peran yang tidak mereka pilih.

Upaya dan Perubahan yang Diperlukan

Untuk mengatasi stereotipe ini, perlu adanya perubahan yang signifikan dalam struktur sosial dan ekonomi. Beberapa langkah yang bisa diambil meliputi:
1. Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender melalui pendidikan dan kampanye publik. Pendidikan harus mencakup pemahaman tentang peran gender yang lebih fleksibel dan egaliter.
2. Kebijakan Pemerintah: Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, dukungan untuk penitipan anak, dan kebijakan upah yang setara.
ADVERTISEMENT
3. Peran Laki-Laki: Laki-laki juga perlu dilibatkan dalam upaya mengubah stereotipe ini. Dengan mendukung pembagian peran yang lebih setara dalam rumah tangga, laki-laki bisa membantu mengurangi beban yang ditanggung oleh perempuan.
4. Peran Media: Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Representasi perempuan yang beragam dan positif dalam media bisa membantu mengubah pandangan tradisional tentang peran gender.
Membongkar stereotipe kuno bahwa perempuan hanya pantas berada di dapur adalah langkah penting menuju kesetaraan gender di Indonesia. Melalui perspektif feminis sosialis, kita dapat melihat bagaimana kapitalisme dan patriarki bekerja bersama untuk menindas perempuan dan menemukan cara untuk mengatasi masalah ini. Dengan pendidikan, kebijakan yang mendukung, dan perubahan budaya, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan memiliki kesempatan untuk mencapai potensi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT