Cover-Muhamad Reza

Seberapa Ringkih Sistem Listrik Interkoneksi Itu?

Muhamad Reza
PhD Technische Universitet Delft, Belanda | Business Development Manager ASEAN, Solvina International, 2016 | 4 paten internasional | Penulis 95 makalah ilmiah
12 Agustus 2019 12:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Muhamad Reza. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Muhamad Reza. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Muhamad Reza, Ph.D.
Artikel ini ditulis di Tangerang Selatan, menjelang tengah malam di hari Minggu, (4/8/2019). Sebelumnya, terjadi pemadaman listrik yang luas di Sistem Jawa dari sekitar jam 12 siang hari. Di beberapa tempat listrik baru menyala setelah padam lebih dari 8-9 jam.
ADVERTISEMENT
Kebetulan pemadaman ini terjadi di akhir pekan. Untuk yang berada di rumah, dampaknya terasa dari gerah akibat alat pendingin ruangan yang tidak menyala, keterbatasan akses air, kamar mandi, dan toilet, karena pompa air tidak berfungsi, keterbatasan akses terhadap berbagai peralatan elektronik, dari yang bersifat hiburan seperti televisi, hingga peralatan untuk keperluan makan dan minum, seperti lemari pendingin, penanak nasi, dispenser pemanas dan pendingin air minum, hingga panggangan listrik tidak dapat digunakan. Menjelang malam ketika listrik belum juga menyala, rumah-rumah gelap gulita karena lampu penerangan listrik tidak menyala.
Menara SUTET. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Dampak lebih berat dirasakan oleh mereka yang kebetulan sedang beraktivitas di luar rumah. Media sosial dan media internet sempat memberitakan lampu-lampu lalu lintas dan gerbang tol yang otomatis yang tidak berfungsi, kereta listrik (KRL) dan kereta bawah tanah (MRT) yang terhenti operasinya termasuk, beberapa MRT yang sedang berada di jalur terowongan bawah tanah dengan para penumpang di dalamnya yang terpaksa dievakuasi.
ADVERTISEMENT
Beberapa restoran modern yang mengandalkan banyak peralatan listrik untuk proses memasak dan mengolah makanan dan minumannya, namun tidak memiliki backup generator pun akhirnya tidak beroperasi. Beberapa toko yang masih buka, hanya melayani transaksi jual beli dengan uang kontan. Jaringan internet dan komunikasi yang sempat beroperasi di awal-awal pemadaman listrik juga ikut tumbang. Selain membatasi komunikasi, hal ini juga membuat kesulitan dalam pemesanan dan penggunaan layanan taxi dan ojek online, serta segala layanan turunannya.
Terlebih, terjadi keterbatasan dalam mengakses informasi yang sebenarnya sangat penting dalam situasi seperti ini. Masih beruntung bahwa pemadaman ini terjadi pada hari Minggu, di akhir pekan. Sehingga, potensi dampak gangguan yang lebih serius seperti yang mungkin terjadi tekait para pekerja kantoran yang banyak menggunakan lift di gedung-gedung perkantoran tinggi, berbagai transaksi keuangan elektronika, pengolahan dan pemrosesan data bisnis dan lain-lain yang biasanya banyak terjadi di hari-hari kerja, relatif tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Dua hal muncul dari kejadian ini. Yang pertama adalah, konfirmasi tentang tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar apalagi Jakarta dan wilayah sekitarnya (Jabodetabek), terhadap ketersediaan dan kehandalan suplai tenaga listrik. Yang kedua berupa pertanyaan, seberapa kokoh atau seberapa ringkih sebenarnya suatu sistem ketenagalistrikan yang interkoneksi itu? Untuk poin yang pertama, rasanya mudah dirasakan oleh setiap pembaca, sehingga artikel ini lebih memfokuskan pada poin atau pertanyaan yang kedua.
Seorang pedagang berjualan di kawasan Sabang, Jakarta Pusat, saat mati listrik massal. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan.
Dari informasi yang sempat beredar di media sosial termasuk yang bersumber dari PLN, diketahui bahwa pemadaman yang luas kali ini melibatkan lepasnya beberapa pembangkit besar di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali, yang mengalami gangguan atau mati. Berikut sebagian dari isi pesan PLN melalui Executive Vice Presiden Corporate Communication-nya, yang beredar di beberapa grup WhatsApp. “Gas Turbin 1 sampai dengan 6 Suralaya mengalami trip. Sementara Gas Turbin 7 saat ini dalam posisi mati (Off). Selain itu Pembangkit Listrik Tenaga Gas Turbin Cilegon juga mengalami gangguan atau trip”. Dalam pesan yang sama juga disebut, bahwa “Di Jawa Barat terjadi gangguan pada Transmisi SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi)”.
ADVERTISEMENT
Biasanya setelah kejadian pemadaman skala besar atau yang biasa disebut blackout pada istilah kelistrikan seperti ini, akan ada investigasi yang mendalam. Data-data rekaman besaran-besaran listrik, sebelum, sesaat, dan setelah gangguan, akan dikumpulkan, diproses, dianalisa, dan didiskusikan oleh para ahli, untuk kemudian diambil kesimpulan mengenai apa yang telah terjadi.
Tujuan utamanya, agar gangguan semacam ini bisa dicegah, sehingga tidak terjadi lagi di masa depan. Artinya, terlalu dini untuk mengambil kesimpulan pasti atas apa yang menyebabkan terjadinya blackout pada Minggu, (4/8/2019). Tapi yang mungkin perlu dipahami oleh kita semua adalah, bahwa sistem tenaga listrik interkoneksi dengan segala kelebihannya, ternyata juga memiliki kelemahan. Apabila tidak ditangani dengan baik, jika terjadi gangguan maka dapat meluas ke seluruh wilayah yang interkoneksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Bermula dari menjelang akhir abad ke-19, teknologi listrik arus bolak-balik (AC) yang didukung oleh ilmuwan dan inventor Nikola Tesla 'memenangkan pertarungan' atas teknologi listrik arus searah (DC), yang didukung oleh ilmuwan dan inventor Thomas Alva Edison. Kelebihan teknologi listrik AC yang tegangan listriknya mudah dinaikkan atau diturunkan besarannya menggunakan trafo, memudahkan pembangkitan listrik dilakukan dalam tegangan menengah, yang praktis, penyaluran transmisi listrik jarak jauh dalam tegangan tinggi yang efisien dan penyaluran distribusi listrik dalam tegangan rendah yang aman untuk pengguna dan di atas itu semua, pembangkit-pembangkit dan pusat-pusat beban di satu wilayah dapat mudah dihubungkan dalam tegangan yang berbeda-beda hingga terbentuk sistem listrik yang interkoneksi.
Setiap kelebihan ada konsekuensinya. Begitu pula dengan teknologi listrik AC yang memiliki frekuensi sistem yang harus selalu dijaga konstan, misalnya pada 50 Hz kalau di Indonesia, dengan toleransi penyimpangan yang dibatasi sangat kecil. Penting menjaga frekuensi sistem listrik yang konstan ini, karena banyak peralatan listrik dirancang untuk bekerja pada frekuensi sistem ini dan akan rusak apabila terjadi penyimpangan yang terlalu besar.
ADVERTISEMENT
Salah satu parameter yang mempengaruhi besaran frekuensi suatu sistem tenaga listrik adalah keseimbangan antara beban listrik yang dikonsumsi dengan suplai listrik yang dibangkitkan pada setiap saat. Untuk membantu memahami hal ini, sebuah analogi dapat dibuat antara satu sistem tenaga listrik yang interkoneksi dengan sistem sepeda tandem (lihat gambar). Ketika sistem listrik yang interkoneksi menghubungkan beberapa pembangkit listrik untuk melayani beban-beban yang terhubung dalam sistem tersebut, maka sebuah sepeda tandem menghubungkan beberapa pengayuh untuk membawa penumpang-penumpang yang naik sepeda tersebut.
Analogi sepeda tandem dan sistem tenaga listrik interkoneksi Foto: Istimewa
Frekuensi sistem listrik yang konstan dapat dianalogikan dengan kecepatan sepeda tandem yang konstan. Para pengayuh sepeda mengilustrasikan generator-generator pembangkit listrik dan para penumpang sepeda mengilustrasikan beban-beban listrik. Setiap terjadi perubahan keseimbangan antara penumpang (analogi dengan beban listrik) dan pengayuh (analogi dengan pembangkit listrik) maka sesaat akan mempengaruhi kecepatan sepeda apakah itu melambat atau lebih cepat (analogi dengan frekuensi sistem listrik yang turun atau naik).
ADVERTISEMENT
Ketika jumlah penumpang bertambah atau jumlah pengayuh berkurang, maka sesaat sepeda akan melambat dan untuk mengembalikan kecepatan sepeda pada kecepatan konstan semula menjadi sangat penting bahwa para pengayuh harus dapat mendeteksi terjadinya perubahan ini untuk kemudian menambah tenaga ayuhan sepedanya. Demikian pula sebaliknya, ketika penumpang berkurang, maka sesaat sepeda akan menjadi lebih cepat dan pengayuh yang ada harus mengurangi tenaga kayuhannya.
Begitu pula dengan sistem listrik interkoneksi, ketika jumlah beban bertambah atau jumlah pembangkit berkurang, maka sesaat frekuensi sistem listrik akan turun dan untuk mengembalikan frekuensi sistem listrik pada nilainya yang semula menjadi sangat penting bahwa pembangkit-pembangkit yang tersisa harus dapat mendeteksi terjadinya perubahan ini untuk kemudian menambah daya listrik yang dibangkitkannya. Demikian pula sebaliknya. Yang kemudian dapat menjadi masalah adalah ketika pembangkit-pembangkit yang tersisa ini tidak mampu mengembalikan frekuensi sistem listrik ke nilai semula bahkan karena ketidakseimbangan antara beban dan pembangkitan tetap terjadi, nilai frekuensinya justru semakin turun di bawah nilai yang dijadikan patokan oleh beberapa pembangkit misalnya. Akibatnya pembangkit-pembangkit ini malah melepaskan diri dari sistem yang interkoneksi. Terjadilah pembangkit-pembangkit lepas secara bertingkat atau berantai atau kaskade yang dapat mengakibatkan sistem listrik menjadi kehilangan keseluruhan pembangkitnya dan kemudian padam secara total di wilayahnya yang luas yang dikenal dengan sebutan blackout.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah yang biasa dan bisa dilakukan untuk mencegah kejadian blackout di sistem yang interkoneksi?
Operator-operator sistem listrik di berbagai negara di dunia sadar akan potensi gangguan semacam ini dan berbagai macam prosedur sudah lama dikembangkan dan dirancang untuk mencegahnya. Namun, tetap blackout terjadi juga. Di Amerika Serikat misalnya, blackout terjadi di Juli 2003 atau di India blackout terjadi juga pada Agustus tahun 2012. Dan kedua blackout tersebut melibatkan fenomena lepasnya pembangkit-pembangkit listrik dalam jumlah besar secara berantai. Dari investigasi setelah kejadian biasanya diketahui bahwa penyebab blackout semacam ini jarang diakibatkan oleh penyebab tunggal, melainkan lebih karena serangkaian kejadian yang seringkali dikombinasikan dengan beberapa prosedur standar yang dilanggar atau tidak diterapkan dengan sempurna.
ADVERTISEMENT
Bahwa dalam sistem listrik, pembangkit dan beban harus selalu seimbang, biasanya udah direncanakan dari awal pembangunan sistem dan pengoperasiannya, termasuk dengan sistem proteksi yang melengkapinya, sehingga jarang hal ini saja dapat menjadi penyebab terjadinya blackout. Apalagi ketika cadangan pembangkitan yang ada jumlahnya cukup besar terhadap beban totalnya. Maka yang kemudian sering terjadi adalah serentetan gangguan, yang beberapa di antaranya tidak dalam kendali operator (seperti gempa bumi misalnya) yang kadang dikombinasikan dengan ketidaksempurnaan dalam penerapan prosedur standar.
Maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah memastikan bahwa setiap pembangkit listrik, terutama pembangkit yang besar, yang beroperasi pada satu sistem yang interkoneksi mengikuti kriteria yang diperlukan untuk menjaga sistem selalu beroperasi dengan handal. Artinya, kriterianya harus dipastikan tepat untuk kehandalan operasi sistem dan setiap pembangkit harus dipastikan memiliki performa nyata yang sesuai dengan kriteria tersebut. Baru sebagai langkah terakhir dirancang pula kriteria untuk mengurangi beban untuk sementara, yang hanya dilakuan ketika sangat terpaksa, demi menghindari terjadinya blackout.
Sejumlah anak membaca Al-quran menggunakan lampu minyak teplok sebagai penerangan di Dusun Sokokembang. Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan
Berbagai teknik dan perangkat penetapan kriteria perencanaan dan pengoperasian pembangkit untuk mencegah blackout terjadi dilakukan oleh berbagai operator sistem listrik di berbagai negara dalam bentuk grid code, simulasi, pengujian sambungan pembangkit hingga pengujian operasi pembangkit terpisah atau island operation termasuk juga dengan menetapkan standar proses pengambilan keputusan pada kondisi gangguan termasuk pada kondisi darurat atau emergency.
ADVERTISEMENT
Hingga fakta bahwa blackout terjadi di satu negara perlu dijadikan refleksi untuk melihat kembali apakah teknik, perangkat dan kriteria yang ditetapkan memang sudah sesuai dengan kondisi unik di negara tersebut, atau apakah pengoperasian pembangkit termasuk standar proses pengambilan keputusan pada kondisi-kondisi gangguan sudah dijalankan secara sempurna.
Sekali lagi, mencari jawaban akurat terhadap penyebab terjadinya blackout di satu sistem memang bukan hal yang mudah, investigasi akan memakan waktu dan sumber daya. Yang jelas, sistem tenaga listrik yang interkoneksi adalah salah satu sistem terbesar buatan manusia yang memiliki banyak kelebihan dalam meningkatkan kenyamanan hidup manusia, tetap juga bukan tanpa resiko yaitu bahwa berantai gangguan di satu bagian sistem dapat mengakibatkan gangguan kaskade/bertingkat yang dapat menyebabkan pemadaman sistem keseluruhan atau blackout.
ADVERTISEMENT
Kuncinya adalah memahami bagaimana satu sistem interkoneksi bekerja, memahami bagaimana kondisi penerapannya di lapangan, sehingga dapat dibuat kriteria rencana dan operasi yang tepat, kemudian memastikan bahwa pengoperasian semua pembangkit yang terhubung dipastikan akurat dan sempurna mengikuti kriteria yang telah ditetapkan.
Jangan lagi ada pembangkit yang lepas dari sistem ketika justru keberadaanya sangat diperlukan untuk tetap terhubung dan mencegah terjadinya blackout. Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi blackout terjadi di Indonesia.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten