Teknologi Blockchain Sebagai Solusi Elektrifikasi Warga Miskin

Muhamad Reza
PhD Technische Universitet Delft, Belanda | Business Development Manager ASEAN, Solvina International, 2016 | 4 paten internasional | Penulis 95 makalah ilmiah
Konten dari Pengguna
25 Juli 2019 9:30 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Reza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Blockchain Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Blockchain Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dalam penjelasan yang sederhana, blockchain adalah rangkaian (chain) dari blok (block) yang mengandung informasi. Blockchain terbentuk dari catatan-catatan informasi atau peer-to-peer transaksi digital yang tersebar, terekam dan terverifikasi dalam satu jaringan komputer dengan struktur dan properti khusus, bahwa sekali sebuah data tercatat dalam blockchain menjadi sangat sulit untuk mengubahnya.
ADVERTISEMENT
Teknologi blockchain adalah hasil penelitian yang pertama kali ditulis dalam makalah ilmiah yang diterbitkan pada di tahun 1991. Namun kepopuleran blockchain melesat ketika pada tahun 2008 seseorang atau sekelompok orang dengan nama samaran bernama ”Satoshi Nakamoto” membuat invensi bitcoin sebagai mata uang digital cryptocurrency yang berbasis teknologi blockchain.
Satu hal yang menarik dari teknologi blockchain adalah cara merekam dan memverifikasi transaksi yang terjadi dilakukan tanpa sebuah entitas sentral. Lalu, bagaimanakah sektor tenaga listrik yang sampai saat ini terbilang sangat teregulasi atau tersentralisasi dapat mendapatkan manfaat dari teknologi blockchain ini?
Dalam sejarahnya, perkembangan sektor tenaga listrik dapat dikatakan lambat dibandingkan dengan sektor lain seperti telekomunikasi atau elektronika. Hal ini tidak aneh, mengingat bahwa pembangunan dan pengoperasian sistem tenaga listrik biasanya memakan waktu yang lama, tahunan hingga puluhan tahun, dengan biaya yang juga terbilang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, perkembangan teknologi dalam sistem tenaga listrik saat ini, utamanya adalah perkembangan pembangkit listrik berbasis panel surya yang memudahkan terjadinya perubahan status dari konsumen listrik menjadi produsen listrik. Harga instalasi panel surya di atap rumah konsumen listrik yang terus menurun membuat konsumen listrik tertarik untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berbasis panel surya ini di rumah, atau bangunannya masing-masing.
Ketika kemudian produksi listrik dari PLTS mereka melebihi kebutuhan listriknya, maka mereka dapat menyalurkan kelebihan listriknya berbalik ke jaringan transmisi dan distribusi listrik, hingga mereka berubah menjadi produsen listrik. Konsumen semacam ini bisa disebut sebagai ”prosumer”.
Kondisi seperti ini secara intuitif menarik untuk diterapkannya teknologi blockchain dalam sistem tenaga listrik yang banyak terdapat para prosumer di dalamnya. Bayangkan ketika kemudian, misalnya, seorang prosumer dapat menjual kelebihan listrik yang diproduksinya kepada konsumen atau prosumer yang lain!
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya Foto: REUTERS/Tyrone Siu
Dengan teknologi blockchain, setiap satuan listrik--misalnya dalam satuan energi listrik kWh--yang dihasilkan oleh para prosumer dapat dicatat dalam sistem blockchain untuk kemudian setiap satuan listrik ini dapat diverifikasi secara aman dan transparan data-data yang terkandung oleh setiap satuan listrik itu, seperti: oleh siapa listrik tersebut dihasilkan, dari sumber energi apa listrik tersebut dibangkitkan, siapa yang menggunakan listrik tersebut, untuk peralatan apa, siapa yang menjual listriknya dan siapa yang membelinya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, informasinya bisa berkembang lebih jauh ketika misalkan dikaitkan dalam satuan listrik tersebut terdapat data-data seperti jumlah karbon dioksida yang berhasil dihemat, misalnya ketika listrik tersebut dibangkitkan dari sumber energi baru terbarukan, dan berapa jauh listrik tersebut bisa digunakan untuk transportasi ketika misalnya listrik tersebut digunakan untuk kendaraan listrik.
Intinya, ketika listrik bisa menjadi satuan-satuan ”blok” yang tercatat dan selalu terverifikasi dengan aman dan transparan, maka terbuka peluang untuk pemanfaatannya dengan fleksibel dan tepat guna. Bayangkan ketika kemudian dimungkinkan seorang pengendara motor atau mobil listrik yang hanya ingin membeli listrik yang dibangkitkan hanya dari pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi baru terbarukan. Kemudian, ketika industri atau bangunan komersial dapat dengan mudah melacak seberapa besar listrik yang mereka bangkitkan atau yang mereka konsumsi berasal dari energi baru terbarukan dan peralatan mana saja yang menggunakan listrik tersebut, atau produk mana saja yang dihasilkannya.
ADVERTISEMENT
Di atas ini semua, pembayaran atas satuan listrik tersebut juga akan mudah dilakukan ketika data produsen listrik dan konsumen listrik selalu tercatat dan terverifikasi dengan baik. Termasuk juga data ”penyewaan jaringan” oleh perusahaan utilitas, ketika misalnya ”satuan listrik” tersebut melewati atau menggunakan jaringan infrastruktur yang sudah dibangun dan dimiliki oleh perusahaan utilitas. Pada prinsipnya, sistem keterbukaan dan keamanan atas informasi satuan listrik memungkinkan pemanfaatan dan transaksi yang lebih fleksibel atas listrik tersebut.
Ilustrasi elektrifikasi. foto: pixabay
Lalu, bagaimanakah teknologi blockchain dapat menjadi solusi elektrifikasi untuk warga miskin Indonesia?
Ketika ”kepemilikan” dari setiap satuan listrik itu menjadi jelas dan transparan, maka akan mudah bagi siapa pun, apakah itu lembaga pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta atau pun perseorangan untuk ”menyumbangkan” satuan listrik yang mereka bangkitkan kepada warga yang kurang beruntung di Indonesia. Dalam tatanan perorangan, misalnya, mereka yang memiliki PLTS dalam bentuk panel surya yang terpasang di atap-atap rumah mereka bisa menyumbangkan kelebihan listrik yang dibangkitkan oleh panel surya tersebut di siang hari ketika beban di rumah mereka rendah.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama berlaku untuk bangunan-bangunan instansi pemerintah atau perusahaan komersial yang kemudian pencatatannya dapat dilakukan dengan transparan sehingga memudahkan dalam kompensasi corporate social responsibility (CSR) atau pun subsidi pemerintah, jika ada. Bahkan, dimungkinkan untuk misalnya melelang listrik, utamanya yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi baru terbarukan untuk disumbangkan kepada warga yang kurang mampu.
”Identitas” listrik yang jelas juga memungkinkan pendidikan kepada warga miskin atau kurang mampu yang lebih baik untuk menggunakan listriknya secara bijaksana. Misalnya, ketika identitas listrik dapat ”dipasangkan” dengan jenis-jenis peralatan listrik, maka warga miskin dapat diprioritaskan untuk menggunakan listrik ”sumbangan” atau ”subsidi” atau ”CSR” hanya untuk peralatan yang benar-benar penting, seperti lampu di malam hari atau pompa air atau alat-alat listrik yang bersifat produktif, seperti mesin pendingin untuk para nelayan dan lain-lain. Tetapi, ketika listrik tersebut digunakan untuk peralatan listrik yang bersifat penunjang atau sekunder, apalagi hiburan atau tersier, maka listrik tersebut tidak lagi menjadi sumbangan melainkan penggunanya dikenakan biaya listrik normal.
ADVERTISEMENT
Dengan mekanisme ini, tidak saja proses penyaluran listrik untuk warga miskin kurang mampu menjadi mudah dilakukan oleh siapa saja di negeri ini: perorangan, pemerintah atau pun swasta, tetapi juga ada sifat pendidikan kepada warga kurang mampu yang memperolehnya, sehingga tidak saja mereka menjadi lebih sejahtera karena mendapatkan listrik, tetapi mereka juga menjadi lebih pintar karena bijaksana dalam menggunakan listrik yang diperolehnya. Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan teknologi blockchain!
(Muhamad Reza)