Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wacana Geopolitik di Sekitar Perppu Ormas
25 Juli 2017 15:30 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari muhamadsalman ramdhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ruang hidup, negara dan interaksi adalah kata-kata kunci untuk memahami geopolitik. Sementara negara adalah subjek yang dihadapkan dengan realitas interaksi yang bersifat kausalitas dan resiprokal. Interaksi yang terbentuk dapat menciptakan keadaan yang bisa saling bertentangan karena kepentingannya tidak hanya diinginkan oleh satu negara saja.
ADVERTISEMENT
Kajiannya kemudian bisa dimulai dari studi kasus suatu negara atau negara-negara dalam kawasan seperti heartland (timur tengah) dan bagaimana hubungannya dengan kawasan lain seperti atlantik, asia timur, dan atau asia tenggara.
Kawasan timur tengah sendiri kini masih menjadi lahan perebutan kepentingan nasional berbagai negara semenjak perang dunia pertama dan kedua atau bahkan jauh sebelumnya. Sumber Daya Alam (SDA) seperti minyak dan gas yang melimpah di kawasan sana selalu menjadi salah satu faktor perseteruan utama.
Kerjasama dan koalisi antar negara penghasil dan pengguna SDA sendiri sering menimbulkan konflik yang cukup rumit. Polarisasi negara-negara antar kawasan terus berkembang sejak perang dunia; Dari blok barat dan blok timur, poros pan-Islamisme, negara-negara eks kolonial (asia timur dan tenggara) hingga poros Asia Utara (Rusia, Cina, Iran, Korea Utara) dan Atlantik Utara/Kapitalisme (Eropa dan Amerika).
ADVERTISEMENT
Bahkan kini multipolar dan sangat asimetris, situasi geopoltik/kawasan selalu berubah dengan sangat cepat dan cukup mengancam. Belum lagi ditambah dengan potensi-potensi kekuatan lintas negara yang dimiliki oleh lembaga dan gerakan transnasional seperti lembaga/perusahaan multinasional, ISIS, Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Hizbullah dan sebagainya yang selalu berkolaborasi dengan apik bersama negara-negara tertentu.
Dalam menghadapi dua poros besar yang ada Indonesia harus “bermain” cerdas. Apalagi melihat potensi gejolak besar di setiap kawasan yang sedang terjadi.
Contoh kawasan Laut Kuning yang berhubungan erat dengan kepentingan Jepang, Korea Selatan, dan AS juga Cina, Korea Utara dan Rusia. Belum lagi dengan upaya penyaluran gas alam di timur tengah dari Teluk Persia dan Selat Hormuz yang melewati Suriah dan dapat memanjang hingga Turki, Eropa, Asia Tengah bahkan Tenggara.
ADVERTISEMENT
Upaya distribusi SDA dan gejolak di kawasan sekitarnya tentu akan berdampak pada kawasan yang jauh. Contoh, konflik yang terus meningkat di Timur Tengah dan Laut Kuning yang pasti di masa depan akan segera berdampak ke Asia Tenggara yang diapit oleh Laut Natuna Utara dan Laut Andaman. Apalagi Indonesia sangat berkepentingan terhadap laut ini sebagai letak SDA dan jalur distribusi.
Keputusan Indonesia dalam mengubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara pun dapat menjadi pertimbangan bagi negara lain terutama Cina dalam memandang posisi Indonesia secara geopolitik dan strategi.
Hubungan bilateral Indonesia yang cenderung “dekat” dengan kekuatan Asia Utara juga bisa dibilang ancaman bagi kekuatan Atlantik Utara. Apalagi Indonesia memiliki sejarah sebagai motor penggerak gerakan non-blok yang terdiri dari negara-negara eks kolonial.
ADVERTISEMENT
Kita juga tentunya harus selalu ingat, tempo hari saat Indonesia ingin membentuk kekuatan baru di bumi bagian selatan, blok barat terlibat dalam upaya destabilisasi negara lewat operasi penggalangan pemberontakan para kolonel bersama tokoh-tokoh nasional dan lokal di Sumatera juga Sulawesi.
Menimbang perkembangan internasional yang mengarah pada konflik besar, stabilitas Negara Indonesia di kawasannya tentu mutlak harus terjadi. Apalagi pola konflik yang sedang digunakan dua kekuatan besar hari ini untuk menguasai suatu kawasan melalui metode peperangan proksi dan asimetris.
Pola peperangan ini sangat berbahaya, karena masyarakat dalam suatu negara secara tidak sadar akan dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan nasional negara lain dan merusak keutuhan negaranya sendiri. Pola ini sempat digunakan saat Perang Teluk, Perang Irak, hingga Arab Spring.
ADVERTISEMENT
Operator perang asimetris sering memanfaatkan pemahaman yang bertentangan dengan negara baik secara asas maupun kebijakan.
Perpu No. 2 tahun 2017 sendiri ditetapkan untuk kepentingan nasional Indonesia disebabkan ajaran-ajaran yang menghasilkan ekspresi fanatisme berlebihan, superioritas klaim kebenaran satu kelompok dan bertentangan dengan negara telah berkembang dengan pesat di masyarakat bahkan sampai ke lembaga pendidikan. Situasi juga makin diperburuk dengan fitnah-fitnah yang disebarkan lembaga-lembaga tertentu untuk membentuk opini publik anti pemerintahan.
Atas beberapa hal yang sudah dibahas di atas, Perpu No. 2 tahun 2017 dirasa sangat penting adanya karena situasi luar dan dalam negeri yang mengarah pada konflik besar.
Sudah tugas ormas untuk menjadi penopang negara dan pengawas kebijakan-kebijakannya agar tetap sesuai dengan misi geopolitik Indonesia yang termaktub pada UUD 1945:
ADVERTISEMENT
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...
Wallahu a’lam bish-shawabi, semoga menghasilkan banyak kritik dan saran.
Muhamad Salman Ramdhani, sekjen PB PII Periode 2015-2017, staf di Lembaga Kajian Strategis KOPI 58.