Konten dari Pengguna

Demokrasi Indonesia Terdegradasi Akibat Tindakan Represifitas Polri

Muhamad Sandri
Mahasiswa ITB Ahmad Dahlan Jakarta
15 September 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Sandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: hasil dokumentasi pada aksi demonstran mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2024
zoom-in-whitePerbesar
sumber: hasil dokumentasi pada aksi demonstran mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2024
ADVERTISEMENT
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang idealnya memberikan ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan pendapatnya. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia sering kali dihadapkan dengan dinamika yang kompleks, terutama ketika kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu pilar utama demokrasi berhadapan dengan tindakan represif aparat keamanan khususnya Polri. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai bagian dari upaya memperjuangkan hak-hak mereka sering kali berujung pada kekerasan. Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan kerap kali dianggap sebagai upaya membungkam suara kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat. Represifitas ini dapat dilihat dari berbagai insiden yang melibatkan penggunaan kekerasan fisik, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembatasan hak berkumpul dan berpendapat. Misalnya demonstrasi mahasiswa menolak Omnibus Law yang terjadi pada tahun 2020 dan juga baru beberapa minggu lalu demontasi mengawal Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan pola penanganan massa yang cenderung represif. Polisi menggunakan gas air mata, water cannon, dan melakukan penangkapan massal terhadap para demonstran. Tidak hanya mahasiswa masyarakat sipil yang ikut turun ke jalan juga menjadi korban dari tindakan represif ini. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai integritas dan komitmen Polri dalam menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap masyarakat dan mahasiswa dalam proses demokrasi juga menyiratkan adanya ketimpangan antara cita-cita demokrasi dan praktik di lapangan. Padahal demokrasi yang sehat seharusnya menyediakan ruang bagi rakyat untuk mengkritik kebijakan pemerintah tanpa ancaman kekerasan atau intimidasi. Namun yang terjadi Polri sebagai institusi yang seharusnya netral sering kali menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan status quo, dengan dalih menjaga ketertiban umum. Sayangnya tindakan-tindakan represif ini justru memperburuk citra institusi kepolisian di mata masyarakat, sehingga menggerus kepercayaan publik terhadap peran Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban yang adil. Di sisi lain mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang dianggap sebagai penggerak perubahan sosial sering kali menjadi sasaran utama tindakan represif aparat. Peran mahasiswa dalam sejarah Indonesia tidak dapat dipungkiri, terutama ketika berbicara tentang perubahan politik dan sosial yang signifikan. Namun ketika peran ini dilihat sebagai ancaman oleh pihak yang berkuasa, mahasiswa justru sering kali menghadapi intimidasi, baik fisik maupun psikologis. Represifitas terhadap mahasiswa dan masyarakat ini menimbulkan berbagai dampak, baik jangka pendek seperti cedera fisik hingga dampak jangka panjang berupa trauma psikologis dan apatisme politik.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini memperlihatkan adanya paradoks dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemerintah mengklaim mendukung demokrasi dan kebebasan berpendapat, namun di sisi lain aparat keamanan masih sering melakukan tindakan yang justru mengancam hak-hak demokratis tersebut. Oleh karena itu penting bagi kita untuk melihat lebih dalam mengenai masalah ini dan menemukan solusi yang dapat mengurangi represifitas Polri agar demokrasi dapat berjalan dengan lebih baik di masa depan.
sumber: hasil dokumentasi
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin sering terdengar berita mengenai tindakan represif Polri terhadap demonstran, baik mahasiswa maupun masyarakat umum. Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai hal biasa, karena tindakan represif aparat terhadap massa yang mengkritik kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia. Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya kebebasan berekspresi dan hak untuk mengkritik kebijakan publik tanpa rasa takut. Sayangnya tindakan-tindakan represif yang dilakukan Polri menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi di Indonesia. Secara ideal Polri merupakan institusi yang berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Dalam menjalankan tugasnya Polri seharusnya bersikap netral dan tidak memihak. Namun dalam praktiknya Polri kerap kali dianggap lebih berpihak pada kepentingan pemerintah, terutama dalam menangani aksi-aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Polri bukan lagi penjaga keamanan yang netral, melainkan alat kekuasaan yang digunakan untuk meredam suara-suara kritis terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan Polri sering kali menggunakan alasan "menjaga ketertiban umum" untuk membenarkan tindakan represifnya. Misalnya ketika demonstrasi besar-besaran terjadi pada tahun 2019 dan 2020 terkait penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang KPK dan Omnibus Law dan juga baru-baru ini demonstran dalam mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tindakan represif Polri terhadap para demonstran menjadi sorotan public nahkan sampai pada sosrotan media iternasional. Polisi menggunakan gas air mata, meriam air, dan bahkan menangkap demonstran secara sewenang-wenang. Padahal dalam konteks demokrasi, unjuk rasa damai merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Polri seharusnya memastikan bahwa demonstrasi dapat berlangsung dengan aman, bukan malah melakukan tindakan represif yang justru memperkeruh situasi.
Salah satu aspek paling mencolok dari represifitas Polri adalah penggunaan kekerasan fisik terhadap masyarakat sipil yang menyuarakan protes damai. Dalam beberapa kasus penggunaan kekerasan ini bahkan melampaui batas wajar, yang mengakibatkan cedera serius hingga kematian. Sebagai contoh dalam insiden demonstrasi di beberapa kota besar di Indonesia, banyak laporan mengenai demonstran yang mengalami kekerasan fisik oleh aparat keamanan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi justru berubah menjadi ajang kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Kekerasan fisik bukan satu-satunya bentuk represifitas yang dialami masyarakat. Represifitas juga dilakukan melalui cara-cara yang lebih halus, seperti penangkapan tanpa dasar yang jelas, penghilangan paksa, hingga intimidasi terhadap keluarga para demonstran. Cara-cara ini menunjukkan bahwa Polri sering kali melampaui batasan yang seharusnya ada dalam penegakan hukum di negara demokrasi. Bukannya menjadi pengayom Polri justru kerap kali menjadi pihak yang menekan kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya terhadap Masyarakat sipil, polisi juga melakukan Tindakan represifitas terhadap mahasiswa. Mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan politik di Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga Reformasi mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Namun peran ini sering kali dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah dan aparat keamanan. Polri dalam hal ini, sering kali menjadi garda depan dalam meredam aksi-aksi mahasiswa. Represifitas terhadap mahasiswa dapat dilihat dari berbagai insiden yang terjadi dalam demonstrasi-demonstrasi besar di Indonesia. Misalnya pada demonstrasi mahasiswa menolak Omnibus Law tahun 2020, banyak laporan mengenai penggunaan kekerasan oleh polisi mulai dari pemukulan, penembakan gas air mata, hingga penangkapan sewenang-wenang. Represifitas ini menimbulkan trauma fisik dan psikologis bagi para mahasiswa yang seharusnya bebas untuk menyampaikan pendapat mereka di ruang publik tanpa rasa takut. Selain itu tindakan represif ini juga menimbulkan apatisme di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mulai merasa bahwa menyuarakan pendapat melalui demonstrasi tidak lagi efektif, karena selalu berhadapan dengan kekerasan aparat. Hal ini tentu saja merugikan demokrasi karena mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga dinamika politik yang sehat.
sumber: hasil dokumentasi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tindakan represif Polri terhadap masyarakat dan mahasiswa. Pertama, adanya tekanan politik dari pihak pemerintah. Dalam banyak kasus Polri dituntut untuk menjaga stabilitas politik dengan cara apa pun, termasuk menggunakan kekerasan untuk meredam aksi protes. Hal ini membuat Polri sering kali berada di posisi yang sulit, antara menjaga ketertiban umum atau menghadapi risiko merusak citra demokrasi. Kedua, budaya kekerasan yang masih melekat di tubuh Polri. Kekerasan sering kali dianggap sebagai cara yang efektif untuk menekan potensi kerusuhan. Polri masih kerap menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani demonstrasi, yang berfokus pada penekanan kekuatan massa daripada dialog. Budaya ini diperkuat dengan minimnya integritas dan akuntabilitas atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Jarang sekali ada polisi yang dijatuhi sanksi serius atas tindak kekerasan terhadap demonstran. Ketiga, kurangnya pelatihan mengenai hak asasi manusia di kalangan aparat kepolisian. Banyak polisi yang belum memahami pentingnya menghormati hak-hak sipil masyarakat, terutama hak untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai. Pelatihan mengenai penanganan demonstrasi damai sering kali diabaikan, sehingga polisi lebih cenderung menggunakan pendekatan kekerasan dalam menghadapi demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Tindakan represif Polri tidak hanya berdampak pada para korban secara langsung, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan demokrasi di Indonesia. Pertama, kekerasan yang dilakukan oleh aparat dapat menimbulkan trauma yang mendalam dikalangan masyarakat, terutama mereka yang terlibat dalam demonstrasi. Trauma ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis di mana masyarakat menjadi takut untuk menyuarakan pendapat mereka dimasa mendatang. Kedua, tindakan represif Polri dapat menyebabkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dan pemerintah. Ketika aparat yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi-institusi negara. Hal ini sangat berbahaya bagi stabilitas politik jangka panjang, karena kepercayaan publik merupakan fondasi utama bagi berjalannya pemerintahan yang baik. Ketiga, represifitas Polri dapat memicu siklus kekerasan yang lebih besar. Ketika masyarakat merasa bahwa demonstrasi damai tidak lagi efektif, mereka mungkin akan beralih ke cara-cara yang lebih radikal dalam menyuarakan ketidakpuasan mereka. Hal ini dapat memperburuk situasi dan membuat konflik antara masyarakat dan aparat semakin sulit untuk diselesaikan secara damai.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah represifitas Polri, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, perlu adanya reformasi di tubuh Polri, terutama dalam hal penanganan demonstrasi. Polri harus dilatih untuk lebih mengedepankan dialog daripada kekerasan dalam menghadapi protes damai. Pendekatan yang lebih humanis perlu diterapkan agar hak-hak demokratis masyarakat dapat dihormati. Kedua, pemerintah harus memberikan arahan yang jelas kepada Polri bahwa tindakan represif terhadap demonstran tidak dapat dibenarkan dalam negara demokrasi. Polri harus diberi mandat untuk menjaga keamanan tanpa melanggar hak-hak konstitusional masyarakat. Ketiga, perlu ada peningkatan akuntabilitas di tubuh Polri. Setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat harus diselidiki secara transparan dan aparat yang terbukti bersalah harus diberikan sanksi yang tegas. Hal ini akan memberikan efek jera dan mencegah terulangnya tindakan represif dimasa mendatang. Keempat, pendidikan mengenai hak asasi manusia harus ditingkatkan dikalangan aparat kepolisian. Polri harus memahami bahwa menjaga ketertiban umum tidak berarti mengorbankan hak-hak dasar warga negara. Dengan memahami pentingnya hak asasi manusia, diharapkan Polri dapat lebih bijak dalam menangani demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Tindakan represif Polri terhadap masyarakat dan mahasiswa merupakan ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya Polri seharusnya bersikap netral dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat, bukan malah melakukan tindakan kekerasan yang justru merusak citra institusi tersebut. Reformasi di tubuh Polri serta peningkatan akuntabilitas dan pemahaman tentang hak asasi manusia sangat diperlukan agar Polri dapat berperan sebagai pengayom masyarakat yang sesungguhnya. Hanya dengan demikian, demokrasi di Indonesia dapat berkembang dengan baik tanpa harus diwarnai oleh tindakan represif aparat.