Konten dari Pengguna

Menjegal Demokrasi

Muhammad Abdul Aziz
Pengamat Politik di Negeri Wanokuni
3 Februari 2024 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
ADVERTISEMENT
Kontestasi politik dalam sebuah negara demokrasi merupakan suatu hal yang sakral dan menjadi penentu hidup matinya suatu negara. Sehingga kontestasi politik seringkali diidentikan dengan negara demokrasi. Namun sejatinya kontestasi politik hanyalah salah satu pilar yang menopang sebuah negara demokrasi. Masih terdapat pilar-pilar lain yang harus diperhatikan agar demokrasi suatu negara dapat berjalan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Sejarah demokrasi sendiri pertama kali diterapkan oleh salah satu kota atau polis di Yunani Kuno pada abad ke-6. Athena Cleisthenes menjadi tokoh yang memperkenalkan sistem reformasi politik tersebut. Seiring berkembangnya zaman sistem demokrasi kemudian menjadi sistem yang digemari oleh negara-negara di dunia, terutama paska Perang Dunia II. Indonesia sendiri telah menganut paham demokrasi sejak 14 November 1945 atau tidak berselang lama setelah pemerintahan terbentuk. Namun di usia yang sudah matang ini nampaknya indeks demokrasi di Indonesia belum kunjung membaik. Berdasarkan laporan Economist Intelligence Unit, Indonesia pada tahun 2022 masih dikategorikan kedalam flawed democracy (demokrasi terbatas) dengan skor 6,71. Jika dilihat dari sudut pandang lebih luas periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada periode kedua memiliki rata-rata indeks demokrasi sebesar 6,55 dalam kurun waktu 2019-2022. Hal tersebut lebih rendah dari rata-rata indeks demokrasi Indonesia pada periode pertama saat Presiden Joko Widodo menjabat, yakni dengan rata-rata sebesar 6,746 dalam kurun waktu 2014-2018.
ADVERTISEMENT
Penurunan rata-rata indeks demokrasi tersebut bukanlah tanpa sebab. Terdapat beberapa hal yang menjegal laju perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama setelah memasuki periode kedua masa jabatan Presiden Joko Widodo. Regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia dapat terlihat dari menurunnya beberapa faktor, pertama adalah kebebasan sipil dan kedua yakni hak politik. Selain itu terjegalnya laju demokrasi di Indonesia juga ada andil elit-elit politik itu sendiri. Namun, terdapat tiga hal utama yang menjegal laju demokrasi di Indonesia saat ini yaitu lemahnya supremasi hukum dan menyusutnya kebebasan sipil.
Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash
Supremasi Hukum
Setiap negara demokrasi harus menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi, mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah negara hukum yang menganut doktrin rule of law bukan rule by law. Rule of law adalah sebuah doktrin yang memandang bahwa tidak ada seorangpun yang berada diatas hukum, semua warga negara sampai penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Berbeda halnya dengan rule by law, doktrin ini memandang otoritas pemerintahan berada di atas hukum, dan mempunyai kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan hukum sesuai keinginan mereka.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua produk hukum yang sedang menjadi perbincangan masyarakat dalam Pemilu 2024 ini yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kedua produk tersebut seakan-akan didesain sebagai alat kekuasaan semata, persis dengan doktrin rule by law. Lantas dua produk hukum tersebut berdampak apa terhadap demokrasi di Indonesia?
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberikan kesempatan kepada pemuda yang belum berusia 40 tahun namun sudah menduduki jabatan publik yang dipilih melalui Pemilu untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden pada Pilpres 2024. Memberikan kesempatan kepada pemuda untuk memimpin negara bukanlah suatu hal yang buruk. Namun, putusan tersebut sekarang ini berpotensi memunculkan politik dinasti dalam pemerintahan negara Indonesia. Tidak ada hukum yang dilanggar ketika seorang pemuda mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi politik, namun akan menjadi tidak etis ketika seorang tersebut merupakan anak seorang presiden yang aktif menjabat.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi jika presiden yang sedang menjabat memilih untuk turut serta dalam kampanye dan menunjukkan keberpihakan terhadap anaknya dalam sebuah kontestasi politik dengan dalih dilindungi oleh undang-undang. Undang-Undang yang dimaksud adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam sebuah pemerintahan hendaknya penyelenggara negara tidak hanya berjalan dengan hukum, namun harus diimbangi juga oleh etika. Jimly Asshiddiqie mengibaratkan jika hukum adalah sebuah kapal, maka etika adalah lautnya. Hukum tidak akan dapat berjalan tanpa adanya sebuah etika.
Photo by Fajar Grinanda on Unsplash
Kebebasan Sipil
Berdasarkan data Freedom House, kebebasan sipil di Indonesia terus mengalami penurun pada periode kedua Presiden Joko Widodo. Kebebasan sipil Indonesia pada tahun 2018 ada di angka 64 dari angka maksimal 100, sedangkan di tahun 2023 angka kebebasan sipil yang diperoleh Indonesia ada pada angka 58 atau turun 6 poin dari akhir periode pertama presiden Joko Widodo. Namun penurunan tersebut sejatinya sudah dimulai pada akhir tahun 2016. Disahkannya UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE menjadi awal menurunnya kebebasan sipil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), selama periode 2016-2021 terdapat 307 orang yang dituntut dengan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Angka tertinggi orang yang dituntut dengan pasal UU ITE adalah 84 di tahun 2020 kemudian dibawahnya ada 83 orang di tahun 2016. Kebebasan sipil di Indonesia terus diperburuk dengan minimnya ruang diskusi dan represi pemerintah terhadap masyarakat yang ingin menyuarakan hak-haknya.
Menurut laporan Civicus berjudul “People Power Under Attack 2023” menempatkan kebebasan sipil di Indonesia dalam kategori “terhalang/obstructed” dengan skor 46/100 stagnan dalam 5 tahun terakhir. Masih sering terjadinya penangkapan, kriminalisasi, serangan fisik, baik secara langsung maupun digital, terhadap aktivis hak asasi manusia dan jurnalis. Serta penggunaan undang-undang pencemaran nama baik, khususnya UU ITE, untuk meredam perbedaan pendapat secara daring, kemudian masih adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian dalam menghadapi demonstrasi massa, dianggap oleh Civicus sebagai faktor penyebab stagnasi kebebasan sipil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam kontestasi politik tahun ini masih terlihat beberapa kelompok pendukung pasangan calon presiden atau wakil presiden yang menggunakan UU ITE untuk melaporkan pasangan calon lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebebasan sipil utamanya kebebasan berpendapat masih minim di Indonesia. Padahal kebebasan sipil merupakan salah satu pilar dalam sebuah negara demokrasi.
Laju perkembangan demokrasi di Indonesia sekarang ini dijegal oleh lemahnya supremasi hukum dan memburuknya kebebasan sipil di Indonesia. Regresi demokrasi yang terjadi hendaknya menjadi perhatian serius bagi pemangku kebijakan dan elit politik negara ini. Jika tidak ditangani dengan serius bukan tidak mungkin negara ini akan mengarah ke otoritarianisme. Gerakan sosial di masyarakat juga diperlukan untuk menekan pemerintahan agar demokrasi di negara ini menjadi lebih baik. Demokrasi Indonesia memang belum sempurna, tapi masih layak untuk kita sempurnakan.
ADVERTISEMENT