Mengenal Self Assessment System, Sistem Perpajakan di Indonesia

M Abdul Rahman
Konsultan Pajak - Financial Planner - CFP Holder - PhD Student
Konten dari Pengguna
11 Juli 2023 12:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Abdul Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, penetapan sistem perpajakan di setiap negara itu sangat berbeda-beda. Misalnya, di wilayah regional ASEAN sendiri antara Indonesia dengan Malaysia memiliki penerapan implementasi pajak yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Misalnya lagi antara Indonesia dengan Singapura pun demikian. Sehingga, apabila kita menemukan terdapat perbedaan tarif maupun implementasi praktik di dunia perpajakan yang ada di negara-negara lain, hal tersebut merupakan hal yang sangat lumrah terjadi.
Berbeda halnya dengan praktik akuntansi yang memiliki sistem yang dipersamakan, seperti penerapan standar IFRS (International Financial Reporting Standard) atau GAAP (Generally Accepted Accounting Principles) serentak di berbagai negara.
Standar Perpajakan di Indonesia dikenal dengan Self Assessment Systems, yang memiliki makna bahwa wajib pajak di Indonesia, dibebaskan untuk menghitung sendiri berapa pajak terutangnya, menyetorkan sendiri pajak terutangnya, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Penerapan sistem perpajakan ini, telah diatur dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang telah diubah terakhir sebagaimana pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
ADVERTISEMENT
Atas dasar dari aturan dan paparan pada poin yang telah saya jelaskan sebelumnya tersebut, sistem Perpajakan Indonesia, menurut pandangan saya merupakan penerapan sistem yang cukup fleksibel dari segi regulasi.
Betapa tidak? Wajib Pajak, diberikan hak eksklusif oleh Otoritas Perpajakan di Indonesia untuk mengatur sendiri berapa dan bagaimana kewajiban perpajakannya itu dilaksanakan. Sehingga, Wajib Pajak dengan leluasa dapat mengatur sendiri berapa Pajak yang semestinya harus disetorkan kepada negara.

Peran Masing-masing Pihak

Ilustrasi membayar pajak penghasilan. Foto: Shutter Stock
Dengan telah ditetapkannya penerapan standar perpajakan yang cukup fleksibel, hal ini tentu tidak serta merta membuat Wajib Pajak dengan sebebasnya membayarkan pajak yang tidak sesuai dengan nilai yang semestinya, atau bahkan dengan bebas tidak melaporkan kewajiban perpajakannya yang sudah menjadi kewajiban dari masing-masing Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Pajak mengatur bahwa, Wajib Pajak berhak mengatur sendiri besaran Pajak terutangnya, namun Otoritas Pajak memiliki hak sebagai pihak supervisi yang melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban Perpajakan dari masing-masing Wajib Pajak.
Dengan adanya peran tersebut, tentu pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban Perpajakan akan lebih efektif. Masing-masing pihak mengerti batasan terhadap kewajiban yang perlu dilaksanakan.
Saya ambil contoh.
Wajib Pajak A memiliki kewajiban pajak, misalnya, yang bersangkutan harus membayar pajak terutang sebesar Rp 100.000.000 ,- atas penghasilan yang diperolehnya. Namun, karena wajib pajak ini termasuk wajib pajak yang abai dan memiliki tingkat kesadaran yang memang rendah terhadap inisiatif pemenuhan kewajiban perpajakan, dia dengan sengaja tidak menyetorkan penuh pajak terutangnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini, tentu menjadi perhatian dan kewajiban bagi Fiskus untuk mengimbau dan menegur wajib pajak yang bersangkutan untuk membayar pajak sesuai dengan nilai yang seharusnya.
Dengan hal itu, Fiskus dalam hal ini petugas pajak yang mewakili institusi Direktorat Jenderal Pajak, memiliki kewajiban dalam mengingatkan dan mengimbau serta meneliti kewajiban perpajakan masing-masing wajib pajak. Sehingga, implementasi terhadap penerapan Self Assessment System dapat terlaksana dengan baik.

Konsekuensi dan Sanksi yang Berlaku

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Tentu, dengan penerapan self assessment system ini, Wajib Pajak dituntut untuk tertib meskipun diberikan keleluasaan dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Direktorat Jenderal Pajak, memiliki hak prerogatif untuk melakukan pengawasan secara full terhadap kewajiban perpajakan masing-masing Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Demi menegakkan keadilan terhadap pengawasan dan pemenuhan kewajiban perpajakan, pihak-pihak yang memiliki otoritas terhadap pengawasan sebut saja Presiden Republik Indonesia, Menteri Keuangan, dan Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri sebagai lembaga pemerintah berhak untuk membuat, merumuskan, dan menetapkan aturan-aturan terhadap kewajiban perpajakan. Hal ini, demi menciptakan ketertiban dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
Bagaimana apabila terjadi pelanggaran ?
Tentu saja, Direktorat Jenderal Pajak mewakili pemerintah sebagai regulator dalam hal perumus kebijakan memiliki hak untuk memberikan sanksi kepada Wajib Pajak. Sanksi maksimal dapat berupa pidana terhadap pelanggaran di tindak pidana perpajakan.
Namun, pengenaan sanksi berupa pidana ini adalah opsi terakhir bagi regulator kepada Wajib Pajak apabila pelanggaran yang timbul dinilai berat dan tentu saja merugikan negara di bidang perpajakan.
ADVERTISEMENT
Sebelum jatuh ke tindak pemberian sanksi, Direktorat Jenderal Pajak dapat menempuh langkah-langkah pengawasan ke level yang lebih ringan terlebih dahulu, misalnya seperti bentuk imbauan, peringatan, dan juga sanksi.
Hal ini dimaksudkan, agar Direktorat Jenderal Pajak memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk bersikap kooperatif dalam menyelesaikan segala permasalahan perpajakan yang masih timbul.
Hal ini, memperkuat posisi Direktorat Jenderal Pajak sebagai eksekutor dalam pemberian sanksi kepada Wajib Pajak, karena segala macam bentuk sanksi yang diberikan, memiliki kekuatan hukum tetap dan kuat, karena segala produk hukum yang dikeluarkan merupakan produk yang dikeluarkan dan diatur oleh peraturan yang berlaku.

Kesadaran Kedua Belah Pihak

Ilustrasi waktu untuk membayar pajak. Foto: Shutter Stock
Dengan jelasnya, peran antara kedua belah pihak, sudah semestinya masing-masing pihak sadar atas kewajiban yang timbul. Wajib Pajak patuh terhadap kewajiban pemenuhan perpajakan seperti menghitung, menyetor, dan membayarkan sendiri kewajiban perpajakannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan fiskus, memiliki tanggung jawab dalam hal pengawasan dan penelitian terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak serta berhak menegur maupun memberikan sanksi atas pelanggaran administrasi yang terjadi.
Patut kita sadari bahwa, penerimaan pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Fasilitas selama ini yang kita nikmati, pemeliharaan maupun pembaharuan layanan umum yang selama ini kita terima, berbagai macam subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat merupakan salah satu output yang kita terima atas penerimaan dari segi perpajakan.
Meskipun saya sadar betul, bahwa Otoritas Perpajakan sempat mengalami trust issue dari masyarakat, kewajiban perpajakan tetap kewajiban perpajakan.
Masih banyak, fiskus-fiskus di luar sana yang masih menegakkan prinsip dan menjunjung tinggi kredibilitas sebagai penyelenggara negara. Tanpa masyarakat pun, pajak tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik, alangkah baiknya apabila kita saling bahu membahu untuk memajukan negara sesuai dengan porsi yang telah diwajibkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.