Konten dari Pengguna

Delik Pers Coba Ranjau Jurnalis

Muhammad Adil
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
4 Oktober 2022 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Delik Pers, Made in Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Delik Pers, Made in Canva.com
ADVERTISEMENT
Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata delik? Secara umum delik dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar undang-undang tindak pidana. Dalam Asas-asas Hukum Pidana (2008) karya Moeljatno, dijelaskan bahwa delik adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum, larangan tersebut juga satu paket dengan ancaman pidana tertentu yang ditujukan untuk orang yang melanggar larangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia jurnalistik, dikenal juga yang namanya delik pers. Delik pers secara sederhana adalah semua pelanggaran atau tindak pidana yang di lakukan melalui media massa. Delik pers juga bisa diartkan sebagai semua tindak pidana dalam media massa yang mampu mendatangkan kerugian pada seseorang, masayarakat, pemerintah, atau negara.
Namun pers disini meliputi dua pengertian. Pertama, pers hanya mencakup lembaga pers. Sehingga menurut Loebby Loqman, delik pers merupakan sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh lembaga pers melalui alat cetak. Kedua, Van Hattum menilai sesuatu bisa dikatakan delik pers jika memiliki tiga unsur yaitu (i) harus menggunakan barang-barang cetakan (ii) berupa pernyataan pikiran atau perasaan seseorang (iii) publikasi dari suatu tulisan merupakan syarat mutlak untuk dapat menimbulkan suatu tindak pidana. Menurut Van Hattum delik pers tidak hanya bisa dilakukan oleh lembaga pers, oleh karena itu menurutnya delik pers bukanlah delik propria.
ADVERTISEMENT
Jika menarik garis waktu jauh ke belakang, sebenarnya delik pers sudah ada sejak semasa pemerintahan Kolonial Belanda. Pada waktu itu delik pers digunakan sebagai alat untuk melindungi warga, tak terkecuali juga kepentingan penguasa karena mengingat banyaknya pejuang kemerdekaan berusaha mengkritik pemerintah Kolonial Belanda melalui surat kabar.
Pada masa itu, pasal-pasal KUHP tentang haatzaai-artikelen menjadi sangat populer dikalangan para wartawan surat kabar karena sifat karetnya. Delik pers yang dikategorikan dalam pasal haatzaai-artikelen ini harus sebisa mungkin dapat dilentur-lenturkan agar bisa menjerat para intelektual yang berusaha mengkritik pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda demi kepentingan penguasa di negeri jajahannya.
Roh daripada kekuasaan Belanda itu masih kental sekali dirasakan jika kita membuka lagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama yang menyangkut delik pers ini. Banyak kemudian pasal-pasal yang mengatur pelanggaran terhadap personal (privat libel) maupun pelanggaran terhadap masyarakat, pejabat negara, atau negara itu sendiri (public libel).
ADVERTISEMENT
Sebut saja pasal yang terkait dengan public libel, “membocorkan rahasia negara” (Pasal 322 KUHP), “penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden” (Pasal 134), “menodai bendera lambang negara” (Pasal 154a KUHP), “penodaan terhadap agama” (Pasal 160 KUHP), dan beberapa pasal lainnya yang syarat akan kekolonialan.
Dalam dunia pers, dikenal dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan. Delik biasa merupakan tindak pidana yang muncul tanpa perlu adanya pengaduan terlebih dahulu. Pihak berwajib bisa mengambil langkah inisiatif tanpa menunggu adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Biasanya ini terjadi pada lembaga kepresidenan dan instansi negara atas dasar lembaga tersebut merupakan simbol negara dan selayaknya simbol negara, mereka harus juga dijaga harkat dan martabatnya. Dalam KUHP, pasal tentang penghinaan terhadap lembaga kepresidenan ini rancu karena karena tidak mendefinisikan secara rinci apa yang dimaksud dengan penghinaan dan seringkali terjadi penafsiran yang subjektif dalam menanggapi perkara hukum.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, delik aduan diartikan sebagai suatu tindak pidana yang muncul jika ada pihak yang dirugikan oleh pemberitaan, kemudian melakukan pengaduan. Selama pihak yang dirugikan tidak melakukan pengaduan, maka pers atau jurnalis tidak bisa digugat, dituntut, ataupun diadili. Ringkasnya delik aduan ini merupakan tindak pidana yang diproses berdasarkan aduan. Biasanya delik aduan digunakan oleh orang-orang yang selain daripada lembaga kepresidenan dan instansi pemerintah atau bisa kita sebut sebagai privat libel. Dalam KUHP, pasal-pasal yang tergolong ke dalam privat libel atau delik aduan ini diatur mulai dari Pasal 310 KUHP sampai Pasal 315 KUHP.
Sejatinya sekarang ini di Indonesia sudah ada regulasi khusus yang mengatur tentang aktivitas jurnalistik yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Namun banyak pendapat disini yang mempertanyakan apakah UU Pers ini sudah cukup mampu meng-cover seluruh kebutuhan penyelesaian masalah dalam dunia pers? Apakah UU Pers ini merupakan lex specialis?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu masih diperdebatkan sampai sekarang. Ada yang berpendapat bahwa UU Pers merupakan lex specialis karena sudah memenuhi kualifikasi. Ada juga yang berpendapat bahwa bukan lex specialis karena dalam aplikasinya, UU Pers demi untuk menegakkan keadilan memerlukan dimensi hukum lain untuk menyelesaikan perkara yang muncul. Saya kira perlu penegasan kembali menyoal tentang delik pers ini, karena buktinya dilapangan banyak pasal-pasal yang menjadi ‘ranjau” bagi jurnalis dalam memberitakan suatu peristiwa.
Muhammad Adil, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas