Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Jurnalis dalam Rengkuhan Suap: Sekali Dayung Dua Tiga Amplop Dikantongi
7 Mei 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Adil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dewasa ini, ketika era digitalisasi semakin terasa nyata, dahaga masyarakat terhadap informasi dan berita kian tak terbendung. Seolah sehari tanpa berita berarti ketinggalan banyak hal penting. Hal ini wajar, mengingat dalam era Revolusi Industri 4.0, informasi telah menjadi "hidangan logika" masyarakat setiap hari.
ADVERTISEMENT
Tidak terkecuali bagi seorang jurnalis, yang tugas utamanya adalah memproduksi dan menyampaikan berita. Sebagai bagian dari pilar negara demokrasi, jurnalis memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika istilah watchdog disematkan kepada profesi jurnalis atau pers secara umum.
Secara ideal, jurnalis harus bersikap independen dan bebas dari intervensi pihak mana pun dalam menjalankan profesinya. Namun kenyataannya, tidak jarang jurnalis bersentuhan dengan praktik suap yang justru dilakukan oleh narasumber mereka. Ironisnya, praktik tidak etis ini kerap dianggap wajar oleh sebagian jurnalis.
Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan praktik suap—yang lebih dikenal dengan istilah fenomena amplop—masih mengakar dan membudaya dalam dunia pers Indonesia?
Jika ditelaah lebih dalam, terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi tetap lestarinya budaya amplop di kalangan jurnalis. Salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, Dewan Pers, maupun perusahaan media yang kerap kali keliru atau ambigu. Para pembuat kebijakan dinilai belum berhasil menciptakan regulasi yang kuat untuk mengantisipasi maupun menindak praktik tercela ini.
ADVERTISEMENT
Dari sisi jurnalis, sebagian menganggap amplop sebagai tambahan penghasilan, terutama karena tingkat kesejahteraan wartawan di Indonesia masih tergolong rendah. Mereka bahkan beranggapan bahwa rezeki tidak boleh ditolak. Di sisi lain, ada pula jurnalis yang meyakini bahwa praktik amplop adalah pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang dirancang oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam Kode Etik Jurnalistik, fenomena amplop jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada. Pasal 6 menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Pelanggaran terhadap kode etik ini juga berarti melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mewajibkan jurnalis untuk mematuhi kode etik tersebut.
Kode Etik Jurnalistik dirancang sebagai fondasi untuk menciptakan lingkungan pers yang sehat dan profesional. Setiap jurnalis diwajibkan untuk menjadikan kode etik ini sebagai pedoman kerja. Dewan Kehormatan Pers pun turut bertugas mengawasi penerapannya di lapangan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana peraturan lainnya, pelanggaran terhadap kode etik membawa konsekuensi. Sanksi yang dikenakan bisa berupa teguran moral hingga pemecatan dari organisasi atau perusahaan media tempat jurnalis tersebut bekerja.
Namun, jika meninjau kembali fenomena amplop, tampak bahwa implementasi Kode Etik Jurnalistik belum berjalan efektif. Kode etik sering kali hanya menjadi formalitas, bahkan dianggap sekadar pelengkap administrasi belaka. Esensi dan tujuan pembentukan kode etik tampaknya belum tercapai, yang bisa jadi disebabkan oleh lemahnya pengawasan dari Dewan Pers serta rendahnya kesadaran etis jurnalis itu sendiri.
Alasan utamanya sederhana: amplop dapat memengaruhi isi dan keberimbangan berita. Meskipun narasumber sering mengklaim bahwa pemberian amplop sekadar bentuk silaturahmi, tidak jarang ada maksud terselubung di baliknya. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang mencederai objektivitas pemberitaan.
ADVERTISEMENT
Di sinilah profesionalisme dan integritas jurnalis diuji. Sebagai salah satu pilar demokrasi, jurnalis harus menjunjung tinggi nilai-nilai etis dan senantiasa memperbaiki kualitas dirinya sebagai penyampai kebenaran.
Memang, tugas jurnalis sebagai pengemban democratic duty bukanlah hal ringan. Namun, di atas semua itu, tantangan terberat adalah menaklukkan ego dan menahan diri dari godaan materi.
Jika praktik suap sudah dianggap wajar oleh kalangan jurnalis, maka harapan akan hadirnya media yang bersih dan independen di Indonesia masih menjadi tanda tanya besar. Reformasi etika, pengawasan ketat, serta peningkatan kesejahteraan jurnalis menjadi langkah penting untuk menjawab tantangan ini.
Muhammad Adil
Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas