Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
[ROADTRIP NGAPA ROADTRIP!!!] Bagian III- Filosofi Tukang Cukur dan Hijrahnya Warga Jakarta
14 Februari 2018 5:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari muhammad adinegoro natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini tepat tanggal 8 Februari 2018, kurang dari 24 jam saya akan menjadi bagian dari roadtrip tersabi abad ini. Tahu apa yang saya lakukan? Planning soal apa-apa yang harus dilakukan dan dibawa. Tapi ngga ada yang dikerjain, dipikirin doang kebiasaan. Setelah jengah dengan kemalasan diri sendiri, saya memutuskan untuk memotong rambut yang sudah gondrong dikarenakan ingin terlihat lebih enak di foto-foto nanti hehehe.
ADVERTISEMENT
Setelah tekad dibulatkan, saya langsung bersiap menuju tempat pangkas rambut andalan saya di daerah Pekayon Bekasi Selatan, jelas jarak dari Bekasi Timur menuju ke sana tidak dekat tapi hasil yang mereka buat akan membayar perjalanan jauh saya. Setidaknya itulah idealisme saya, ketika itu. Di saat saya ingin memesan ojek online, Ibu tiba-tiba bilang mau ikut, alasannya sih bosen di rumah. Saya langsung memperingatkan kalau motong rambut di sana bakal lama, nanti takutnya Ibu malah pegal nunggu dan bete, bukannya bosen ilang malah pening hadir. Tapi Ibu memberikan sinyal kalau omongan saya tidak laku dibeli, dia malah menyuruh memesan taksi online biar bisa ikut, okay keras kepala saya sudah jelas dihibahkan oleh siapa. Love you, Bu.
ADVERTISEMENT
Serunya lagi ketika saya mau keluar dan menaiki mobil yang sudah dipesan tersebut, Om saya datang silaturahmi. Kemudian tanpa dinyana, Ibu saya mengajak Om saya untuk ikut “jalan-jalan” bareng ke Pekayon. Okay ini potong rambut berasa lagi dianter perpisahan SD, sedap. Karena saya juga sudah bingung kudu ngomong apa, yaudah kita bertiga eh berempat dengan supir melaju dengan kecepatan legal ke Pekayon untuk menuntaskan misi yang harusnya purna dari pagi ini.
Sesampainya di sana, ternyata yang nyukur lagi istirahat, terlihat langganan yang biasa menggarap kepala saya lagi makan mie ayam sambil nyengir memberi isyarat untuk beri dia waktu sesaat untuk kenyang. Saya sambut pintanya dan beranjak untuk solat maghrib bareng Ibu dan Om di masjid yang tidak jauh dari lokasi penebangan rambut. Setelah solat langsung saja saya kembali menagih janji, ternyata langganan saya sedang asyik bersama pelanggan lainnya. Saya hancur. Tapi jijik gajadi deh, harap saya kemudian disambut oleh pemangkas lain yang langsung mempersilahkan saya duduk di kursi panas, karena ACnya mati.
ADVERTISEMENT
“Dianter bokap nyokap?” Tukasnya sambil melebarkan kain penutup di sekitar leher dan badan saya.
“Ngga, Ibu sama Om itu, pengen jalan-jalan katanya” Jawab saya santai.
“Lu orang Bali?” Tanyanya dengan menatap mata saya melalui cermin, dramatis.
“Bukan, kenapa?” Saya mulai merasa aneh.
“Kok lu make poleng? Ada semacam tradisi gitu?” Masih dramatis.
“Oalaahh, sarung tinggal ini di rumah gua pake aja” Iya saya make sarung buat motong rambut.
Kemudian saya baru tahu kalau orang ini adalah orang Bali asli, makanya dia nanya kenapa saya pakai sarung khas Pulau Dewata tersebut. Pemangkas ini terlihat kaku pada awal percakapan kami. Kekakuan ini perlahan hilang seperti kanebo kering yang disiram air. Fleksibel dan bleber kemana-mana. Dari obrolan mengenai budaya anak filsafat di kampus dengan trend jadi ekstrim Atheis, Liberal, atau Komunis mendadak (semoga sih tindakannya berdasar, kalo iya gapapa dah sabi lanjutkan, kalo latah jangan, kasian elunya) sampai apa jenis penumbuh kumis-jenggot yang terjangkau bagi saya pekerja lepas.
ADVERTISEMENT
“Gua pengen banget kuliah psikologi Bang” Sahutnya sambil memangkas rambut.
“Oh ya? Kenapa psikologi?” Tanya saya penasaran.
“Gua gak mau cuma mangkas rambut, kalo ada orang dateng ke sini dengan masalahnya, gua mau pangkas itu juga!” Jawabnya dengan antusias.
“Manteb!” Jawab saya dengan acungan jempol yang tertutup kain.
“Lo di filsafat udah pernah diajarin soal filosofi tukang cukur?”
“Belom, lo ajarin gua lah! Kan lo tukang cukur” Pinta saya.
“Gini Bang,” Tiba-tiba aura pemangkas ini berubah, begitu kuat, magis. Ohiya teruntuk pemeluk agama apapun yang membaca ini, saya ingatkan ini adalah analogi bebas seorang tukang cukur yang bagi saya begitu sederhana namun begitu kuat, dihimbau untuk open minded yaw.
ADVERTISEMENT
“Tukang cukur itu Bang, gua andaikan sebagai Tuhan. Lo sebagai pelanggan adalah pendosa yang udah ngga kuat lagi berlumuran dosa” Jawabnya dengan santai.
“Sabi juga, coba jelasin lebih spesifik.” Lagak saya seperti dosen penguji.
“Gini Bang, rambut lo sekarang gondrong. Itu manifestasi dosa yang lo tumbuhin setiap hari. Lo biasa aja, lo ngerasa lo keren dengan dosa-dosa yang ngelekat di tubuh lo. Sampe akhirnya lo sesek, lo pengap, lo repot sendiri sama itu dosa. Akhirnya lo inget gua, barbershop ini adalah rumah ibadah yang lo sambangi buat melepas dosa. Posisi gua? Adalah penghapus dosa, penerima tobat lo dan akhirnya ngebuat lo suci lagi dari dosa-dosa. Ngebuat lo merasa bersih, merasa pantes ada di sekitar orang-orang yang lo sayang lagi.”
ADVERTISEMENT
Saya terhenyak, omongannya santai tapi seperti menampar saya, mengingatkan kebiasaan saya sebagai orang yang ngaku beragama dan berTuhan. Tapi kurang adab, atau malah tak punya. Sebelum saya bisa jawab, dia menimpal kembali.
“Setelah mereka setidaknya merasa dirinya sudah bersih, mereka pergi, entah ke mana. Terserah, yang pasti gua akan selalu di sini, siap menerima tobat mereka, menghapus dosa mereka, ketika mereka kembali dengan keadaan kacau dan berantakan.”
“Jago lu, Bang.” Cuma itu yang bisa saya sampaikan ke dirinya.
“Pesen gua nih Bang, silahkan pergi sejauh mungkin, bebas. Tapi pas lo ngerasa udah waktunya buat kembali, lo udah ngerasa kotor dan ngga kuat sama keadaan lo. Gua di sini, gua bawa lo jadi fitri lagi. Abis itu lo mau bikin dosa lagi terserah, rumah ibadah ini selalu terbuka buat para pendosa.” Tutupnya sambil membuka kain penutup yang dari tadi menempel di tubuh saya.
ADVERTISEMENT
Omongan ringan yang sungguh berat, mengingatkan saya terutama sebagai pendosa. Tuhan selalu ada, manusianya aja yang suka merasa bisa, merasa mampu. Sampai akhirnya kita rasa diri habis, baru menangis, meminta bersih. Ketika membayar saya tanya namanya, dia jawab dengan mantap.
“Nama gua, Ketut. Asli Bali kan? Hahaha.” Jawabnya jenaka.
“Siap, gua Adi ya, Bang.” Setelah itu kami bersalaman, bukan lagi sebagai pelanggan dan penjual jasa. Tetapi sebagai saudara yang saling bagi rasa dalam bahasa.
Ibu berkomentar dengan positif, ya bagus dong ngga ngaco berarti motongnya. Langsung kita pesan taksi online menuju rumah karena saya baru sadar, saya belom pack barang sementara waktu udah nunjukin pukul 23.00 WIB. Kamu memang hebat Adinegoro!
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah saya langsung pack dengan kalut. Takut-takut ada yang tertinggal dan akhirnya menyesal selama perjalanan. Berbagai hal mulai saya masukkan, dari pakaian, kaos kasual, sampai suplemen untuk menunjang aktifitas yang akan saya lalui nanti.
Ibu terus mengingatkan barang-barang vital yang harus sudah ada di dalam tas. Saya baru sadar ternyata bawaan saya banyak sekali, ada perasaan kalau barang yang saya bawa ini akan mubazir dan membuat saya ngos selama tiga hari kedepan. Tapi juga namanya orang jaga-jaga. Mendingan kelebihan daripada kekurangan, tapi ungkapan ini situasional hehehe.
Setelah dirasa cukup, cukup kebanyakan lebih tepatnya, saya langsung mencoba untuk tidur karena jam dua dinihari saya harus bersiap untuk berangkat karena kami diminta oleh Winda untuk berada di Terminal 1C Bandara Soetta tepat pada pukul 04.00 WIB. Waktu menunjukkan pukul 00.15 WIB, kantuk menyelimuti saya yang penuh dengan harap dan bayangan akan tiga hari kedepan, saya terlelap.
ADVERTISEMENT
Persis pukul 02.00 WIB saya dibangunkan oleh Kakak dan diminta untuk segera bersiap karena paling lama jam tiga sudah harus cus meluncur ke bandara. Setelah saya mandi dan makan sarapan yang terlalu pagi itu, pamitlah saya kepada seluruh keluarga. Taksi online yang sebelumnya dibuat gratis oleh Winda sudah menunggu di depan rumah. Leaving on the jet plane mulai bermain di kepala saya, sampai tiba-tiba kusut ketika saya lihat ada bangkai tikus di sisi pintu yang hendak saya buka, begitu dekat, begitu jelas. Saya benci tikus, ada hal yang terjadi ketika saya SD dan berefek sampai sekarang. Sialnya, saya langsung mengasosiasikan fenomena ini dengan berbagai kemungkinan yang kebanyakan saya buat-buat. Duh ada pertanda apa ini? Setidaknya itu yang saya rasakan saat itu. Saya seperti junjungan saya Don Vito Corleone, percaya akan takhayul, terutama yang menguntungkan buat kita pribadi hahahaha, tipikal.
ADVERTISEMENT
Saya coba untuk tidak menghiraukan apa yang baru saja saya lihat dan berfikir secara positif. Untungnya begitu saya masuk, supir yang akan membawa saya sampai Cengkareng mirip persis dengan penyanyi dangdut rock, Agung Herkules. Setidaknya saya bisa membanyangkan dia menyanyikan “Astuti” dengan barbelnya untuk menenangkan pikiran saya dari su’udhon pada semesta. Tapi ketenangan saya tidak bertahan lama, abang satu ini lupa ngisi E-Toll dan akhirnya membuat saya kebelet mau jadi amuba aja.
Di tengah perjalanan dia bilang kalau E-Toll yang dia punya sudah habis, dan begitu pula dengan E-Toll yang saya punya. Asik ya? Namun, dia mencoba untuk solutif.
“Mas, udah tenang, kita lewat bawah, Halim lurus terus, amaann!”
ADVERTISEMENT
“Yaudeh yang cepet aja Bang, saya kudu sampe sana jam empat”
“Siappp!”
Selama perjalana kita banyak habiskan dengan sunyi yang canggung. Di sini saya posisinya takut terlambat dan kemudian ditinggal jadi yaudah ngobrol jadi hal yang terlalu mewah untuk dilakukan saat itu. Telepon berdering, Ayah saya menelepon.
“Lah kok gak masuk toll kamu?” Tanyanya sedikit berteriak, kalo penasaran gimana Ayah bisa tahu, sekeluarga make aplikasi GPS yang bebas bisa diakses kapanpun kita mau, gabisa nakal lagi nih. sebel.
“Nganu, E-Toll aku sama abangnya abis” Jawab saya hati-hati.
“Duh nanti kalo telat gimana?” Nah itu dia gimana ya?
“Iya ini jalanan kosong kok, tenang aja”
ADVERTISEMENT
Setelah saya mengucap salam, telepon diputus, saya mendengus. Abang “Agung Herkules” membaca dengan sempurna gestur yang saya berikan. Dia mengegas mobilnya dengan begitu penuh hasrat. Saya takut tapi enak hehehe. Yasudah semoga aman sampai di tujuan. Benar saja, 30 menit saya sudah sampai di sana, Terminal 1C Bandara Soetta.
Begitu turun saya bilang pakai kode promo, diapun mengiyakan dan berlalu, tanpa barbel. Saya coba cek grup obrolan peserta, mereka menunjukkan berada di dekat tangga. Lambok laporan kalo dia lagi tiduran di sana, sedap. Muka-muka yang familiar mulai bermunculan. Diantaranya ada Ipang yang sudah dengan kameranya siap untuk menjepret atau merekam apapun yang terlihat menarik, Ari Ulan yang terlihat cengar-cengir seperti penuh dengan tenaga membuatnya sangat kontras dengan peserta lainnya yang sudah mabuk ingin kembali lelap, Sigit yang kata pembukaannya menyebalkan,
ADVERTISEMENT
“Lah lu potong rambut? Bagusan kemarenlah yang kayak Benyamin!”
ELAH KAN UDAH MOTONG GUA WOY!
Yaudahlah gapapa, entar juga bikin “dosa” lagi saya hehehe. Ada Ajeng yang menunjukkan gaya seorang traveller sejati dengan backpacknya, ada Chandra dan Melvhin yang matanya satu frekuensi, naik turun menahan kantuk. Kemudian ada Haitsam, yang datang dengan membawa secangkir surga yang dirindukan, kopi.
Kita berebutan ingin menjajal kehangatan yang sungguh aduhai itu, dan akhirnya dia minta gelas itu untuk diputar biar semuanya ngerasain, lovyu Sam. Setelah seteguk saya nikmati, Sam mengkomentari apa yang baru saja ia beli,
“Elah nyesel gua, masak itu kopi segelas ampe Rp 11.000,-“
Kami serombongan saling liat-liatan, kemudian pecah dalam tawa yang akhirnya membuat kami terbangun di pagi buta. Sam kesal karena kalo di tempatnya, dengan harga sama bisa dapat tiga gelas kopi plus camilan. Hahahaha yaudah pengalaman namanya juga, lemesin aja udah.
ADVERTISEMENT
Di tengah tawa yang lemah itu Winda muncul, dengan tampilannya yang begitu representatif sebagai panitia profesional dari Kumparan. Sementara kami terlihat seperti turis yang salah ambil brosur ketika di biro travel.
“Okay semua sudah ada ya?” Tanya Winda.
“Tuh satu lagi, si Aris” Jawab salah seorang peserta.
Ini dia sosok Aris yang sempat tidak hadir ketika pengarahan akbar di kantor Kumparan tempo hari. Badannya kecil, terlihat tidak terlalu antusias, sekilas mirip Kang Epy Kusnandar ketika muda, aura “tidak asik” yang ia gelorakan adalah bentuk capek saja, karena ketika sudah mengikuti rangkaian acara dari roadtrip ini saya tahu betul seberapa gila manusia satu ini.
Panitia mengarahkan kita untuk mengeluarkan identitas diri yang kita punya untuk keperluan tiket pesawat. Semua terlihat mengikuti dengan seksama arahan tersebut, namun ada yang berbeda. Ipang menggunakan SIM alih-alih KTP, hal ini dikarenakan E-KTP yang harusnya sudah ia miliki sejak lama belum hadir juga, terimakasih "Papa".
ADVERTISEMENT
Singkat cerita masuklah kami ke dalam Bandara. Terakhir saya masuk ke dalam bandara untuk terbang adalah tujuh tahun yang lalu, 2011. Saya masih SMA dan sedang mengikuti program South East Asia Youth Leadership Program yang diadakan oleh U.S. Department of State menuju Chicago dan Washington D.C. Niatnya mau cari purnama kayak Rangga, tapi saat itu AADC 2 belom ada, sulit.
Sambil agak nostalgia, saya celingukan kayak orang bingung. Jam segini udah banyak aja orang berangkat naik pesawat. Canggih punya. Kami semua akhirnya merebahkan punggung di tembok terdekat. Kami semua senasib, kurang tidur dan kurang pacaran. Yang terakhir saya doang kayaknya. Setelah kita masuk ke dalam gerbang penerbangan, kita harus menunggu sampai dipersilahkan masuk, ada jeda sekitar 15 menit sebelum masuk, beberapa memilih duduk dan yang lainnya ke WC. Saya memilih melihat keadaan di sekitar gerbang saya akan naik.
ADVERTISEMENT
Nomor keberangkatan kami menuju Surabaya sudah digaungkan, kami semua bersiap untuk naik dan memulai perjalanan sabi ini. Saya pikir lewat “belalai gajah” yang langsung menghubungkan pesawat dengan gerbang keberangkatan, saya salah. Kami harus turun ke bawah menuju landasan dan naik menggunakan tangga yang menempel di sisi pesawat.
ASOY SEUMUR HIDUP BARU NGINJEK LANDASAN PESAWAT!
Pengalaman yang menyenangkan hahaha, iya saya norak maafin ya bocah kampung asal Bekasi ini. Saya nyalakan Gopro saya untuk merekam apa-apa yang saya lihat dan kemudian bisa saya bagikan kepada yang ingin melihatnya. Cuaca masih gelap, subuh lebih tepatnya. Ketika menaiki tangga saya disambut oleh pramugari yang cantiknya melebihi saya, iyalah. Ketika ingin menunjukkan tiket, semesta setim dengan saya, tiket saya diterbangkan angin dan jatuh di dekat kami berdiri, kami pun mengambil tiket itu bersama disertai dengan senyuman, yeehaawww!
ADVERTISEMENT
Sambil celingukan, saya menemukan ternyata saya duduk bersama Sigit yang sudah komplit dengan kacamata hitamnya. Setelah duduk saya tayyamum dan mengambil sikap untuk solat karena tidak sempat subuh di bandara, mumpung belom take off. Setelah merapal doa yang biasa dibaca, saya dan Sigit mulai ber-video-ria macam vlogger yang lagi bikin konten. Di sinilah awalnya saya dibilang mirip Vicky Prasetyo. Terimakasih kepada kombinasi potongan rambut, kaos v-neck, dan kalung karang yang membuat saya menjadi KW Thailand Vicky Prasetyo. Terutama anda Sigit sebagai inisiator, terimakasih. Huft.
Ketika persiapan terbang, saya dan sigit berebut mengambil view di jendela karena matahari sedang genit mengintip di cakrawala, kami berlomba untuk bisa mengambil wajahnya yang tersenyum pada bumi. Pesawat pun lepas landas, saya panik, sudah lama tidak naik pesawat dan sempat teringat potongan film “Final Destination” (2000) yang menunjukkan sebuah pesawat meledak ketika terbang. Nauzubillah.
ADVERTISEMENT
Lampu peringatan sabuk pengaman telah mati, sudah bisa untuk setidaknya bernafas lega. Ada beberapa hiburan di pesawat, salah satunya adalah film. Akhirnya saya menyuguhkan diri dengan menonton “Dawn of The Planets of The Apes” (2014) dikarenakan saya gagal menonton akhir dari film ini beberapa tahun yang lalu. Bagi saya ini film horror, menakutkan.
Saya dan sigit merasa tidak kantuk, dan sesekali mengobrol. Saya keluarkan ponsel saya yang sudah dimatikan fungsi komunikasinya. Saya menonton berbagai liputan mengenai nasi Tempong yang sudah saya unduh malam sebelumnya, sepenasaran itu saya untuk bisa mencoba kelezatan khas Jawa Timur yang tiada bandingan katanya. Sigit ngetawain saya, katanya udah kayak apa tau nontonin orang masak pagi-pagi. Iya juga, ngapain bosque?
ADVERTISEMENT
Pilot memberitahukan kalau pesawat akan mendarat 15 menit lagi, segala macam hiburan yang tadinya dinikmati sontak dimatikan. Saya dan Sigit mengakui hal yang sama di waktu yang salah. Kami baru merasa kantuk ketika sudah mau mendarat. Menyebalkan.
Sebentar lagi kami akan menjejak kaki di Tanah Pahlawan, Surabaya. Saya begitu bersemangat dan takut di waktu yang sama. Tapi satu hal yang pasti, kami sudah di sini. Mari nikmati.