Konten dari Pengguna

Pilar OECD: Kunci Sukses Penerapan PPH PMSE yang Efektif di Indonesia

Muhammad Adnan Nurcahyo
Seorang mahasiswa di Politeknik Keuangan Negara STAN
21 Januari 2025 15:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adnan Nurcahyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pajak (sumber : freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak (sumber : freepik.com)
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian digital Indonesia berkembang dengan pesat. Pada tahun 2021, industri digital sendiri sudah menyumbang sekitar 6,12% terhadap PDB Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, transaksi digital pun telah menjalar ke berbagai sektor di seluruh belahan dunia. Hal ini menyebabkan diperlukan adanya perubahan dalam proses pemajakan. Hingga saat ini, khususnya di Indonesia, kehadiran fisik merupakan salah satu kunci penting bagi suatu entitas agar dapat dikenakan pajak. Padahal, sudah banyak perusahaan ataupun subjek pajak luar negeri yang mendapatkan penghasilan di Indonesia tanpa adanya kehadiran fisik. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dijelaskan bahwa suatu subjek pajak luar negeri dapat menjadi Bentuk Usaha Tetap (BUT) apabila memiliki suatu tempat usaha baik itu berupa tanah dan gedung yang berkedudukan di Indonesia. Lalu bagaimana apabila perusahaan luar negeri tersebut melakukan kegiatan perekonomian di Indonesia tanpa adanya kehadiran fisik? Bukankah hal tersebut mengindikasikan bahwa entitas tersebut mendapatkan keuntungan di Indonesia tanpa melaksanakan kewajiban perpajakan?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kondisi seperti ini sudah terjadi pada beberapa perusahaan luar negeri seperti Netflix. Kasus seperti Netflix menunjukkan celah dalam sistem perpajakan yang mengandalkan kehadiran fisik sebagai dasar pengenaan pajak. Netflix tidak memiliki tanah, gedung, ataupun kantor di Indonesia sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Akibatnya, meskipun Netflix memperoleh keuntungan besar dari masyarakat Indonesia melalui layanan digital, mereka tidak dapat dikenakan pajak berdasarkan aturan yang ada. Hal ini menekankan perlunya ada perubahan regulasi yang lebih relevan dengan ekonomi digital. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas bagaimana pilar OECD, sebagai kerangka baru perpajakan internasional, dapat menjadi solusi atas tantangan perpajakan di era ekonomi digital.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pemerintah menanggapi hal tersebut?
Merespons hal tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan PERPU Nomor 1 Tahun 2020 yang membahas perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PMSE merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Melalui peraturan tersebut, perusahaan yang memasarkan layanan digital seperti Netflix akan termasuk ke dalam pelaku PMSE yang nantinya akan dikenai pajak. Terdapat dua pajak yang dikenakan dalam PMSE yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa PPN dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean melalui PMSE. Kemudian dijelaskan bahwa PPh dikenakan atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Dalam hal ini subjek pajak luar negeri dapat berupa pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri. Dengan adanya peraturan ini, kehadiran fisik yang awalnya menjadi syarat utama dalam pengenaan pajak terhadap suatu entitas dapat diubah menjadi kehadiran ekonomi yang signifikan. Namun, tak layaknya PPN PMSE, PPh PMSE belum diterapkan hingga saat ini meskipun sudah ada payung hukum yang menaunginya. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan PPh PMSE direncanakan mengikuti dua pilar perpajakan internasional yaitu Pilar 1 dan 2 OECD
ADVERTISEMENT
Apa itu Pilar 1 dan Pilar 2 OECD?
Pilar 1 dan 2 OECD merupakan inti dari pemajakan ekonomi digital untuk seluruh sektor perusahaan multinasional yang muncul karena adanya celah penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional akibat dari digitalisasi ekonomi. Pilar OECD ini hadir untuk memperbarui elemen-elemen utama sistem pajak internasional yang tidak lagi relevan dengan ekonomi global dan digital. Pilar 1 dan 2 ini dihasilkan dari pembahasan antara OECD, pimpinan negara G-20, dan negara anggota OECD/G-20. Pilar 1 OECD yaitu Unified Approach berupaya untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak dalam ekonomi digital. Kehadiran Pilar 1 ini akan mengubah sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik. Selain itu, terdapat threshold peredaran bruto global terhadap perusahaan multinasional di atas EUR20 miliar. Pilar ini juga akan mencakup proses penyelesaian sengketa untuk meningkatkan kepastian pajak bagi perusahaan. Disisi lain, Pilar 2 bertujuan untuk melindungi basis pajak dan mengurangi kompetisi pajak dengan menetapkan tarif pajak PPh badan minimum secara global.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Pilar OECD dapat menjadi solusi bagi PPH PMSE?
Nantinya Pilar 1 OECD akan menargetkan pengenaan pajak terhadap Multinational Enterprises (MNE) yang beroperasi di Indonesia. MNE yang akan dikenakan adalah perusahaan-perusahaan dengan aktivitas ekonomi dan profit yang besar serta bergerak secara digital dalam memasarkan produk dan layanan digitalnya. Dengan begitu perusahaan-perusahaan yang sebelumnya tidak dapat dikenai pajak karena tidak memiliki kehadiran fisik akan dapat dikenai pajak selama mereka memiliki kehadiran ekonomi pada besaran tertentu. Di dalam penerapannya, Pilar OECD dapat diberlakukan sebagai Multilateral Convention (MLC) atau konsensus global. Hal ini serupa dengan Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dimiliki Indonesia dengan beberapa negara seperti Australia, Mesir, ataupun Finlandia. Pilar OECD tidak akan mengubah pasal terkait Bentuk Usaha Tetap (BUT) tetapi didahulukan atas peraturan perpajakan yang umumnya berlaku di Indonesia. Namun, layaknya P3B, ke depannya Pilar OECD perlu diratifikasi ke dalam hukum domestik sehingga Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemajakan sesuai dengan Pilar tersebut.
ADVERTISEMENT
Apa tantangan dalam menerapkan Pilar OECD di Indonesia?
Walaupun Pilar OECD merupakan solusi atas pemberlakuan PPh PMSE di Indonesia, tetapi masih terdapat tantangan yang harus diatasi dalam penerapannya. Hal yang mungkin menjadi kendala adalah menentukan bahwa MNE tersebut akan terkena Pilar OECD atau tidak. Pemerintah Indonesia mungkin akan merasa kesulitan dalam menentukan nilai ekonomi sebenarnya dari suatu MNE karena kurangnya informasi atas MNE tersebut. Meskipun saat ini sudah terdapat mekanisme Exchange of Information, Pemerintah Indonesia masih harus menyiapkan sumber daya manusia, teknologi, dan payung hukum agar mekanisme tersebut dapat berjalan. Diperlukan persiapan yang matang sebelum Pilar OECD tersebut dijalankan karena mayoritas wajib pajak yang akan terkena Pilar OECD ini adalah Wajib pajak besar atau Large Taxpayer yang dimana akan menambah penerimaan perpajakan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reformasi peraturan perpajakan dirasa perlu untuk mengejar potensi penerimaan dari ekonomi digital yang terus tumbuh dan berkembang. Namun, di dalam perjalanannya, diperlukan usaha keras dari pemerintah dan masyarakat agar PPh PMSE dapat diterapkan secara efektif. Dengan usaha dan langkah yang tepat, akan ada lebih banyak penerimaan pajak yang akan disalurkan ke rakyat.