Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bersyukur: Solusi Nyata atau Sekadar Penghibur Diri?
13 April 2025 13:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Afrizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam hidup, tentunya kita sering mendengar kalimat, “Udah gapapa, bersyukur aja ya”. Kalimat ini terdengar sangat sederhana dalam berbagai situasi. Misalnya saja, saat seseorang tidak diterima di kampus impiannya, saat gaji tidak sebesar yang dijanjikan, atau saat kita mendapat suatu hasil yang cukup, namun tidak maksimal atau tidak sesuai dengan keinginan kita. Dalam situasi seperti ini, ucapan untuk selalu bersyukur sangat sering diucapkan terutama oleh orang terdekat sebagai penenang. Memang kalimat tersebut menenangkan dari segi emosional, namun di sisi lain kalimat tersebut justru hanya seperti dorongan untuk seseorang menerima keadaan tanpa memperjuangkan hal yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Ternyata, sikap bersyukur yang sangat melekat dalam kehidupan justru tidak berasal dari proses ilmiah. Secara teori, pengetahuan dapat dianggap ilmiah apabila dapat dibuktikan secara sistematis melalui eksperimen, observasi, dan juga logika. Sementara itu, sikap bersyukur tidak berdasarkan proses-proses tersebut. Sikap bersyukur tidak dapat diuji secara sains, tidak dapat diukur secara objektif, dan sifatnya pun tidak replikatif. Oleh karena itu, bersyukur termasuk dalam pengetahuan non-ilmiah, yaitu jenis pengetahuan yang diperoleh dari tradisi, keyakinan spiritual, dan pengalaman pribadi yang telah melekat.
Pengetahuan non-ilmiah sebenarnya tidak salah, justru jenis pengetahuan ini seringkali ada sebagai pelengkap dari sisi spiritual dan emosional manusia. Bersyukur memang dapat membuat seseorang merasa cukup dengan situasi yang dihadapinya, namun di sinilah letak hal yang membingungkannya: apakah bersyukur memang membantu menyelesaikan masalah, atau hanya sekadar menjadi pelarian emosional yang mengabaikan logika dan penalaran secara kritis?
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sosial saat ini, ajakan untuk senantiasa bersyukur seringkali dipilih daripada dorongan untuk berpikir kritis. Contoh yang paling sering dijumpai adalah saat seorang remaja diterima di jurusan yang tidak begitu diinginkannya, namun diminta bersyukur dengan kalimat “yang penting masih bisa kuliah”. Atau saat ada seorang karyawan menerima gaji di bawah UMR, lalu dianggap tidak bersyukur saat dirinya mengeluh. Dalam situasi seperti ini, bersyukur justru menjadi semacam “penghalang” untuk evaluasi logis serta pembenahan untuk lebih baik ke depannya. Maka, penting bagi kita untuk memahami kapan bersyukur merupakan hal yang bijaksana, dan kapan pula ia sebagai bentuk kepasrahan yang justru menyesatkan.
Memang benar, ada penelitian psikologi yang menyebutkan bahwa bersyukur dapat meningkatkan kebahagiaan secara subjektif. Namun, perlu digarisbawahi kalau hubungan ini cenderung bersifat korelatif dan bukan kausal. Efek positif tersebut tidak muncul karena bersyukur adalah kebenaran yang mutlak, namun karena pikiran kita cenderung merespon sugesti positif dengan cara yang menenangkan. Secara ilmiah, tidak ada satupun variabel yang dapat menjadikan bersyukur sebagai solusi utama dari berbagai persoalan. Oleh karena itu, jika kita terlalu menyandarkan hidup pada pengetahuan yang sifatnya non-ilmiah, hal ini hanya akan membuat seseorang terjebak dalam narasi yang manis namun kosong.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa sikap bersyukur mempunyai akar keagamaan yang sangat kuat. Bersyukur merupakan bagian dari ajaran spiritual yang tidak lepas dari nilai-nilai keimanan. Namun, apabila pembahasan kita telah menyinggung logika dan penyelidikan ilmiah, maka kita harus memisahkan antara kepercayaan dan bukti yang absolut. Kepercayaan sifatnya cenderung milik pribadi dan subjektif, sementara ilmu pengetahuan menuntut kita berpikir secara objektif. Di titik ini, bukan berarti kita menentang keyakinan, melainkan menempatkan pengetahuan di tempat yang semestinya.
Di era yang semakin kompetitif dan kompleks seperti saat ini, terutama di kalangan mahasiswa dan pekerja muda, ajaran untuk selalu bersyukur dapat menjadi tekanan baru yang dapat berdampak pada kesehatan mental mereka. Daripada mendukung mereka untuk mengevaluasi kesalahan yang lalu agar lebih baik ke depannya, justru mereka harus jatuh ke lubang yang lebih dalam saat mereka dianggap tidak bersyukur dengan apa yang telah mereka miliki. Padahal, pada kenyataannya, rasa kecewa adalah sinyal alami dari dalam diri seseorang bahwa ada suatu hal yang kurang tepat dan harus diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu ciri dari pengetahuan non-ilmiah, di mana ia datang menawarkan ketenangan, namun tak selalu membawa solusi yang logis. Pengetahuan ini umumnya datang dari tradisi, nilai-nilai spiritual, dan pengalaman pribadi. Sikap bersyukur membuat kita menyadari bahwa memang ada keyakinan yang tidak dapat diuji secara empiris, tetapi justru memiliki pengaruh kuat bagi seseorang dalam merespons berbagai permasalahan hidupnya. Tanpa disadari, cara berpikir seperti ini dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk berpikir kritis karena terlalu cepat menerima keadaan sebagai takdir.
Di sinilah pentingnya bagi kita untuk memahami perbedaan mendasar antara pengetahuan ilmiah dan non-ilmiah. Yang satu dibangun atas observasi, logika, dan eksperimen sementara yang satunya lagi dibentuk oleh kebiasaan, budaya, dan keyakinan yang sifatnya subjektif. Keduanya punya tempat masing-masing dalam kehidupan manusia. Namun, dalam membuat keputusan dan mencari jalan keluar dari suatu masalah, tentu pendekatan ilmiah adalah jalan yang jauh lebih dapat dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
Saat kita hanya mengandalkan pengetahuan non-ilmiah dalam hidup, kita beresiko menutupi kenyataan yang sebenarnya justru harus dihadapi secara logis. Contohnya, saat kita diperlakukan secara tidak layak secara terus menerus di lingkungan kampus namun hanya diberi saran untuk “bersyukur aja, masih untung bisa kuliah”, bukankah itu merupakan bentuk pasrah yang membatasi perubahan? Padahal, dengan adanya pendekatan ilmiah seperti diskusi terbuka, dilakukannya evaluasi, serta menyuarakan aspirasi secara terstruktur akan jauh lebih membangun daripada mengabaikan semua itu yang justru akan membuat kampus semakin tidak progresif dan terkesan antikritik.
Walaupun begitu, bukan berarti pengetahuan non-ilmiah tidak punya nilai sama sekali dalam kehidupan. Ia tetap relevan dalam konteks-konteks tertentu, seperti dalam pemberian makna hidup serta dalam menjaga kesehatan mental. Dengan kata lain, pengetahuan non-ilmiah sama sekali tidak salah, melainkan harus dipisahkan untuk mencapai pemikiran yang logis dan rasional. Dalam dunia yang menuntut kita untuk terus berkembang, nemerima keadaan tanpa dilakukannya perbaikan agar lebih baik justru akan membuat kita terjebak di tempat yang sama dalam waktu yang panjang. Justru dengan memahami kapan kita harus bersyukur dan kapan pula kita harus bertindak, kita akan hidup dengan lebih seimbang, tidak larut dalam kenyamanan yang semu tetapi juga tidak kehilangan ketenangan emosional.
ADVERTISEMENT
Referensi: