Pemberantasan Korupsi Bukan Hanya di Tangan Penegak Hukum

Muhammad Ahsan Thamrin
Praktisi hukum.
Konten dari Pengguna
6 Desember 2021 8:39 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ahsan Thamrin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Muhammad Ahsan Thamrin, Praktisi Hukum
Ilustrasi koruptor. Foto: ShutterStock
Setiap tanggal 9 Desember kita merayakan hari anti korupsi. Pada momen tersebut pejabat Pemerintah, para politisi, pemimpin ormas, pemimpin agama, aktivis dan tokoh-tokoh masyarakat sama-sama berteriak untuk melawan korupsi. Hampir semua Instansi pemerintah memasang spanduk mendukung pemberantasan korupsi. Namun demikian korupsi tidak pernah berhenti dilakukan. Mulai dari Menteri dan anggota DPR, Gubernur dan DPRD TK I, Bupati dan DPRD TK. II, Kepala Dinas, Camat, Lurah/Kepala Desa, Tokoh Agama, PNS, swasta, Politisi, semuanya sudah ada yang masuk penjara karena korupsi. korupsi di Indonesia adalah masalah yang tidak pernah selesai sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Bahwa sejak era reformasi ini banyak cara atau strategi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam pemberantasan korupsi di antaranya :
Pertama, Mengganti UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam UU 31 tahun 1999 korupsi digolongkan ke dalam ekstra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa yang penanganannya menjadi skala prioritas pemerintah. Di dalam UU 31 tahun 1999 banyak hal yang diatur misalnya Memberikan peran aktif kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam pemberantasan korupsi yang ditandai dengan berdirinya banyak LSM anti korupsi seperti ICW dll.. Di dalam UU 31 tahun 1999 juga mencantumkan pidana mati untuk korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu seperti terjadinya bencana alam, krisis moneter dan atau pengulangan tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Kedua, membentuk pengawas independen pada lembaga penegak hukum seperti komisi kejaksaan, komisi kepolisian, komisi yudisial.
Ketiga, Membuat regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan Instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi dll.
Keempat, Mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan yang luar biasa.
Namun demikian walaupun Sudah banyak langkah dan strategi serta peraturan yang dibuat oleh Pemerintah untuk memberantas korupsi namun semuanya itu belum berhasil. Lalu bagaimana sebenarnya cara yang efektif dalam menghentikan praktik korupsi ini. Orang berdebat mana yang lebih penting menyeret para koruptor dan memenjarakan mereka atau melakukan pencegahan korupsi ?
ADVERTISEMENT
Bahwa Pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil dilakukan kalau aspek pencegahan dan penindakan berjalan seiring dan saling melengkapi. Bahkan yang paling penting justru adalah pada aspek pencegahan daripada penindakannya karena mencegah peluangnya lebih besar untuk menutupi kemungkinan kebocoran anggaran dan menjaga agar uang Negara tidak disalahgunakan.
Kekeliruan dan kelemahan Pemerintah dalam pemberantasan korupsi selama ini adalah karena lebih mengutamakan pemberantasan korupsi diserahkan kepada penegak hukum khususnya kepada KPK sehingga aspek penindakanlah yang diutamakan. Padahal korupsi lebih utama adalah dicegah. Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati. Dan mencegah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah sendiri bukan di tangan penegak hukum.
Ujung tombak dalam pemberantasan korupsi adalah di tangan pemerintah, pusat maupun daerah. Setiap Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota yang menjabat atau terpilih seharusnya merekalah garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, Kenapa ? Karena mereka yang memegang mandat pengelolaan keuangan Negara dalam bentuk APBN dan APBD.
ADVERTISEMENT
Lalu untuk membantu pemerintah mengawasi pengelolaan keuangan negara sudah ada dua lembaga pengawas dan pemeriksa (audit) yang dibentuk secara nasional yaitu BPK dan BPKP, belum lagi lembaga pengawas dan pemeriksa internal seperti inspektorat jenderal di masing-masing kementerian dan lembaga (K/L) serta Inspektorat daerah di masing-masing SKPD Provinsi serta kabupaten/kota.
Kalau semua berjalan dengan sistem yang baik maka tentunya korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya akan dapat dicegah sehingga anggaran Negara dapat digunakan secara optimal untuk pembangunan nasional dan Daerah. Jangan lagi seperti sekarang ini di mana Penegak hukum banyak menangani kasus korupsi pada proyek-proyek pemerintahan dan sementara pejabat pemerintah takut diperiksa oleh penegak hukum sehingga kemudian barulah keluar berbagai kebijakan pencegahan korupsi seperti:
ADVERTISEMENT
Pertama, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2016 tentang percepatan proyek strategis nasional (daerah). Inpres ini pada pokoknya menekankan agar Kejaksaan dan Kepolisian lebih mengedepankan aspek pencegahan daripada penindakan dalam pemberantasan korupsi. Proyek-proyek yang dianggap strategis yang ada di Kementerian, BUMN dan BUMD dilakukan pengawalan dan pengamanan oleh penegak hukum khususnya Kejaksaan dan kepolisian. Apabila ada laporan masyarakat atau temuan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek maka penegak hukum terlebih dahulu mengambil penyelesaian secara administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan sebelum menggunakan instrumen hukum pidana (korupsi).
Kedua, mengadakan penandatanganan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Mendagri, Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 700/8929/SJ, Nomor KRP-694/A/JA/11/2017 dan Nomor B.108/XI/2017 tanggal 30 Nopember 2017 tentang koordinasi APIP dan APH terkait penanganan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
ADVERTISEMENT
Perjanjian kerja sama tersebut pada pokoknya mengatur bahwa setiap laporan dari masyarakat tidak langsung ditindaklanjuti oleh Aparat penegak hukum (APH). Laporan itu akan lebih dulu diperiksa oleh APIP. Tujuannya, untuk memastikan apakah laporan tersebut benar-benar berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi, atau hanya sebatas perkara kesalahan administrasi semata. Jika temuan itu adalah administrasi maka diserahkan kepada APIP sedangkan jika ada indikasi pidana diserahkan kepada APH untuk ditindaklanjuti.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan dua kebijakan yang diambil di atas adalah merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 . Pemerintah memandang aspek penindakan yang selama ini dilakukan penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan KPK dengan memenjarakan banyak koruptor ternyata tidak membuat korupsi berkurang dan membawa efek jera justru malah kontraproduktif dengan pembangunan karena banyak pengambil kebijakan takut mengeksekusi anggaran.
ADVERTISEMENT
Kenapa Korupsi tidak berkurang dan sulit diberantas ?
Sekali lagi karena pemerintah sendiri dan seluruh jajarannya dari pemerintah pusat sampai Daerah tidak sungguh-sungguh melakukan pencegahan terjadinya korupsi. Korupsi seharusnya dipetakan secara saksama dan dicari akar permasalahannya dan kemudian dirumuskan konsepsi pencegahannya. Dan Ini hanya bisa dilakukan kalau pemerintah serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan akuntabel. Siapa lagi yang diharapkan dapat mencegah dan memberantas korupsi di Pemerintahan kalau bukan peran pemerintahan itu sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan peran penegak hukum semata yang memiliki keterbatasan SDM dan sarana pendukungnya untuk mengakses semua penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan Negara/daerah.
Penyebab utama kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah karena penegak hukum terlalu eksesif dalam melakukan fungsi penindakan sementara pelaksanaan fungsi pencegahan korupsi masih sangat lemah dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan banyak pejabat Daerah sendiri yang justru melakukan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh Kepala daerah misalnya bukannya semakin berkurang tetapi justru bertambah akibat biaya politik yang tinggi. Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum, 86 % di antaranya kasus korupsi, satu bukti tidak adanya efek jera fungsi penindakan dan lemahnya fungsi pencegahan.
ADVERTISEMENT
Sementara total kerugian Negara terkait kasus korupsi sepanjang tahun 2020 adalah sebesar Rp.56,7 Triliun. Kejaksaan Agung jauh lebih besar menangani kerugian keuangan negara dibandingkan KPK. Kejaksaan Agung menangani kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun. Sedangkan KPK menangani kasus dengan kerugian hanya Rp 114,8 miliar. Dari total kerugian negara yang mencapai Rp 56,7 triliun, uang pengganti yang masuk ke kas negara hanya Rp 8,9 triliun. Jadi praktis hanya sekitar 12% atau 13% uang korupsi yang kembali ke negara melalui vonis pidana tambahan yang diatur dalam pasal 18 UU pemberantasan tindak pidana korupsi,
(https://nasional.kontan.co.id/news/icw-sepanjang-2020-kerugian-negara-akibat-korupsi-mencapai-rp-56,7-triliun).
Negara Indonesia tidak akan pernah lepas dari korupsi selama peluang terjadinya korupsi tidak pernah ditutup. Pemberantasan korupsi hanya berhasil apabila aspek pencegahan dapat berjalan dengan baik dan itu sangat ditentukan oleh political will (kemauan politik) pemerintah sendiri dan seluruh jajarannya.
ADVERTISEMENT
Ke depan ketika sistem pencegahan sudah berjalan dengan baik maka penegak hukum seharusnya tidak perlu lagi sibuk mematai-matai proyek-proyek pemerintah. Penegak hukum seharusnya cukup menerima laporan adanya korupsi itu dari BPK, BPKP dan Inspektorat karena mereka yang melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah. Semua temuan menyangkut kerugian Negara apakah itu besar atau kecil seharusnya semua diserahkan kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti demi penyelamatan dan pengembalian kerugian Negara. Tentu tidak semua ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan tetapi hanya terkait dengan kasus-kasus tertentu yang memang layak untuk ditindaklanjuti dengan penindakan.

MENYELAMATKAN KEKAYAAN ALAM KITA

Kita sering mengatakan korupsi adalah penyebab utama yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini. Bahwa Korupsi adalah penyebab utama kemiskinan karena anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat menjadi raib karena korupsi. Menurut penulis bukan hanya korupsi namun juga karena kegagalan pemerintah dalam mengelola Negara sehingga gagal memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia yang merupakan salah satu tujuan Negara dalam konstitusi. Kita memang maju dalam pembangunan secara fisik namun itu lebih banyak dibiayai dari utang luar negeri yang saat ini sudah mencapai 6000 Triliun.
ADVERTISEMENT
Kekayaan alam bangsa Indonesia yang sangat besar justru tidak bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Padahal Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju. Namun faktanya, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Pejabat pemerintah justru melepaskan asset-aset kekayaan alam kita yang besar itu kepada korporasi asing dan segelintir korporasi lokal. Pertambangan, kehutanan, kelautan dan perkebunan yang merupakan kekayaan alam yang terbesar tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Padahal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara kita garis pantainya termasuk terpanjang di dunia tapi kita masih mengimpor garam, tanah kita subur dan luas tapi kita masih mengimpor bahan pangan apakah itu beras, kedelai, tepung dan sebagainya. Kekayaan alam kita sangat besar. kita punya tambang apakah itu emas, perak, timah, nikel, dan minyak bumi, namun mirisnya semua kekayaan itu justru lebih banyak dieksploitasi oleh perusahaan asing dan tidak bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri.
ADVERTISEMENT
Bahwa Kalau Pemerintah memang sungguh-sungguh untuk memakmurkan rakyatnya maka tentunya pemerintah tidak perlu lagi mengimpor garam kalau petaninya dapat membuat garam sendiri, pemerintah juga tidak perlu mengimpor beras, kedelai, tepung kalau petaninya dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Kalau peternak kita dapat memenuhi kebutuhan daging sendiri maka tentunya pemerintah tidak perlu mengimpor daging lagi. Kalau rakyat kita mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi tambang kita sendiri mengapa kita perlu mengundang investor untuk mengelola tambang kita. Pemimpin yang mencintai bangsanya tentu menginginkan rakyatnya mandiri tanpa bergantung dari luar negeri. Pemimpin yang mencintai negaranya tentu tidak akan menggadaikan kekayaan alam bangsanya untuk dikelola kepada pihak asing. Pendiri Singapura Lee Kuan Yew, dalam bukunya yang berjudul One Man’s View of The World sempat mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam yang melimpah. Tanpa kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, sumber daya alam yang berlimpah tidak akan memberikan dampak signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia sendiri.
ADVERTISEMENT
Wallahu’alam