Konten dari Pengguna

Kolaborasi Manusia-AI: Transformasi Pengambilan Keputusan dengan LLM

Muhammad Ainul Yaqin
Dosen Teknik Informatika yang menekuni Bidang keahlian Rekayasa Perangkat Lunak, Sistem Informasi, Manajemen Proses Bisnis, Process Mining, dan Arsitektur Enterprise.
9 Desember 2024 12:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ainul Yaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi LLM sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan (sumber: https://www.bing.com/images/create)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi LLM sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan (sumber: https://www.bing.com/images/create)
ADVERTISEMENT
Hai para pembaca setia dunia digital, mari kita bicarakan tentang teknologi yang sedang hype—Large Language Models alias LLM! Ya, LLM bukan hanya tren kayak kopi dalgona atau outfit serba oversized, tapi teknologi canggih ini bisa menjadi sahabat baru buat bisnis dan pengambilan keputusan. Bayangkan, Anda punya "konsultan" yang selalu siap menjawab pertanyaan, nggak pernah ngeluh, dan—bonusnya—nggak butuh gaji!
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu, sebelum kita terlalu overhype, mari kita bedah dulu gimana LLM bekerja, peranannya dalam bisnis, dan kenapa teknologi ini penting banget untuk masa depan pengambilan keputusan. Jadi, duduk manis, siapkan kopi (dalgona atau nggak, terserah), dan kita mulai perjalanan ini.

LLM dan Bisnis: Chemistry yang Serasi!

Siapa sangka model bahasa besar alias LLM yang awalnya dirancang buat ngobrol random bisa jadi jenius di dunia bisnis? Menurut Bernardi et al. (2024), LLM seperti GPT ini punya kemampuan untuk melakukan percakapan berbasis proses yang actionable. Ini semacam punya "HRD super" yang nggak cuma ngobrol ngalor-ngidul, tapi juga kasih saran yang benar-benar relevan buat pekerjaan Anda.
Dengan mengombinasikan Retrieval-Augmented Generation dan fine-tuning, framework bernama BPLLM (Business Process Large Language Model) memungkinkan LLM untuk nggak cuma paham kata-kata, tapi juga konteks bisnis. Bahkan, ada fitur keren seperti process-aware chunking yang bikin LLM makin peka terhadap proses kerja. Jadinya, ketika Anda nanya, "Eh, aktivitas A itu sebelum atau sesudah aktivitas B ya?" si LLM bisa jawab dengan akurat. Kurang apa lagi? # Transformer: Si Mesin Pintar di Balik Layar
ADVERTISEMENT
Oke, sebelum Anda berpikir ini seperti film robot yang bikin kaget Michael Bay, Transformer di sini adalah nama arsitektur jaringan syaraf buatan yang jadi dasar kebanyakan LLM. Dibikin oleh Vaswani et al. (2017), Transformer ini ibarat otaknya LLM yang bikin dia bisa berpikir seperti manusia—atau mungkin lebih cerdas dari sebagian manusia? Ups. 😜
Hal transformer yang keren banget adalah pendekatan attention mechanism-nya. Jadi, alih-alih fokus ke semua informasi sekaligus (yang bisa bikin kita semua pusing, ya kan?), Transformer memilih fokus ke bagian yang penting. Ini mirip kayak saat Anda pura-pura dengerin pacar cerita, tapi sebenarnya cuma fokus ke poin yang relevan. Bedanya, Transformer beneran dengerin semuanya, kok. 💕

Kapan LLM Bisa Jadi Pahlawan Pengambil Keputusan?

Salah satu aplikasi menarik LLM adalah dalam perencanaan tugas. Menurut Guan et al. (2023), LLM dapat digunakan untuk membangun model dunia eksplisit dalam bahasa perencanaan seperti PDDL. Meskipun awalnya model ini mungkin kurang sempurna, LLM bisa membantu memperbaiki model tersebut berdasarkan umpan balik manusia. Hasilnya? Solusi perencanaan yang akurat dan minim drama!
ADVERTISEMENT
Ini contoh nyata LLM bisa jadi penolong: bayangkan Anda sedang merencanakan acara besar, tapi prosesnya ribet banget. Si LLM bisa bantu Anda bikin langkah-langkah rencana dengan logika yang kuat. Jadi, nggak ada lagi istilah "terlalu banyak rencana, tapi eksekusinya nihil."

LLM dan Alasan Cinta pada Pandangan Pertama (dalam Dunia Bisnis)

Kembali lagi ke diskusi kita, kenapa sih LLM ini digadang-gadang bakal jadi jagoan di dunia pengambilan keputusan? Jawabannya sederhana: efisiensi dan kemampuan multitasking! Bayangkan, dalam satu waktu LLM bisa jadi konsultan bisnis, perencana, bahkan motivator yang selalu bilang, “Kamu pasti bisa, kok!” (walaupun dia nggak tahu gimana caranya bayar tagihan listrik Anda).
Fournier et al. (2024) bahkan sedang mengembangkan benchmark khusus untuk mengukur kemampuan LLM dalam proses penalaran bisnis yang berbasis sebab-akibat (causal reasoning). Artinya, LLM nggak cuma pintar ngomong, tapi juga bisa mikir ala detektif—menjawab pertanyaan seperti, “Kalau aktivitas ini gagal, apa dampaknya buat proses selanjutnya?” atau “Kenapa pelanggan tiba-tiba kabur setelah kita kasih promo gratis?”
ADVERTISEMENT
Bayangkan, Anda punya alat yang bisa menganalisis pola masalah secara mendalam tanpa perlu bayar konsultan mahal. Jadi, kalau LLM ini bisa kerja begitu efisien, pertanyaannya: kapan kita mulai memberikannya penghargaan "Employee of the Month"?

Tapi, Tunggu Dulu! Ada Tantangan Juga, Lho

Seperti halnya cinta, hubungan kita dengan LLM juga nggak selalu mulus. Guan et al. (2023) mencatat bahwa LLM kadang-kadang butuh umpan balik manusia untuk memastikan keakuratannya. Misalnya, saat membangun model perencanaan dalam PDDL, mungkin hasil awalnya belum sempurna. Jadi, Anda tetap harus ikut campur sedikit—seperti kasih "bumbu" dalam masakan instan. Tapi tenang, setelah sedikit sentuhan ajaib dari Anda, LLM siap bikin segalanya jadi lebih rapi.
Selain itu, ada juga isu tentang pemahaman konteks. Walaupun LLM sudah pintar, dia belum tentu bisa membaca "kode" seperti manusia. Jadi, jangan kaget kalau kadang dia salah interpretasi pertanyaan. Misalnya, Anda tanya, “Bagaimana cara meningkatkan revenue?” dan dia malah kasih solusi untuk "meningkatkan review." Yah, hampir bener sih, tapi kan beda fokus. 😅
ADVERTISEMENT

LLM: Si Pintar yang Bisa Diajak Nego

Namun, yang paling menarik adalah fleksibilitas LLM. Fournier et al. (2024) mencatat bahwa benchmark yang sedang mereka kembangkan memungkinkan LLM untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ini kayak pacar yang mau belajar masak karena tahu Anda nggak suka makanan instan. Jadi, makin sering Anda pakai dan kasih umpan balik, makin jago dia dalam membantu pengambilan keputusan. Win-win solution, kan?
Selain itu, fleksibilitas ini juga berarti LLM bisa di-custom sesuai kebutuhan. Mau fokus ke customer service? Bisa. Mau bikin laporan finansial yang otomatis? Bisa juga. Bahkan, kalau Anda butuh inspirasi buat nama startup baru, LLM siap kasih ide seperti "Tukang Data Cepat Beres" atau "Bisnis Santuy AI." 😎
ADVERTISEMENT

LLM dan Masa Depan Pengambilan Keputusan: Optimisme atau Overhype?

Nah, setelah kita bahas segala kecanggihan LLM, wajar dong kalau muncul pertanyaan: “Apakah LLM bakal menggantikan manusia dalam pengambilan keputusan?” Jawabannya? Tidak sepenuhnya. LLM memang jago dalam analisis data, memberikan saran berbasis fakta, dan bahkan menguraikan proses yang rumit. Tapi, ada satu hal yang sulit ditiru oleh mesin: intuisi manusia. Yup, intuisi yang sering kali kita andalkan untuk bikin keputusan di saat data nggak jelas—seperti milih menu makan siang, misalnya. 😜
Menurut Bernardi et al. (2024), LLM lebih cocok berperan sebagai enabler, bukan pengganti. Bayangkan mereka sebagai rekan kerja yang super rajin, bukan bos yang otoriter. Dengan kata lain, LLM adalah alat untuk mempercepat dan mempermudah proses pengambilan keputusan, tetapi sentuhan akhir tetap ada di tangan manusia. Jadi, Anda tetap bisa merasa "berkuasa" meskipun sebenarnya yang kerja keras ya si LLM ini.
ADVERTISEMENT

Dunia Bisnis + LLM = Kombinasi yang Nggak Terbantahkan

Kalau kita lihat dunia bisnis modern, segala sesuatunya bergerak cepat—dari tren pasar hingga perubahan regulasi. Dalam kondisi ini, punya LLM yang bisa memberikan saran secara real-time jelas jadi keunggulan kompetitif. Fournier et al. (2024) menyebut bahwa LLM yang dilatih untuk memahami proses bisnis sebab-akibat (causal business process reasoning) mampu memberikan panduan strategis. Contohnya? Bayangkan Anda menjalankan e-commerce dan mendadak ada lonjakan pengembalian barang. LLM bisa membantu Anda menganalisis akar masalah dan memberikan saran, seperti memperbaiki deskripsi produk atau menyesuaikan kebijakan retur.
Dan jangan lupa, dengan kemampuan retrieval-augmented generation seperti di framework BPLLM, si LLM juga bisa mencari informasi tambahan dari sumber eksternal untuk memperkaya jawabannya. Jadi, nggak ada lagi alasan untuk bilang, “Saya nggak tahu harus mulai dari mana,” karena LLM bakal selalu siap kasih jawaban ala "Siap, Bos!"
ADVERTISEMENT

Bukan Sekadar Teknologi, Tapi Partner Masa Depan

Pada akhirnya, LLM bukan cuma soal teknologi canggih yang bikin kita terkagum-kagum. Lebih dari itu, mereka adalah alat yang membantu kita mengoptimalkan waktu, tenaga, dan sumber daya. Mereka bisa menjadi partner yang andal, terutama dalam dunia bisnis yang penuh tantangan dan ketidakpastian.
Namun, sama seperti alat canggih lainnya, LLM juga perlu diperlakukan dengan bijak. Seperti yang dikatakan oleh Guan et al. (2023), LLM masih butuh umpan balik manusia untuk meningkatkan akurasi dan relevansinya. Jadi, meskipun mereka pintar, mereka juga butuh kerja sama kita. Anggap saja seperti hubungan simbiosis mutualisme: mereka bantu kita, kita bantu mereka jadi lebih baik.

Teknologi Ini Serius, Tapi Kita Boleh Santai

Jadi, apakah LLM adalah masa depan pengambilan keputusan? Jelas iya. Tapi apakah kita harus panik dan merasa tergantikan? Nggak perlu. LLM hanyalah alat—alat yang luar biasa, memang, tapi tetap saja hanya alat. Selama kita bisa menggunakannya dengan bijak, mereka akan selalu menjadi sekutu kita dalam menghadapi tantangan bisnis.
ADVERTISEMENT
Dan kalau nanti ada yang nanya, "Apa yang membuat bisnis kamu jadi sukses akhir-akhir ini?" Anda bisa jawab dengan santai, "Oh, aku cuma ngobrol sama AI yang kebetulan jenius banget." 😎
Referensi:
ADVERTISEMENT