Konten dari Pengguna

Kasus Suap Hakim Terungkap: Bagaimana Reformasi Sistem Peradilan yang Korup?

Muhammad Zainuddin Akbar
mahasiswa S1 - Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
22 April 2025 15:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zainuddin Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi hakim. Sumber : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi hakim. Sumber : freepik.com
ADVERTISEMENT
April 2025, 4 (empat) orang hakim ditetapkan kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka dugaan suap dalam vonis lepas korupsi izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group. Pengacara 3 (tiga) korporasi tersebut, Marcella dan Ariyanto memberikan suap sebesar 60 Milyar kepada ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Arif Nuryanta lewat perantara wahyu gunawaan selaku panitera di pengadilan yang sama.
ADVERTISEMENT
Uang suap tersebut Arif gunakan untuk mengatur putusan agar onslag (Lepas dari tuntutan hukum). Arif memilih 3 (Tiga) tersangka lainnya yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muntaro, dan Djuyamto sebagai hakim yang akan menangani perkara tersebut. Total 18 Miliar diberikan kepada ketiga hakim tersebut melalu Djuyamto untuk memastikan putusan sesuai keinginan Arif.
Kasus suap/korupsi hakim ini membuat banyak pihak khawatir dengan keadaan penegakan hukum di Indonesia. Korupsi yang dilakukan oleh hakim merupakan tanda kerusakan besar dalam penegakan hukum kita. Hakim yang seharusnya menciptakan putusan hukum yang berkeadilan, malah mencurangi keadlian itu sendiri. Masyarakat pun dibuat bingung kemana lagi harus mencari suaka keadilan.
Hal ini menurut pengamat hukum, Masriadi Pasaribu berdampak pada rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Korupsi sebagai permasalahan yang teramat berlarut di negeri ini seakan tidak bisa dipercayakan lagi kepada insititusi hukum sebagai cara penyelesaian.
ADVERTISEMENT
Langkah Represif untuk Membongkar Sistem Korup di Insititusi Kehakiman
Keadaan ini perlu segera ditangani, baik secara represif maupun preventif untuk ke depannya. Dari segi represif, Pengusutan tuntas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejagung, dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi langkah penting, terutama dalam hal ini KPK dan Kejagung.
Kejagung sendiri, sebagaimana disebutkan sebelumnya menjadi pihak yang membongkar suap hakim dalam perkara CPO. Kinerja ini diapresiasi oleh banyak pihak, salah satunya guru besar fakultas hukum Universitas Lampung, Prof Soerjartisnanta. Ia menilai kejagung di bawah kepemimpinan jaksa agung sekarang ini memiliki political will yang kuat dalam memberantas korupsi.
Berbeda dengan Kejagung, KPK dalam tempo beberapa tahun terakhir dinilai di bawah kejagung dalam urusan pemberantasan korupsi. Dalam laporan Hasil Pemantauan Tren korupsi Tahun 2023 oleh ICW, KPK hanya menetapkan 147 tersangka dari 48 kasus, jauh di bawah kejagung yang berhasil menetapkan 1163 tersangka dari 551 kasus.5
ADVERTISEMENT
Memang dalam perkembangnya kewenangan yang dimiliki KPK terus dilemahkan terutama setelah revisi UU KPK. Juru bicara KPK, Febri Diansyah menganggap revisi UU KPK sangat berpotensi melumpuhkan kerja KPK. Maka dari itu, diperlukan penguatan political will pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi terutama dalam hal pembuatan regulasi terkait penguatan kewenangan KPK. Dengan penguatan demikian, langkah represif dalam pemberantasan korupsi di institusi kehakiman bisa dilakukan dengan lebih baik.
Langkah Preventif Demi Menciptakan Institusi Kehakiman yang Lebih Bersih
Dalam hal upaya preventif, Diperlukan tinjauan yang menyeluruh terhadap rekrutmen dan pengawasan hakim oleh komisi Yudisial (KY). Penting untuk memastikan bahwa rekrutmen hakim dapat menghasilkan individu yang berintegritas tinggi, kompeten, dan menjunjung tinggi moral antikorup. Nampak bahwa permasalahan utama sistem rekrutmen hakim oleh Makamah Agung (MA) sekarang adalah persoalan transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Alasan utama kurang transparan dan akuntabelnya proses rekrutmen hakim—terutama hakim karier—adalah sistem seleksi yang menjadi domain tunggal dari MA. Proses seleksi yang hanya berputar dalam di kekuasaan MA akan menimbulkan pertanyaan terkait seberapa akuntabel MA sebagai pihak tunggal penyelenggara seleksi. Dalam hal rekrutmen setidaknya yang perlu diperhatikan adalah Shared Responsbility dengan KY untuk mewujudkan rekrutmen yang lebih transparan dan akuntabel.
Konsep Shared Responsbility menekankan MA untuk fokus dengan penanganan perkara, sedangkan urusan rekrutmen hakim bisa ditangani bersama atau terpisah dengan KY. hal ini selaras dengan wewenang KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Penulis berpendapat wewenang tersebut akan optimal dijalankan jika keterlibatannya KY sudah dimulai sejak proses rekrutmen.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya berdasarkan Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 49 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman proses rekrutmen hakim memang dilaksanakan MA bersama KY. Namun akibat adanya putusan MK Nomor 43/PUU XIII/2015, keterlibatan KY dianggap intervensi yang mengganggu independensi hakim, sehingga proses rekrutmen menjadi absolut berada di tangan MA. Implikasi dari putusan ini adalah semakin lemahnya wewenang KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, terutama dalam tahap rekrutmen. Padahal tahap rekrutmen adalah tahap krusial untuk menentukan kualitas dari calon hakim.
Di sisi lain, pengawasan terhadap kinerja serta perilaku hakim juga diperlukan perluasan wewenang bagi KY. Hal ini dipicu terbatasnya wewenang KY dalam hal pemberian sanksi, yang mana hanya berupa rekomendasi kepada pimpinan MA. Pengawasan pun hanya sebatas pada pelanggaran etik hakim dan tidak mencakup pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana. Kelemahan-kelemahan ini yang membuat tidak optimalnya pengawasan hakim oleh KY. Maka dari itu diperlukan pertimbangan lebih lanjut untuk perluasan wewenang bagi KY agar pengawasan terhadap hakim bisa lebih optimal.
ADVERTISEMENT
tindakan Represif dan preventif dalam mencegah perilaku korup hakim merupakan upaya penyelamatan marwah institusi kehakiman di negeri ini. Terlebih lagi jika melihat keadaan sekarang di saat hakim semakin kehilangan kehormatannya akibat perilaku oknum hakim yang tidak bertanggung jawab.
Berbagai poin untuk berbenah yang sudah dijabarkan di atas tidak semata-mata ditunjukkan untuk pemerintah saja, namun menjadi peran masyarakat juga untuk terus mendesak pemerintah untuk bergerak. Dengan maksimalnya sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di institusi kehakiman, bukan tidak mungkin negara ini akan sampai pada penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan.
REFERENSI
ADVERTISEMENT
3. Anandya, D. & Ramdhana, K. Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023. Antikorupsi.org. (2023).
6. CAHYONO & AMARINI, I. MEWUJUDKAN HAKIM KARIR YANG BERKUALITAS DAN BERINTEGRITAS. in Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court 153–162 (2017).
7. Aprillia, R. Urgensi Shared Responsibility System dalam Manajemen Hakim. J. Konstitusi 18, 939 (2022).
8. Wicaksono, E., Wisanaeni, F. & Prihatin, E. S. Tinjauan yuridis putusan mahkamah konstitusi no.43/puu-xiii/2015 tentang inkonstitusionalitas kewenangan komisi yudisial dalam melakukan rekruitmen hakim bersama mahkamah agung. Diponegoro Law J. 5, 1–19 (2016).
ADVERTISEMENT
9. WATI, E. R. Peran komisi yudisial dalam pengawasan hakim di indonesia. in Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court 26–40 (2017).