Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Akar Masalah Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas
21 November 2024 17:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Alif Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan penyandang disabilitas harus dilindungi oleh negara. Hal ini terlihat pada penandatanganan dokumen Convention on the Right of Persons with Disabilties (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di Kota New York. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalukan pengesahan dalam bentuk UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) sebagai wujud perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Orang yang memiliki keterbatasan secara lahir dan batin disebut sebagai Penyandang disabilitas. Hal ini diterangkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 8 tahun 2016 yang berisi “Penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensoris dalam jangka waktu lama berinteraksi dengan berbagai hambatan yang dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya”. Maka dari itu, orang yang menyandang disabilitas tentu sulit berinteraksi terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Dalam bab XA UUD NRI 1945 telah mengatur secara komprehensif terkait hak asasi manusia sebanyak 26 pasal. Namun, dari 26 pasal pada bab XA UUD NRI 1945 yang mengatur terhadap perlindungan bagi penyandang disabilitas adalah pasal 28H ayat (2) yang berisi “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selain itu, makna dari kalimat “setiap orang” pada pasal 28H ayat (2) tersebut adalah berlaku bagi semua manusia tanpa melibatkan kondisi fisik atau mental.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, kasus kekerasan seksual masih terjadi hingga beberapa tahun terakhir. Melansir dari Catatan Akhir Tahun (CATAHU) yang dimuat oleh Komnas Perempuan bahwa terdapat kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas pada tahun 2018, yakni mencapai 86 kasus. Hal ini berbeda dengan data pada tahun 2017 yang sebanyak 47 kasus. Pada tahun 2019, motif kekerasan seksual justru mengalami peningkatan hingga 87 kasus. Menurut Komnas Perempuan, data tersebut belum mencangkup korban yang tidak melaporkan dirinya atas tindakan kekerasan seksual. Sederhananya, permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas tetap menjadi peristiwa gunung es di Indonesia.
Perempuan disabilitas berpotensi besar menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini setidaknya karena 2 faktor, yakni faktor individu dan lingkungan. Faktor individu berangkat dari masalah keterbatasan mental dan fisik untuk menghindari tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Lalu, pada faktor lingkungan berangkat pada stigma buruk terhadap orang penyandang disabilitas dan diskriminasi terhadapnya. Hal ini karena dukungan sosial yang kurang sehingga para korban penyandang disabilitas merasa tersisihkan dari kelompok sosial. Bahkan, para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas adalah orang terdekatnya, seperti ayah atau tetangganya.
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki sebagai sebab utama kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas. Hal ini sebagaimana pemaparan dari Nisaaul Muthiah dalam penelitian Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) yang menyebutkan bahwa faktor budaya patriarki adalah penyebab dari sekian banyak kasus kekerasan seksual. Hal ini karena kekerasan seksual lahir dari konstelasi dan cara pandang patriarki dalam masyarakat sehingga melahirkan cara pandang bahwa korban kekerasan seksual tidak bisa menjaga dirinya. Oleh karena itu, cara pandang yang ideal harus menilai permasalahan kekerasan seksual kepada yang berbuat tindakan kekerasan seksual.
Contohnya, seorang ayah di Bandung, Jawa Barat, melakukan tindakan kekerasan seksual kepada anak tirinya yang menyandang disabilitas selama tujuh tahun (mataram.tribunnews.com, 2019). Di sisi lain, juga terlihat pada kasus tahun 2022, yakni pelaku sebagai guru/ pengurus yang melakukan kekerasan seksual di Pondok pesantren Shiddiqiyah, Sekolah SPI, serta Pondok pesantren Madani terhadap siswa-siswa perempuan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, rendahnya kesadaran hukum juga termasuk sebagai faktor penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan. Hal ini yang termuat dalam penelitian yang dilakukan oleh Ridawati Sulaeman, Ni Made Wini Putri Febrina Sari, Dewi Purnamawati, Sukmawati dengan judul “Faktor Penyebab Kekerasan Pada Perempuan”. Menurutnya, faktor terbesar atas fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kesadaran hukum yang rendah, kemiskinan, dan pernikahan dini.
Di sisi lain, negara Indonesia telah memberikan payung hukum bagi para kaum penyandang disabilitas agar tercapai keadilan terhadap hak dan kewajibannya. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menjamin atas perlindungan terhadap korban serta saksi, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Konvensi Internasional hasil ratifikasi.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, ternyata hakim menangani perkara kekerasan seksual pada korban penyandang disabilitas dengan perlakuan yang sama seperti manusia pada normalnya. Hal ini sebagaimana pemaparan Ina Rahmawindarti dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Putusan Hakim Dalam Memutus Perkara Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan Ditinjau Dari Hukum Positif Dan Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor : 15/Pid.Sus-Anak/2019/Pn.Kot)”. Menurutnya, korban yang merupakan seorang anak disabilitas yang secara ideal harus ada penindakan secara khusus karena meninjau faktor kondisi mental yang sangat berbeda dengan manusia yang normal. Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa harus ada UU khusus yang mengatur ketentuan pidana terhadap korban kekerasan seksual penyandang disabilitas agar dapat menciptakan efek nestapa atau penderitaan yang lebih berat bagi sang pelaku. Dan alasan beliau adalah dengan melihat kondisi perempuan penyandang disabilitas yang secara harfiah mempunyai keterbatasan dalam menanggapi peristiwa yang terjadi di lingkungannya dengan baik dan benar.
ADVERTISEMENT
Masyarakat serta pemerintah wajib menaati pasal 128 UU No. 8/2016. Hal ini karena muatan pokok pada pasal tersebut yang menurut hemat penulis adalah aturan agar perempuan dan anak disabilitas wajib bisa bersosialisasi dengan keluarga juga masyarakat dengan rasa aman sehingga mereka tidak akan merasa takut terhadap kehidupan sosial. Dan yang paling penting adalah bahwa perempuan dan anak disabilitas wajib terlindungi dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual
Sebagai kesimpulan, masyarakat dan negara harus saling sadar akan perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Sebenarnya, dalam pasal 9 huruf h UU No. 8 tahun 2016 yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak atas Pelindungan dari segala tekanan, kekerasan, penganiayaan dan diskriminasi dari pihak mana pun. Dengan kata lain, apabila jiwa masyarakat dan pemerintah tertanam nilai-nilai perlindungan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas, maka perempuan penyandang disabilitas dapat merasa aman dari tindakan kekerasan dan diskriminasi pada dirinya.
ADVERTISEMENT