Konten dari Pengguna

Akar Masalah Perlindungan Anak dalam Hukum Perdata Islam

Muhammad Alif Fadilah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5 Mei 2024 12:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Alif Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga dan seorang ibu menggendong bayi. Ilustrator : Alif
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga dan seorang ibu menggendong bayi. Ilustrator : Alif
ADVERTISEMENT
Setiap anak yang lahir harus dilindungi oleh negara. Hal ini atas dasar Konvensi Hak-hak Anak (KHA) atau UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child) yang merupakan perjanjian hak asasi manusia internasional yang disahkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Pada salah satu pasalnya menyebutkan bahwa anak memiliki perlindungan berupa hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan yang optimal.
ADVERTISEMENT
Penerapan Konvensi Hak-hak Anak di Negara Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus 1990 dan berlaku di Indonesia sejak 5 Oktober 1990. Atas dasar Keppres tersebut, Indonesia melakukan ratifikasi yang berbentuk UU Nomor 4 Tahun 1979 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 amandemen UU Nomor 23 Tahun 2002 yang pada pasal 4 jelas bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak yang lahir di luar perkawinan akan memiliki hubungan perdata hanya kepada Ibunya saja. Hal ini atas dasar Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 yang berisi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan perdata yang termaksud dalam UU tersebut adalah hubungan waris, nafkah, perwalian, dan nasab (dalam hal ini seperti pencantuman bin yang mesti merujuk kepada Ibu). Oleh karena itu, anak yang lahir di luar kawin tentu secara dasar harus ada hubungan perdata sebagai bentuk perlindungan anak yang lahir, walaupun hanya memiliki hubungan perdata dari Ibu dan keluarganya saja.
ADVERTISEMENT
Dasar hukum lain juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Hal tersebut diterangkan dalam pasal 100 yang berisi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
Anak yang lahir di luar kawin tetaplah menjadi masalah secara sosiologis. Hal tersebut justru yang melahirkan istilah “anak haram” atau “anak dari hubungan yang tidak sah” dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal dalam perspektif Islam, secara jelas dikatakan dalam hadis yang perawinya adalah Imam Bukhari dan Muslim yakni :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani
Di samping itu, pada tahun 2010 telah terbit Putusan MK Nomor 46 tahun 2010 yang memutuskan bahwa anak luar kawin bisa mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti nafkah, hak penggunaan istilah bin dengan menyebut nama ayahnya, hak alimentasi, hak waris, dan hak perwalian karena UUD NRI 1945 menganggap Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
ADVERTISEMENT
Biarpun begitu, status hukum Kompilasi Hukum Islam tidak bisa memiliki status batal oleh MK. Hal ini karena KHI adalah berupa Inpres Nomor 1 tahun 1991 yang menurut para pakar hukum tidak termasuk dalam pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 terkait hierarki Perundang-undangan sehingga KHI menjadi panduan peraturan bagi para hakim pengadilan agama yang bukan merupakan UU yang dapat batal oleh MK sesuai kewenangan yang terdapat dalam pasal 24C UUD NRI 1945. Jadi, hakim pengadilan agama bisa saja menggunakan pasal 100 KHI dalam hal peristiwa anak luar kawin.
Akan tetapi, putusan MK Nomor 46 tahun 2010 menjadi masalah bagi kalangan masyarakat muslim, terutama Majelis Ulama Indonesia. MUI menanggapi putusan tersebut dengan mengeluarkan fatwa MUI Nomor 11 tahun 2012 yang pada intinya tetap menolak hubungan perdata bagi anak luar kawin terhadap ayah biologisnya dan hanya menganggap wasiat yang diputus oleh hakim yang tidak lebih dari satu pertiga sebagai hak waris. Tetapi, fatwa tersebut hanya sebagai pedoman saja, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para hakim pengadilan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tetaplah menjadi masalah sosiologis yang cukup rumit bilamana anak tidak lahir dalam perkawinan yang sah sehingga para calon orang tua harus benar memperhatikan pasal 52 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang berisi “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara”. Dalam hal perlindungan orang tua bukan hanya terhadap perlakuan yang bersifat pidana saja, tetapi juga terhadap tindakan perdata juga, seperti mempersiap diri secara batin dan lahir kesiapan dalam berumah tangga agar tidak terjadi peristiwa anak lahir di luar perkawinan.