Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hukum Nikah bagi Orang yang Mengidap Gangguan Mental Menurut UU dan Islam
10 November 2022 9:15 WIB
Tulisan dari Muhammad Alif Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Orang yang mengidap gangguan mental merupakan orang yang tidak cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum. Hal ini terkandung dalam Pasal 433 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) bahwa “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”. Pada dasarnya, seseorang bisa diletakan di bawah pengampuan jika orang dewasa tidak cakap dalam bertindak secara hukum.
ADVERTISEMENT
Orang yang telah mengalami gangguan mental harus di bawah pengawasan orang yang disebut pengampu, seperti autisme, bipolar, skizofrenia, depresi, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan langkah di bidang hukum untuk mengatasi berbagai subjek hukum yang tidak cakap atau bertindak secara hukum.
Menikah merupakan hubungan sah antar 2 orang menurut ketentuan yang berlaku bagi negara dan agama yang dijalankan oleh 2 orang tersebut. Menurut Islam, pernikahan merupakan anjuran bagi seluruh umat Islam untuk melaksanakan pernikahan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt.
Dalam hukum perdata, orang yang mengidap gangguan mental tidak berkenan untuk melaksanakan pernikahan. Hal ini tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 14 ayat (2) bahwa “Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini”. Maka dapat dipahami bahwa orang yang mengidap gangguan mental tidak dapat melaksanakan pernikahan sehingga tujuan kebahagiaan dalam rumah tangga tidak terwujud karena dapat menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai.
ADVERTISEMENT
Islam pun menjawab persoalan tersebut, dari Aisyah r.a., Nabi saw. bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ؛ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ
Pena catatan amal diangkat untuk 3 orang: orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai dia sadar, dan anak kecil sampai balig. (HR. Ahmad 24703, Abu Daud 4400, Ibnu Majah 2041)
Dalam hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan bagi umat dengan gangguan mental akan dinilai tidak sah karena tidak cakap untuk melaksanakan perbuatan, baik secara hukum maupun ibadah. Ajaran Islam menyatakan bahwa orang yang mengidap gangguan mental tidak akan dinilai perbuatannya, termasuk menikah. Hal ini juga selaras dengan orang yang mengidap gangguan mental, maka dapat dipahami bahwa orang yang tidak waras juga merupakan orang yang mengidap gangguan mental karena tidak dapat berpikir dengan normal sehingga orang tersebut tidak boleh melaksanakan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Gangguan mental dapat di tangani dengan psikoterapi oleh psikolog atau psikiater. Ada beberapa jenis psikoterapi bagi orang yang mengidap gangguan mental, yakni :
• Interpersonal and social rhythm therapy merupakan terapi yang bertujuan untuk mengatur pola aktivitas sehari-hari. Hal ini dapat mengatur gangguan mental karena dengan aktivitas yang teratur, maka dapat mengurangi gangguan yang dialaminya.
• Cognitive behavioral therapy merupakan terapi yang bertujuan untuk mengetahui gejala terhadap gangguan mental, maka dengan hal tersebut gangguan bipolar dapat ditangani.
Sebagai kesimpulan, hukum nikah bagi orang yang mengidap gangguan mental adalah tidak boleh, namun apabila orang tersebut dapat ditangani dengan baik sehingga mampu berpikir dengan normal, maka orang tersebut dapat melakukan aktivitas yang sah dan diakui secara hukum.
ADVERTISEMENT